A. PENDAHULUAN
Gerakan pemikiran Islam merupakan
respon terhadap perkembangan dan kondisi zamannya, untuk mempermudah melakukan
klasifikasi pemikiran tersebut beberapa ahli dan tokoh ke-islaman membagi
menjadi beberapa tipologi pemikiran Islam, semisal Fazlurrahman. Ia membagi
tipologi pemikiran Islam menjadi tiga; Pertama Gerakan Revivalis[1]
yang muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 biasa dikenal dengan tajdid
adalah suatu proses yang dengannya komunitas muslim (ummah) menghidupkan
kembali kerangka social, moral, dan agama dengan kembali kepada dasar-dasar
Islam, yakni al-Quran dan al-Sunnah[2].
Tokoh yang masuk dalam kelompok ini adalah al-Ghazali (w.1111), Ibn Taymiyah
(w.1328), Ahmad Sirhindi (w.1624), Syah Wali Allah Dihlawi (w.1762) di India,
dan Muhammad Ibn Abdul Wahhab (w.1792) di Arab Saudi, Muhammad Ibn Ali
al-Syaukani (w.1834) di Yaman, Sayyid Ahmad dari Rae Bareli di India, Hajj
Syariat Allah di Bengal (l.1764), Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (w.1859) di Afrika
Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat. Gerakan Revivalis memusatkan diri pada: a)
kepedulian yang sangat terhadap kebobrokan social dan masyarakat muslim, b)
seruan untuk kembali ke dalam Islam yang murni dan membuang tahyul yang
ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer, c) usaha-usaha untuk membebaskan
diri dari ide kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab fiqhi dan usaha-usaha untuk
melaksanakan ijtihad, yaitu memikir ulang secara pribadi mengenai makna risalah
yang murni.
Gerakan Modernis yang muncul pada
akhir abad ke-19 menyerukan dilakukannya upaya-upaya baru ijtihad, untuk
menggali prinsip-prinsip dari al-Quran dan al-Sunnah otentik dan untuk
merumuskan hukum-hukum yang diperlukan berdasar pada prinsip-prinsip tersebut.
Mereka melihat al-Quran sebagai suatu respon terhadap situasi historis yang
meliputi, untuk bagian terbesar ajaran-ajaran moral keagamaan dan social dalam
menjawab masalah-masalah tertentu yang dihadapi dalam situasi histories yang
nyata. Gerakan Modernis juga menyerukan hal-hal berikut: 1) penggunaan sunnah
secara selektif; 2) penerapan pemikiran orisisnil yang sitematis tanpa klaim
finalitas; 3) pembedaan yang harus dibuat antara syaiat dan fiqhi; 4)
penghindaran terhadap sektarianisme; 5) perujukan kembali kepada metodologi
yang khas tetapi tidak melulu kepada fiqhi dan solusi mazhab klasik, baik yang
telah punah maupun yang masih ada.[3]
Gerakan ini dipelopori di India oleh Sayyid Ahmad Khan (w.1898) dan diseluruh
Timur Tengah oleh Jamal al-Din al-Afghani (w.1897) dan di Mesir oleh Muhammad
Abduh (w.1905).
Gerakan Neo-Revivalis yang muncul
pada paruh pertama abad ke-20 memfokuskan diri pada: a) melawan westernisasi
umat Islam; b) membela keserbacukupan; c) Islam sebagai pandangan hidup; d)
menolak segala bentuk reinterpretasi al-Quran dan al-Sunnah. Gerakan Neo-Revivalis
muncul di Mesir dan anak benua India, yaitu Ikhwan al-Muslimin oleh Hasan
al-Banna (w.1949) dan Jama’at al-Islami oleh Abu al-A’la al-Maududi (w.1979).
Pengikut mereka adalah Sayyid Quthub (1961), Muh. Quthub (1965), dan Abdul
Qadir al-Audah (1967). Fungsi ijtihad menurut Neo-Revivalis adalah untuk
menghasilkan solusi-solusi bagi masalah-masalah yang tidak terjawab secara
eksplisit oleh al-Quran dan al-Sunnah[4].
Gerakan Neo-Modernis muncul pada
paruh kedua abad ke-20 yang mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas
modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. Neo-Modernisme sebagai persyaratan
utama bagi renaissance Islam.
M. Amin Abdullah membagi pola
pikir keagamaan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Pola pikir keagamaan Islam yang
absolutely-absolute bersifat taqdis al-afkar, truth claim, ta’abbudi,
qat’iyyat, kaku, rigid, bercorak idealistic, serta tidak kenal kompromi,
consensus dan negosiasi.
2. Pola pikir keagamaan Islam yang
absolute-relative perilaku agama adalah perilaku social, agama adalah tradisi
dan tradisi adalah agama, tidak mengenal dimensi rohaniah-esoterik dan bersifat
reduksionistik, sekuler, dehumanis, nihilism, serta ta’aqquly dan zhanniyat
permanen.
3. Pola pikir keagamaan Islam yang
relative-absolute ta’aqquli sekaligus ta’abbudi, perpaduan qat’iyyat dan
dzanniyat, tasamuh, mementingkan dialog antar umat/keimanan beragama, tidak
mendangkalkan akidah serta tidak memandang rendah tradisi dan budaya yang
dimiliki orang lain.
B. NEO REVIVALISME PEMIKIRAN DAN
GERAKANNYA
Gelombang neorevivalisme Islam menjadi sebuah fenomena
sejak dekade 1970-an di Timur Tengah. Namun, secara historis, realitas fenomena
ini telah ada sejak dekade terbentuknya Ikhwanul Muslimin pada akhir 1920-an[5],
yang disinyalir merupakan tindak lanjut nya perjuangan Islam dalam terhadap
kolonialisme dunia barat. Terwujudnya daulah Islamiyah menjadi maintrems dan
cita ideal perjuangan islam dengan bentuk dan corak yang beraneka ragam sesuai
dengan konteks dan kondisi zamannya. Gerak bangkit islam ditandai maraknya
perjuangan pengaplikasian ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan
budaya, hubungan sosial, ekonomi, dan politik, sebagai konsekwensinya adalah
kesadaran masyarakat untuk berperilaku religius sesuai dengan norma-norma
Islami[6]
dan memperjuangkan ideologi Islam sehingga kerapkali bertentangan dengan
pemerintah, negara, serta lembaga-lembaganya. Ultimate golnya adalah terwujudnya
tatanan Tuhan dan negara Islam global serta persatuan muslim berdasar syariat
Islam menjadi, dengan melakukan perubahan radikal sistem sosial politik ke arah
kehidupan Islami[7].
Chouieri menyatakan bahwa munculnya revivalisme Islam
dilatarbelakangi oleh kemerosotan moral, sosial dan politik umat Islam.
Menurutnya, revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali
kepada ajaran Islam yang murni. Contoh dari gerakan Islam revivalis adalah
Wahhabiyyah yang memperoleh inspirasi dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab
(1703-1792) di Arabia, Shah Wali Allah (1703-1762) di India, Uthman dan Fodio
(1754-1817) di Nigeria, Gerakan Padri (1803-1837) di Sumatra, dan Sanusiyyah di
Libya yang dinisbatkan kepada Muhammad ‘Ali al-Sanusi (1787-1859). Chouieri
melihat adanya kemiripan agenda yang menjadi karakteristik gerakan-gerakan
revivalis Islam tersebut, yaitu: (a) kembali kepada Islam yang asli, memurnikan
Islam dari tradisi lokal dan pengaruh budaya asing; (b) mendorong penalaran
bebas, ijtihad, dan menolak taqlid; (c) perlunya hijrah dari wilayah
yang didominasi oleh orang kafir (dar
al-kufr); (d) keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan seorang
pembaru.[8]
Sementara itu, Dekmejian menyatakan bahwa munculnya pelbagi
orientasi ideologi revivalis Islam dipengaruhi oleh adanya perbedaan yang
timbul dari penafsiran yang berbeda terhadap al-Qur’an, al-Sunnah dan sejarah
Islam awal. Selain itu ada faktor lain seperti watak dari situasi krisis,
keunikan dalam kondisi sosial dan gaya kepemimpinan dari masing-masing gerakan.
Atas dasar itu, Dekmejian mengidentifikasi empat kategori ideologi revivalis:
(a) adaptasionis-gradualis (al-Ikhwan
al-Muslimun di Mesir, Iraq, Sudan, Jordan, Afrika Utara; dan Jama’at-i Islami di Pakisan); (b) Shi’ah
revolusioner (Republik Islam Iran, Hizb
al-Da’wah Iraq, Hizbullah
Libanon, Jihad Islam Libanon; (c)
Sunni revolusioner (al-Jihad Mesir,
Organisasi Pembebasan Islam Mesir, Jama’ah
Abu Dharr Syria, Hizb al-Tahrir
di Jordania dan Syria; (d) primitivis-Mesianis (al-Ikhwan Saudi Arabia, al-Takfir
wa al-Hijrah Mesir, Mahdiyyah
Sudan, Jama’at al-Muslimin lil-Takfir
Mesir.[9]
Jhon Obert Voll cenderung tidak membuat pembedaan yang signifikan
antara revivalisme dan fundamentalisme. Menurutnya, Islamic revivalism atau Islamic
resurgence mewujudkan dirinya dalam bentuk yang beragam, misalnya
Wahhabiyyah, yang dia anggap sebagai representasi dari “the prototype of
rigorous fundamentalism in the modern Islamic experience,”[10]
yang oleh Choueiri dipandang sebagai revivalis dalam makna yang positif,
seperti disebut terdahulu.
Terlepas dari beberapa perbedaan perspektif dan implikasi yang
ditimbulkannya, korelasi, kaitan atau kemiripan karakteristik dasar antara
fundamentalisme, revivalisme, Islamisme dan radikalisme tidak bisa
dikesampingkan. Jika ditelaah lebih mendalam akan tampak adanya semacam family resemblance antara berbagai
orientasi ideologis tersebut,[11]
meskipun masing-masing tetap memiliki tekanan dan strategi yang berbeda,
tergantung situasi dan kondisi sosial dan gaya kepemimpinan (leadership style) dari masing-masing
gerakan.
Menurut Dekmeijan dalam Prihandono Wibowo[12],
terdapat lima prinsip utama para ideolog neorevivalisme Islam. Pertama, din
wa dawlah. Islam merupakan sebuah sistem kehidupan total dan universal.
Pemisahan antara din (agama) dan dawlah (negara) tidak dikenal
dalam Islam. Kedua, penerapan Al Quran dan As-Sunnah secara puritan. Ketiga,
puritanisme dan keadilan sosial. Keempat, kedaulatan dan hukum Allah
berdasarkan syariat. Kelima, komitmen kuat mewujudkan tatanan Islami.
Neorevivalis berprinsip bahwa kedaulatan sepenuhnya milik
Tuhan. Kalimat syahadat (laa ilaa ha illallah, muhammadar rasulullah)
bermakna tiada pemerintahan, tiada kekuasaan, dan tiada sistem kecuali
kekuasaan dan sistem Tuhan. Tiada kedaulatan kecuali kedaulatan Tuhan.
Masyarakat Islam hanya dapat dibangun sesuai syariat. Sistem di luar Islam
merupakan sistem kafir.
Neorevivalis Islam bersikap memproklamasikan tatanan
dunia baru yakni tatanan yang dipercaya sebagai tatanan Tuhan. Penerapan nizam
al-Islami (tatanan Islam), hakimiyyat Allah (kedaulatan Tuhan), dan
syariat global merupakan idealisme tertinggi kelompok neorevivalis. Tatanan
tersebut menggantikan tatanan dunia kontemporer yang berorientasi humanitas,
kapitalis, modernitas, dan nilai-nilai sekuler Barat.
Menurut neorevivalis, umat Islam memerlukan institusi
untuk mencapai idealisme tata dunia Islami. Khilafah merupakan “negara” yang di
dalamnya tegak syariat dan kedaulatan Tuhan berkuasa di dalamnya. Kekhilafahan
adalah kepemimpinan tunggal bagi muslim untuk menegakkan syariat dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah diperlukan untuk membangun tatanan
Islami dan menghancurkan pemimpin-pemimpin kafir.
Neorevivalis beranggapan bahwa pendirian khilafah
mengatasi kondisi keterpurukan muslim. Selain itu, akan terwujud keadilan,
kehormatan, kesejahteraan, dan segala kebaikan bagi umat Islam dan manusia.[13]
Khilafah menjadikan umat Islam sebagai pihak dominan
pembawa kebaikan, keadilan, serta stabilitas. Pendirian khilafah mampu
mengembalikan umat Islam kepada puncak kejayaan sebagaimana dalam sejarah
peradaban Islam, seperti yang diungkapkan An Nabhani: “Daulah Khilafah bukanlah
khayalan pemimpi, sebab terbukti telah memenuhi pentas sejarah selama 13 abad.
Ini adalah kenyataan. Daulah Khilafah merupakan kenyataan di masa lalu dan
tidak lama lagi akan menjadi kenyataan”.
Barat dan peradabannya dianggap merupakan musuh utama
bagi kelompok neorevivalis Islam. Konsep demokrasi, sekulerisme, nasionalisme,
sosialisme, komunisme, kapitalisme, individualisme, serta hal lain yang identik
dengan peradaban Barat, dipercaya kelompok neorevivalis sebagai nilai kufur
yang haram diterapkan oleh kaum muslim. Menurut neorevivalis, peradaban Barat
dapat menjerumuskan umat Islam kembali ke dalam zaman jahiliyyah
Pasca-Revolusi Islam Iran, neorevivalisme Islam menjadi
popular. Neorevivalisme Islam ditandai bangkitnya kelompok muslim fanatik yang
bereaksi keras melawan the great Satan, yaitu Amerika Serikat dan
negara-negara Barat lainnya. Tren perlawanan terhadap Barat tidak lagi terbatas
pada masalah mengenai kultur kehidupan melainkan juga menyangkut konfrontasi
ideologi politik dan militer.
Pasca serangan 11 September 2001, kelompok-kelompok
neorevivalis radikal melancarkan aksi terorisme di Maroko, Filipina, Indonesia,
Arab Saudi, Yordania, dan Turki. Serangan bom ditujukan kepada obyek-obyek
vital yang berhubungan dengan Barat. Al Qaeda melancarkan serangan pada awal
2000-an. Serangan neorevivalis Islam yang dilancarkan di Yordania menewaskan 57
jiwa serta melukai 100 orang. Sasaran neorevivalis radikal adalah basecamp warga
Barat yang bekerja di Irak. Serangan juga ditujukan ke sejumlah sinagog,
Konsulat Inggris, serta Bank Inggris yang berada di Turki dan Maroko. Serangan
yang sama juga terjadi di Asia Tenggara. Kelompok Abu Sayyaf di Filipina
memperlihatkan tren kekerasan berupa pemboman, penculikan, pembunuhan, dan
pencurian dalam perjuangannya. Kelompok Jamaah Islamiyah melakukan aksi
terorisme di Bali, Jakarta, Poso, dan Ambon, pada periode tahun 2005-2007.
Pemerintah Amerika Serikat mensinyalir kedua gerakan ini merupakan struktur jaringan
Al Qaeda Asia Tenggara[14]
Negara-negara Barat tidak luput dari serangan kelompok
neorevivalis. Pada 11 Maret 2004, rangkaian serangan bom bunuh diri meledak di
Madrid yang menewaskan lebih dari 191 jiwa dan melukai lebih dari 1500 warga.
Sedangkan pada 7 Juli 2005, rangkaian bom kereta bawah tanah meledak di London
dan menewaskan 56 jiwa serta menciderai sekitar 700 orang (Goodman dan Amanpour
2005). Pelaku penyerangan disinyalir merupakan jaringan Al Qaeda yang
beroperasi di Belgia, Denmark, Mesir, Perancis, Spanyol, dan Inggris.
Peristiwa 11 September 2001 dan peledakan bom terhadap
simbol-simbol Barat di beberapa kota besar dunia pada awal 2000-an menjadi
titik kulminasi perjuangan ekstrim kelompok neorevivalis. Karena itu,
eksistensi kelompok neorevivalis seringkali berbenturan dengan
kelompok-kelompok Islam denominasi tradisionalis, nasionalis, maupun moderat[15].
Adanya keinginan kelompok neorevivalis menerapkan syariat
Islam mendiskrimasi nonmuslim sebagai warga kelas dua oleh Bassam Tibi dinilai membahayakan
tatanan dunia[16].
C. Neorevivalisme Islam: Tandingan
terhadap Kosmopolitan atau terhadap Identitas Barat?
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, menjadi menarik untuk
mengkaji faktor-faktor kemunculan fenomena neorevivalisme Islam dalam dunia
internasional. Sebab, tesis tulisan ini berbeda dengan studi yang dilakukan
oleh Oliver Roy mengenai fundamentalisme Islam. Roy berargumen bahwa fenomena
Islamisme atau neorevivalisme Islam ini telah berakhir dan mengalami kemunduran
sejak pasca-perang dingin. Sebaliknya, realita yang tampak menunjukkan
kecenderungan pergerakan yang konsisten dalam fenomena neorevivalisme Islam
sejak awal pergerakan neorevivalis Islam pada dekade 1930-an. Konsistensi
pergerakan neorevivalis dapat dilihat dari berbagai prinsip pemikiran dan
ajaran tokoh-tokohnya yang berasal dari dekade 1930-an bahkan hingga era
kontemporer. Konsistensi juga diperlihatkan dengan berbagai aktivitas berbagai
kelompok neorevivalis
Studi populer yang dilakukan oleh Anthony Giddens
mengatakan bahwa fundamentalisme agama merupakan permasalahan konflik antara
tradisi dengan kosmopolitanisme dalam era globalisasi yang baru terjadi pada
era pasca-Perang Dingin. Menurut Giddens, globalisasi adalah era yang
benar-benar baru dalam perjalanan dunia. Globalisasi ditandai dengan
kesemerawutan dan tidak adanya dominan tunggal dalam perkembangan dunia.
Identitas globalisasi berkaitan erat dengan kosmopolitanisme. Globalisasi
mencerabut identitas akar seluruh manusia sehingga tercipta kebingungan.
Sebagian orang yang kebingungan dengan identitasnya memilih jalan untuk menjadi
fundamentalis untuk berhadapan dengan nilai-nilai kosmopolitanisme.
Realita globalisasi pada dasarnya merupakan Westernisasi
dan ekspansi peradaban-ideologi Barat ke seluruh dunia. Globalisasi membuat
polarisasi kelompok-kelompok ke dalam kelompok pemenang dan yang
termarjinalkan. Globalisasi menimbulkan resistensi dari berbagai pihak.
Resistensi terhadap globalisasi terjadi dalam berbagai sektor. Pertentangan
terjadi antara nilai-nilai Barat dengan lokal dalam berbagai aspek.
Menurut Wibowo dan Wibisono, terdapat tiga hal inspirator
kemunculan gerakan antiglobalisasi kontemporer. Pertama, situasi
perekonomian dunia secara umum semakin terpuruk. Kedua, organisasi
internasional didominasi oleh kepentingan negara-negara Barat. Ketiga,
dominasi mirip kolonialisme abad ke-19 oleh negara Barat atas negara sedang
berkembang dan negara miskin.
D. Respon terhadap
Westernisasi-Modernisasi
Respon-respon serupa dapat ditemukan dalam konteks dunia
Islam. Respon pertama adalah penolakan. Dalam respon tersebut modernisasi harus
ditolak bersamaan dengan westernisasi. Respon kedua adalah herodianisme yang
mencakup penerimaan menyeluruh terhadap modernisasi ataupun westernisasi.
Respon ketiga adalah reformisme yang berusaha menggabungkan modernisasi dengan
nilai, praktik, dan institusi masyarakat tradisional. Respon keempat adalah
menerima westernisasi tanpa melakukan modernisasi. Dominasi bangsa-bangsa Barat
pada era kolonialisme dan pascakonialisme memaksa sebagian kaum muslim
mentransformasikan nilai-nilai tradisional sebagai nilai-nilai yang dapat
dikompromikan dengan sistem Barat. Respon reformis dalam sejarah Islam dapat
ditemukan pada gagasan Jamaluddin Al Afghani, Sayyid Ahmad Khan, dan Ali Ahmad
Ridha. Gerakan Islam yang terpengaruh gagasan ketiga tokoh itu berusaha
mengkombinasikan nilai-nilai tradisional Islam dengan modernitas Barat. Sebagai
contoh, ajaran dari tokoh-tokoh tersebut menerima adanya emansipasi wanita,
menerapkan monogami, mengadopsi demokrasi parlementer, serta menerima sistem
pendidikan Barat. Dalam tingkat yang ekstrim, kelompok ini juga mengharamkan
poligami karena tidak sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat muslim dalam
era modern. Muhammad Abduh misalnya mengharamkan poligami untuk dilakukan dalam
era modern. Namun, golongan ini tetap menyerukan identitas keislaman bagi tiap
individu muslim, serta menyerukan konsep pan-Islamisme.
Sementara itu, sebagian kelompok dalam masyarakat muslim
mengadopsi sistem-sistem Barat secara penuh. Kelompok ini memandang bahwa
ajaran Islam harus direduksi ke dalam tingkat privat. Implementasi syariat dan
nilai-nilai masyarakat tradisional muslim dapat menghambat modernisasi. Karena
itu kelompok sekularis menerapkan sekulerisasi secara tegas. Contoh penerapan
sekulerisasi dilakukan oleh Kemal Attaturk pada 1924 dengan mengubah Turki dari
imperium teokrasi ke negara sekuler.
Sedangkan, reaksi penolakan berasal dari sebagian kaum
muslim yang bertransformasi menjadi kelompok fundamentalis. Kelompok
fundamentalis berupaya menegakkan agama menjadi ideologi politik yang mencakup
sistem ekonomi, budaya, dan sosial. fundamentalis berusaha mewujudkan
idealismenya dalam gerakan politik. Walaupun tidak selalu menolak produk-produk
modernisasi, tetapi kelompok tersebut menolak westernisasi secara tegas.
Kelompok fundamentalis menegaskan bahwa agama dapat diterpakan secara kaffah.
Tuntutan penerapan syariat berlawanan dengan konsep sistem Barat. Fundamentalis
berbeda dengan kalangan tradisionalis. Fundamentalis Islam melakukan larangan
terhadap alkohol, bunga pinjaman, perjudian, musik, sistem parlementer,
perbauran antara pria dan wanita, serta larangan penampilan unsur-unsur
seksualitas dalam publik. Kalangan tradisionalis menerima aspek budaya lokal
dalam menerapkan syariat, sedangkan fundamentalis mengaplikasikan syariat
secara puritan dan menyeluruh. Perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan
terpisahnya gerakan fundamentalis dari kelompok Islam tradisional, moderat,
maupun sekuler. Karena itu, gerakan fundamentalis sering disebut sebagai
gerakan neorevivalis.
E.
Fundamentalisme Islam di Indonesia: Sketsa Awal
Dalam
konteks Indonesia, pemetaan orientasi ideologi gerakan Islam membutuhkan
observasi dan identifikasi yang mendalam. Namun, jika kita mengikuti pendekatan
Olivier Roy atau Nazih Ayubi, maka fundamentalisme Islam di Indonesia memiliki
karakteristik dasar yang tidak jauh berbeda dari rekannya di kawasan Timur
Tengah misalnya, meskipun terdapat keunikan dan paradoks-paradoks.
Fundamentalisme Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua:
tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional diwakili oleh kelompok yang
menekankan pendekatan literal dan skriptural terhadap sumber Islam, seperti
Persatuan Islam (Persis), dan dalam konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia
(MUI) melalui fatwa-fatwanya.[17]
Sementara itu, fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme
dalam politik diwakili misalnya oleh partai politik Islam seperti Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai Islam
lain yang bercita-cita mendirikan “negara Islam” dengan dasar syari’ah dan
ideologi Islam. Mereka yang memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai dasar negara
termasuk dalam kelompok fundamentalisme atau neo-fundamentalisme. Mereka tidak
mempersoalkan watak negara-bangsa dengan demokrasi sekularnya. Namun, secara
substansial sesungguhnya terdapat paradoks antara penerimaan mereka terhadap
sistem politik sekular dengan perjuangan mereka menerapkan syariat Islam. Jadi,
ditemukan adanya sikap kompromistis atau bahkan pragmatis di kalangan kelompok
fundamentalis Islam ini, tidak lagi taktik politik.
Contoh fundamentalisme Islam lainnya adalah Hizbut-Tahrir Indonesia
(HTI) yang memperjuangkan berdirinya khilafah universal dan syariat Islam
sebagai dasarnya. Kelompok ini tidak mengakui negara nasional. Perjuangan
mereka tidak untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai politik
Islam yang ada, tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah
kepemimpinan tunggal khilafah Islamiyyah. Hampir serupa dengan HTI adalah
gerakan Jama’ah Islamiyyah yang dianggap bertujuan untuk mendirikan negara
regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang amir. Sangat mungkin,
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) merepresentasikan model gerakan ini. Baik HTI
maupun MMI memiliki kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak
rejim sekular, demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika).[18]
Meminjam Roy, mereka ini adalah kelompok political
Islam (Islam politik) yang belum pernah berhasil mengubah landscape politik Indonesia.
Sementara itu, ekspresi fundamentalisme Islam yang lain adalah
orientasi radikalisme Islam yang terwakili misalnya oleh gerakan Front Pembela
Islam (FPI), dan Lasykar Jihad. Orientasi radikalisme Islam ini lebih pada
penerapan syariah pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara. Dengan
mengikuti penjelasan Roy terdahulu, orientasi ini menggambarkan adanya
pergeseran perjuangan kaum fundamentalis dari pengislaman negara (formalisasi
syariah pada level negara) ke pengislaman (penerapan syariah pada level)
masyarakat. Mereka berjuang tidak untuk mewujudkan negara Islam
(setidak-tidaknya untuk jangka pendek), tetapi lebih pada penerapan syariah
pada level keluarga dan masyarakat (Islamized
space). Hanya saja, dalam mewujudkan tujuan Islamisasi masyarakat, menjaga
moralitas Islam, mereka cenderung menggunakan cara atau pendekatan kekerasan.
F. KESIMPULAN
Gerakan Neo-Revivalis yang muncul
pada paruh pertama abad ke-20 disinyalir
merupakan tindak lanjut perjuangan Islam dalam terhadap kolonialisme dunia
barat. Terwujudnya daulah Islamiyah menjadi maintrems dan cita ideal perjuangan
islam dengan bentuk dan corak yang beraneka ragam sesuai dengan konteks dan
kondisi zamannya. Revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali
kepada ajaran Islam yang murni, yaitu: (a) kembali kepada Islam yang asli,
memurnikan Islam dari tradisi lokal dan pengaruh budaya asing; (b) mendorong
penalaran bebas, ijtihad, dan menolak
taqlid; (c) perlunya hijrah dari
wilayah yang didominasi oleh orang kafir (dar
al-kufr); (d) keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan seorang
pembaru.
lima prinsip utama para ideolog neorevivalisme Islam.
Pertama, din wa dawlah. Islam merupakan sebuah sistem kehidupan total
dan universal. Pemisahan antara din (agama) dan dawlah (negara)
tidak dikenal dalam Islam. Kedua, penerapan Al Qur’an dan As-Sunnah secara
puritan. Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Keempat,
kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Kelima, komitmen kuat
mewujudkan tatanan Islami.
Neorevivalisme merupakan gerakan anti barat dan antiglobalisasi
kontemporer, secara umum hal tersebut tidak lepas dari situasi dan kondisi
dunia : Pertama, situasi perekonomian dunia secara umum semakin
terpuruk. Kedua, organisasi internasional didominasi oleh kepentingan
negara-negara Barat. Ketiga, dominasi mirip kolonialisme abad ke-19 oleh
negara Barat atas negara sedang berkembang dan negara miskin.
Radikalisme Islam merupakan fenomena modern dan kontemporer, dan
merupakan reaksi terhadap munculnya nasionalisme sekular. Jika revivalisme
Islam mendapatkan inspirasi dari ide-ide normatif Islam, dan reformisme
berusaha untuk menggabungkan unsur-unsur Islam dan Barat, ideologi radikalisme
menggambarkan respons langsung terhadap munculnya negara-bangsa yang merdeka. Militansi
dan atavisme radikalisme Islam menggambarkan sistesis kreatif revivalisme dan
reformisme.
Fundamentalisme Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua:
tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional diwakili oleh kelompok yang
menekankan pendekatan literal dan skriptural terhadap sumber Islam, seperti
Persatuan Islam (Persis), dan dalam konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia
(MUI) melalui fatwa-fatwanya.
Fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dalam politik
diwakili misalnya oleh partai politik Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai Islam lain yang
bercita-cita mendirikan “negara Islam” dengan dasar syari’ah dan ideologi
Islam. Mereka yang memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai dasar negara termasuk
dalam kelompok fundamentalisme atau neo-fundamentalisme. Mereka tidak
mempersoalkan watak negara-bangsa dengan demokrasi sekularnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baskara, Nando,Gerilyawan-Gerilyawan
Militan Islam, Jakarta: Buku Kita, 2009
Bubalo, Anthony, Joining the
Caravan: Midde East, Islamism, and Indonesia. New South Wales: Lowy
Institute for International Polic, 2005
Choueiri, M Youssef., Islamic
Fundamentalism, Boston, Massachusetts: Twayne Publishers, 1990.
Dekmejian, R. Hrair, “Islamic Revival: Catalysts, Categories, and
Consequences,” dalam The Politics of
Islamic Revivalism: Diversity and Unity, ed. Shireen T. Hunter, Bloomington
and Indianapolis: Indiana University Press, 1988.
E-mail;
Prihandono-wibowo@yahoo.com.
Jainuri, Achmad, Orientasi
Ideologi Gerakan Islam, Surabaya: LPAM, 2004
l Karim Soroush, Abdu, “Reason, Freedom, and Democracy in Islam:
Essential Writings of Abdul Karim Soroush,” diterj. Abdullah Ali, Abdul Karim
Soroush: Menggugat Ototritas dan Tradisi Agama, Cet. I; Bandung: Mizan, 2002.
Novianto, Khalid, Pemetaan
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Reform Review Journal, edisi 1,
2007
Rahmat, Imdadun, Arus Baru
Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta:
Erlangga,2008
Saeed, Abdullah, “Islamic Banking and Interest: A
Study of Riba and Its Contemporery Interpretation,” diterj. Arif Maftuhin,
Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis,
Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2004
Sihbudi, Riza, et.al. Islam
dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005.
Tibi, Bassam, Islam: World Politics and Europe, New
York: Roudledge, 2008
………………..,, Ancaman
Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Jogjakarta:
Tiara Wacana Yogyakarta, 2000
Voll Obert, John, “Relations Among Islamist Groups,” dalam Political Islam: Revolution, Radicalism, or
Reform?, ed. John L. Esposito, Boulder, Colorado: Lynne Rienner Publishers,
Inc., 1997.
……………….., Islam Continuity
and Change in the Modern World, Second Edition, Syracuse: Syracuse
University Press, 1994
[1] Abdul Karim Soroush membagi dua bentuk Revivalis, yakni Revivalis
Masa Lalu dan Revivalis Masa Kini. Revivalis Masa Lalu
mengabdikan diri pada tugas-tugas memangkas hal yang tidak diperlukan,
melumatkan kedok-kedok, menyibakkan tahayul, menghapus bid,ah, membuka kedok
para pedagang agama, membersihkan debu dari wajah agama. Mereka bertekad
mengungkapkan dan memperkenalkan kembali esensi agama yang sebenarnya. Masuk
dalam kategori ini ialah Muhammad al-Ghazali, Faiz Kassani, Jalal al-Din Rumi,
Sayyid Mahmud Sabistari, Sayyid Haidar Amuli yang berbicara tentang syariat
ritus hukum), tarikat (jalan yang benar) dan hakikat (dimensi batin) agama.
Mereka tidak ingin kebenaran agama dikaburkan oleh parade ritus, dan tidak
menginginkan agama dibatasi oleh nilai-nilai tampilan luar. Sedangkan Revivalis
Masa Kini berupaya untuk memahami dan memelihara pesan abadi agama dalam
gelombang perubahan dan pembaruan yang geitu besar. Jika kaum Revivalis Masa
Lalu diabdikan pada tugas menyelamatkan agama dari cengkeraman kaum jahiliah
dan para penjaja agama, maka Revivalis Masa Kini mencurahkan diri pada perilaku
agama yang tepat melalui jalan dunia temporal yang penuh bahaya dan memberikan
makna agama yang benar dan relevan di dunia sekuler yang semakin bergolak.
Tokoh yang masuk dalam kategori ini adalah Sayyid Jamal Asadi, Muhammad Iqbal,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Syariati, Ruhullah Khomeini, Murtadha
Muthahhari. Lihat Abdul Karim Soroush, “Reason, Freedom, and Democracy in
Islam: Essential Writings of Abdul Karim Soroush,” diterj. Abdullah Ali, Abdul
Karim Soroush: Menggugat Ototritas dan Tradisi Agama, (Cet. I; Bandung: Mizan,
2002), h. 35-37.
[2] Abdullah
Saeed, “Islamic Banking and Interest: A Study of Riba and Its Contemporery
Interpretation,” diterj. Arif Maftuhin, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas
Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, (Cet. I; Jakarta: Paramadina,
2004), h. 1-3.
[5] Bassam Tibi, Ancaman
Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru
(Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000). 94
[6] Berbeda dengan
revivalisme Islam pada abad ke-18 yang hanya menekankan sisi legalitas
penerapan syariat, neorevivalisme berorientasi mewujudkan syariat Islam sebagai
sebuah ideologi politik (Daniel Pipes, In the Name of God. New Jersey:
Transaction Publishers 2003, 124). Anthony
Bubalo, Joining the Caravan: Midde East, Islamism, and Indonesia. New
South Wales: Lowy Institute for International Polic, 2005), 6
[7] Imdadun Rahmat, Arus
Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia
(Jakarta: Erlangga,2008), 15.
[8] Youssef M. Choueiri, Islamic Fundamentalism (Boston, Massachusetts: Twayne Publishers,
1990), 21-24.
[9] R. Hrair
Dekmejian, “Islamic Revival: Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam The Politics of Islamic Revivalism:
Diversity and Unity, ed. Shireen T. Hunter (Bloomington and Indianapolis:
Indiana University Press, 1988), 12.
[10] John Obert
Voll, Islam Continuity and Change in the
Modern World, Second Edition (Syracuse: Syracuse University Press, 1994),
53; John Obert Voll, “Relations Among Islamist Groups,” dalam Political Islam: Revolution, Radicalism, or
Reform?, ed. John L. Esposito (Boulder, Colorado: Lynne Rienner Publishers,
Inc., 1997): 231-247.
[11] Untuk kajian
tentang perbandingan karakteristik orientasi ideologi gerakan Islam
(tradisionalis, modernis, sekularis dan fundamentalis), lihat Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam
(Surabaya: LPAM, 2004).
[12] E-mail;Prihandono-wibowo@yahoo.com.
[13] An Nabhani 2002, 99
[14] Nando Baskara,Gerilyawan-Gerilyawan Militan Islam
(Jakarta: Buku Kita,2009), 55
[15] Khalid Novianto, Pemetaan Gerakan Islam Transnasional
di Indonesia (Reform Review Journal, edisi 1, 2007), 189
[16] Bassam Tibi, Islam: World Politics and Europe (New
York: Roudledge, 2008), 64
[17] Lihat misalnya Kompas 30 Juli 2005, 1, 4-5; Tempo
(21 Agustus 2005), 156-157.
[18] Lihat Riza
Sihbudi, et.al. Islam dan Radikalisme di
Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005).