Selasa, 30 April 2013

Neo Revivalisme, Sketsa Awal Pemikiran dan Gerakannya


A.  PENDAHULUAN
Gerakan pemikiran Islam merupakan respon terhadap perkembangan dan kondisi zamannya, untuk mempermudah melakukan klasifikasi pemikiran tersebut beberapa ahli dan tokoh ke-islaman membagi menjadi beberapa tipologi pemikiran Islam, semisal Fazlurrahman. Ia membagi tipologi pemikiran Islam menjadi tiga; Pertama Gerakan Revivalis[1] yang muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 biasa dikenal dengan tajdid adalah suatu proses yang dengannya komunitas muslim (ummah) menghidupkan kembali kerangka social, moral, dan agama dengan kembali kepada dasar-dasar Islam, yakni al-Quran dan al-Sunnah[2]. Tokoh yang masuk dalam kelompok ini adalah al-Ghazali (w.1111), Ibn Taymiyah (w.1328), Ahmad Sirhindi (w.1624), Syah Wali Allah Dihlawi (w.1762) di India, dan Muhammad Ibn Abdul Wahhab (w.1792) di Arab Saudi, Muhammad Ibn Ali al-Syaukani (w.1834) di Yaman, Sayyid Ahmad dari Rae Bareli di India, Hajj Syariat Allah di Bengal (l.1764), Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (w.1859) di Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat. Gerakan Revivalis memusatkan diri pada: a) kepedulian yang sangat terhadap kebobrokan social dan masyarakat muslim, b) seruan untuk kembali ke dalam Islam yang murni dan membuang tahyul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer, c) usaha-usaha untuk membebaskan diri dari ide kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab fiqhi dan usaha-usaha untuk melaksanakan ijtihad, yaitu memikir ulang secara pribadi mengenai makna risalah yang murni.
Gerakan Modernis yang muncul pada akhir abad ke-19 menyerukan dilakukannya upaya-upaya baru ijtihad, untuk menggali prinsip-prinsip dari al-Quran dan al-Sunnah otentik dan untuk merumuskan hukum-hukum yang diperlukan berdasar pada prinsip-prinsip tersebut. Mereka melihat al-Quran sebagai suatu respon terhadap situasi historis yang meliputi, untuk bagian terbesar ajaran-ajaran moral keagamaan dan social dalam menjawab masalah-masalah tertentu yang dihadapi dalam situasi histories yang nyata. Gerakan Modernis juga menyerukan hal-hal berikut: 1) penggunaan sunnah secara selektif; 2) penerapan pemikiran orisisnil yang sitematis tanpa klaim finalitas; 3) pembedaan yang harus dibuat antara syaiat dan fiqhi; 4) penghindaran terhadap sektarianisme; 5) perujukan kembali kepada metodologi yang khas tetapi tidak melulu kepada fiqhi dan solusi mazhab klasik, baik yang telah punah maupun yang masih ada.[3] Gerakan ini dipelopori di India oleh Sayyid Ahmad Khan (w.1898) dan diseluruh Timur Tengah oleh Jamal al-Din al-Afghani (w.1897) dan di Mesir oleh Muhammad Abduh (w.1905).
Gerakan Neo-Revivalis yang muncul pada paruh pertama abad ke-20 memfokuskan diri pada: a) melawan westernisasi umat Islam; b) membela keserbacukupan; c) Islam sebagai pandangan hidup; d) menolak segala bentuk reinterpretasi al-Quran dan al-Sunnah. Gerakan Neo-Revivalis muncul di Mesir dan anak benua India, yaitu Ikhwan al-Muslimin oleh Hasan al-Banna (w.1949) dan Jama’at al-Islami oleh Abu al-A’la al-Maududi (w.1979). Pengikut mereka adalah Sayyid Quthub (1961), Muh. Quthub (1965), dan Abdul Qadir al-Audah (1967). Fungsi ijtihad menurut Neo-Revivalis adalah untuk menghasilkan solusi-solusi bagi masalah-masalah yang tidak terjawab secara eksplisit oleh al-Quran dan al-Sunnah[4].
Gerakan Neo-Modernis muncul pada paruh kedua abad ke-20 yang mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. Neo-Modernisme sebagai persyaratan utama bagi renaissance Islam.
M. Amin Abdullah membagi pola pikir keagamaan menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Pola pikir keagamaan Islam yang absolutely-absolute bersifat taqdis al-afkar, truth claim, ta’abbudi, qat’iyyat, kaku, rigid, bercorak idealistic, serta tidak kenal kompromi, consensus dan negosiasi.
2.      Pola pikir keagamaan Islam yang absolute-relative perilaku agama adalah perilaku social, agama adalah tradisi dan tradisi adalah agama, tidak mengenal dimensi rohaniah-esoterik dan bersifat reduksionistik, sekuler, dehumanis, nihilism, serta ta’aqquly dan zhanniyat permanen.
3.      Pola pikir keagamaan Islam yang relative-absolute ta’aqquli sekaligus ta’abbudi, perpaduan qat’iyyat dan dzanniyat, tasamuh, mementingkan dialog antar umat/keimanan beragama, tidak mendangkalkan akidah serta tidak memandang rendah tradisi dan budaya yang dimiliki orang lain.
B.  NEO REVIVALISME PEMIKIRAN DAN GERAKANNYA
Gelombang neorevivalisme Islam menjadi sebuah fenomena sejak dekade 1970-an di Timur Tengah. Namun, secara historis, realitas fenomena ini telah ada sejak dekade terbentuknya Ikhwanul Muslimin pada akhir 1920-an[5], yang disinyalir merupakan tindak lanjut nya perjuangan Islam dalam terhadap kolonialisme dunia barat. Terwujudnya daulah Islamiyah menjadi maintrems dan cita ideal perjuangan islam dengan bentuk dan corak yang beraneka ragam sesuai dengan konteks dan kondisi zamannya. Gerak bangkit islam ditandai maraknya perjuangan pengaplikasian ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan budaya, hubungan sosial, ekonomi, dan politik, sebagai konsekwensinya adalah kesadaran masyarakat untuk berperilaku religius sesuai dengan norma-norma Islami[6] dan memperjuangkan ideologi Islam sehingga kerapkali bertentangan dengan pemerintah, negara, serta lembaga-lembaganya. Ultimate golnya adalah terwujudnya tatanan Tuhan dan negara Islam global serta persatuan muslim berdasar syariat Islam menjadi, dengan melakukan perubahan radikal sistem sosial politik ke arah kehidupan Islami[7].
Chouieri menyatakan bahwa munculnya revivalisme Islam dilatarbelakangi oleh kemerosotan moral, sosial dan politik umat Islam. Menurutnya, revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni. Contoh dari gerakan Islam revivalis adalah Wahhabiyyah yang memperoleh inspirasi dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arabia, Shah Wali Allah (1703-1762) di India, Uthman dan Fodio (1754-1817) di Nigeria, Gerakan Padri (1803-1837) di Sumatra, dan Sanusiyyah di Libya yang dinisbatkan kepada Muhammad ‘Ali al-Sanusi (1787-1859). Chouieri melihat adanya kemiripan agenda yang menjadi karakteristik gerakan-gerakan revivalis Islam tersebut, yaitu: (a) kembali kepada Islam yang asli, memurnikan Islam dari tradisi lokal dan pengaruh budaya asing; (b) mendorong penalaran bebas, ijtihad, dan menolak taqlid; (c) perlunya hijrah dari wilayah yang didominasi oleh orang kafir (dar al-kufr); (d) keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan seorang pembaru.[8]
Sementara itu, Dekmejian menyatakan bahwa munculnya pelbagi orientasi ideologi revivalis Islam dipengaruhi oleh adanya perbedaan yang timbul dari penafsiran yang berbeda terhadap al-Qur’an, al-Sunnah dan sejarah Islam awal. Selain itu ada faktor lain seperti watak dari situasi krisis, keunikan dalam kondisi sosial dan gaya kepemimpinan dari masing-masing gerakan. Atas dasar itu, Dekmejian mengidentifikasi empat kategori ideologi revivalis: (a) adaptasionis-gradualis (al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, Iraq, Sudan, Jordan, Afrika Utara; dan Jama’at-i Islami di Pakisan); (b) Shi’ah revolusioner (Republik Islam Iran, Hizb al-Da’wah Iraq, Hizbullah Libanon, Jihad Islam Libanon; (c) Sunni revolusioner (al-Jihad Mesir, Organisasi Pembebasan Islam Mesir, Jama’ah Abu Dharr Syria, Hizb al-Tahrir di Jordania dan Syria; (d) primitivis-Mesianis (al-Ikhwan Saudi Arabia, al-Takfir wa al-Hijrah Mesir, Mahdiyyah Sudan, Jama’at al-Muslimin lil-Takfir Mesir.[9]
Jhon Obert Voll cenderung tidak membuat pembedaan yang signifikan antara revivalisme dan fundamentalisme. Menurutnya, Islamic revivalism atau Islamic resurgence mewujudkan dirinya dalam bentuk yang beragam, misalnya Wahhabiyyah, yang dia anggap sebagai representasi dari “the prototype of rigorous fundamentalism in the modern Islamic experience,”[10] yang oleh Choueiri dipandang sebagai revivalis dalam makna yang positif, seperti disebut terdahulu.
Terlepas dari beberapa perbedaan perspektif dan implikasi yang ditimbulkannya, korelasi, kaitan atau kemiripan karakteristik dasar antara fundamentalisme, revivalisme, Islamisme dan radikalisme tidak bisa dikesampingkan. Jika ditelaah lebih mendalam akan tampak adanya semacam family resemblance antara berbagai orientasi ideologis tersebut,[11] meskipun masing-masing tetap memiliki tekanan dan strategi yang berbeda, tergantung situasi dan kondisi sosial dan gaya kepemimpinan (leadership style) dari masing-masing gerakan.
Menurut Dekmeijan dalam Prihandono Wibowo[12], terdapat lima prinsip utama para ideolog neorevivalisme Islam. Pertama, din wa dawlah. Islam merupakan sebuah sistem kehidupan total dan universal. Pemisahan antara din (agama) dan dawlah (negara) tidak dikenal dalam Islam. Kedua, penerapan Al Quran dan As-Sunnah secara puritan. Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Kelima, komitmen kuat mewujudkan tatanan Islami.
Neorevivalis berprinsip bahwa kedaulatan sepenuhnya milik Tuhan. Kalimat syahadat (laa ilaa ha illallah, muhammadar rasulullah) bermakna tiada pemerintahan, tiada kekuasaan, dan tiada sistem kecuali kekuasaan dan sistem Tuhan. Tiada kedaulatan kecuali kedaulatan Tuhan. Masyarakat Islam hanya dapat dibangun sesuai syariat. Sistem di luar Islam merupakan sistem kafir.
Neorevivalis Islam bersikap memproklamasikan tatanan dunia baru yakni tatanan yang dipercaya sebagai tatanan Tuhan. Penerapan nizam al-Islami (tatanan Islam), hakimiyyat Allah (kedaulatan Tuhan), dan syariat global merupakan idealisme tertinggi kelompok neorevivalis. Tatanan tersebut menggantikan tatanan dunia kontemporer yang berorientasi humanitas, kapitalis, modernitas, dan nilai-nilai sekuler Barat.
Menurut neorevivalis, umat Islam memerlukan institusi untuk mencapai idealisme tata dunia Islami. Khilafah merupakan “negara” yang di dalamnya tegak syariat dan kedaulatan Tuhan berkuasa di dalamnya. Kekhilafahan adalah kepemimpinan tunggal bagi muslim untuk menegakkan syariat dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah diperlukan untuk membangun tatanan Islami dan menghancurkan pemimpin-pemimpin kafir.  
Neorevivalis beranggapan bahwa pendirian khilafah mengatasi kondisi keterpurukan muslim. Selain itu, akan terwujud keadilan, kehormatan, kesejahteraan, dan segala kebaikan bagi umat Islam dan manusia.[13]
Khilafah menjadikan umat Islam sebagai pihak dominan pembawa kebaikan, keadilan, serta stabilitas. Pendirian khilafah mampu mengembalikan umat Islam kepada puncak kejayaan sebagaimana dalam sejarah peradaban Islam, seperti yang diungkapkan An Nabhani: “Daulah Khilafah bukanlah khayalan pemimpi, sebab terbukti telah memenuhi pentas sejarah selama 13 abad. Ini adalah kenyataan. Daulah Khilafah merupakan kenyataan di masa lalu dan tidak lama lagi akan menjadi kenyataan”.
Barat dan peradabannya dianggap merupakan musuh utama bagi kelompok neorevivalis Islam. Konsep demokrasi, sekulerisme, nasionalisme, sosialisme, komunisme, kapitalisme, individualisme, serta hal lain yang identik dengan peradaban Barat, dipercaya kelompok neorevivalis sebagai nilai kufur yang haram diterapkan oleh kaum muslim. Menurut neorevivalis, peradaban Barat dapat menjerumuskan umat Islam kembali ke dalam zaman jahiliyyah
Pasca-Revolusi Islam Iran, neorevivalisme Islam menjadi popular. Neorevivalisme Islam ditandai bangkitnya kelompok muslim fanatik yang bereaksi keras melawan the great Satan, yaitu Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Tren perlawanan terhadap Barat tidak lagi terbatas pada masalah mengenai kultur kehidupan melainkan juga menyangkut konfrontasi ideologi politik dan militer.
Pasca serangan 11 September 2001, kelompok-kelompok neorevivalis radikal melancarkan aksi terorisme di Maroko, Filipina, Indonesia, Arab Saudi, Yordania, dan Turki. Serangan bom ditujukan kepada obyek-obyek vital yang berhubungan dengan Barat. Al Qaeda melancarkan serangan pada awal 2000-an. Serangan neorevivalis Islam yang dilancarkan di Yordania menewaskan 57 jiwa serta melukai 100 orang. Sasaran neorevivalis radikal adalah basecamp warga Barat yang bekerja di Irak. Serangan juga ditujukan ke sejumlah sinagog, Konsulat Inggris, serta Bank Inggris yang berada di Turki dan Maroko. Serangan yang sama juga terjadi di Asia Tenggara. Kelompok Abu Sayyaf di Filipina memperlihatkan tren kekerasan berupa pemboman, penculikan, pembunuhan, dan pencurian dalam perjuangannya. Kelompok Jamaah Islamiyah melakukan aksi terorisme di Bali, Jakarta, Poso, dan Ambon, pada periode tahun 2005-2007. Pemerintah Amerika Serikat mensinyalir kedua gerakan ini merupakan struktur jaringan Al Qaeda Asia Tenggara[14]
Negara-negara Barat tidak luput dari serangan kelompok neorevivalis. Pada 11 Maret 2004, rangkaian serangan bom bunuh diri meledak di Madrid yang menewaskan lebih dari 191 jiwa dan melukai lebih dari 1500 warga. Sedangkan pada 7 Juli 2005, rangkaian bom kereta bawah tanah meledak di London dan menewaskan 56 jiwa serta menciderai sekitar 700 orang (Goodman dan Amanpour 2005). Pelaku penyerangan disinyalir merupakan jaringan Al Qaeda yang beroperasi di Belgia, Denmark, Mesir, Perancis, Spanyol, dan Inggris.
Peristiwa 11 September 2001 dan peledakan bom terhadap simbol-simbol Barat di beberapa kota besar dunia pada awal 2000-an menjadi titik kulminasi perjuangan ekstrim kelompok neorevivalis. Karena itu, eksistensi kelompok neorevivalis seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok Islam denominasi tradisionalis, nasionalis, maupun moderat[15].
Adanya keinginan kelompok neorevivalis menerapkan syariat Islam mendiskrimasi nonmuslim sebagai warga kelas dua oleh Bassam Tibi dinilai membahayakan tatanan dunia[16].
C.  Neorevivalisme Islam: Tandingan terhadap Kosmopolitan atau terhadap Identitas Barat?
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, menjadi menarik untuk mengkaji faktor-faktor kemunculan fenomena neorevivalisme Islam dalam dunia internasional. Sebab, tesis tulisan ini berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Oliver Roy mengenai fundamentalisme Islam. Roy berargumen bahwa fenomena Islamisme atau neorevivalisme Islam ini telah berakhir dan mengalami kemunduran sejak pasca-perang dingin. Sebaliknya, realita yang tampak menunjukkan kecenderungan pergerakan yang konsisten dalam fenomena neorevivalisme Islam sejak awal pergerakan neorevivalis Islam pada dekade 1930-an. Konsistensi pergerakan neorevivalis dapat dilihat dari berbagai prinsip pemikiran dan ajaran tokoh-tokohnya yang berasal dari dekade 1930-an bahkan hingga era kontemporer. Konsistensi juga diperlihatkan dengan berbagai aktivitas berbagai kelompok neorevivalis
Studi populer yang dilakukan oleh Anthony Giddens mengatakan bahwa fundamentalisme agama merupakan permasalahan konflik antara tradisi dengan kosmopolitanisme dalam era globalisasi yang baru terjadi pada era pasca-Perang Dingin. Menurut Giddens, globalisasi adalah era yang benar-benar baru dalam perjalanan dunia. Globalisasi ditandai dengan kesemerawutan dan tidak adanya dominan tunggal dalam perkembangan dunia. Identitas globalisasi berkaitan erat dengan kosmopolitanisme. Globalisasi mencerabut identitas akar seluruh manusia sehingga tercipta kebingungan. Sebagian orang yang kebingungan dengan identitasnya memilih jalan untuk menjadi fundamentalis untuk berhadapan dengan nilai-nilai kosmopolitanisme.
Realita globalisasi pada dasarnya merupakan Westernisasi dan ekspansi peradaban-ideologi Barat ke seluruh dunia. Globalisasi membuat polarisasi kelompok-kelompok ke dalam kelompok pemenang dan yang termarjinalkan. Globalisasi menimbulkan resistensi dari berbagai pihak. Resistensi terhadap globalisasi terjadi dalam berbagai sektor. Pertentangan terjadi antara nilai-nilai Barat dengan lokal dalam berbagai aspek.
Menurut Wibowo dan Wibisono, terdapat tiga hal inspirator kemunculan gerakan antiglobalisasi kontemporer. Pertama, situasi perekonomian dunia secara umum semakin terpuruk. Kedua, organisasi internasional didominasi oleh kepentingan negara-negara Barat. Ketiga, dominasi mirip kolonialisme abad ke-19 oleh negara Barat atas negara sedang berkembang dan negara miskin.

D.    Respon terhadap Westernisasi-Modernisasi
Respon-respon serupa dapat ditemukan dalam konteks dunia Islam. Respon pertama adalah penolakan. Dalam respon tersebut modernisasi harus ditolak bersamaan dengan westernisasi. Respon kedua adalah herodianisme yang mencakup penerimaan menyeluruh terhadap modernisasi ataupun westernisasi. Respon ketiga adalah reformisme yang berusaha menggabungkan modernisasi dengan nilai, praktik, dan institusi masyarakat tradisional. Respon keempat adalah menerima westernisasi tanpa melakukan modernisasi. Dominasi bangsa-bangsa Barat pada era kolonialisme dan pascakonialisme memaksa sebagian kaum muslim mentransformasikan nilai-nilai tradisional sebagai nilai-nilai yang dapat dikompromikan dengan sistem Barat. Respon reformis dalam sejarah Islam dapat ditemukan pada gagasan Jamaluddin Al Afghani, Sayyid Ahmad Khan, dan Ali Ahmad Ridha. Gerakan Islam yang terpengaruh gagasan ketiga tokoh itu berusaha mengkombinasikan nilai-nilai tradisional Islam dengan modernitas Barat. Sebagai contoh, ajaran dari tokoh-tokoh tersebut menerima adanya emansipasi wanita, menerapkan monogami, mengadopsi demokrasi parlementer, serta menerima sistem pendidikan Barat. Dalam tingkat yang ekstrim, kelompok ini juga mengharamkan poligami karena tidak sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat muslim dalam era modern. Muhammad Abduh misalnya mengharamkan poligami untuk dilakukan dalam era modern. Namun, golongan ini tetap menyerukan identitas keislaman bagi tiap individu muslim, serta menyerukan konsep pan-Islamisme.
Sementara itu, sebagian kelompok dalam masyarakat muslim mengadopsi sistem-sistem Barat secara penuh. Kelompok ini memandang bahwa ajaran Islam harus direduksi ke dalam tingkat privat. Implementasi syariat dan nilai-nilai masyarakat tradisional muslim dapat menghambat modernisasi. Karena itu kelompok sekularis menerapkan sekulerisasi secara tegas. Contoh penerapan sekulerisasi dilakukan oleh Kemal Attaturk pada 1924 dengan mengubah Turki dari imperium teokrasi ke negara sekuler.
Sedangkan, reaksi penolakan berasal dari sebagian kaum muslim yang bertransformasi menjadi kelompok fundamentalis. Kelompok fundamentalis berupaya menegakkan agama menjadi ideologi politik yang mencakup sistem ekonomi, budaya, dan sosial. fundamentalis berusaha mewujudkan idealismenya dalam gerakan politik. Walaupun tidak selalu menolak produk-produk modernisasi, tetapi kelompok tersebut menolak westernisasi secara tegas. Kelompok fundamentalis menegaskan bahwa agama dapat diterpakan secara kaffah. Tuntutan penerapan syariat berlawanan dengan konsep sistem Barat. Fundamentalis berbeda dengan kalangan tradisionalis. Fundamentalis Islam melakukan larangan terhadap alkohol, bunga pinjaman, perjudian, musik, sistem parlementer, perbauran antara pria dan wanita, serta larangan penampilan unsur-unsur seksualitas dalam publik. Kalangan tradisionalis menerima aspek budaya lokal dalam menerapkan syariat, sedangkan fundamentalis mengaplikasikan syariat secara puritan dan menyeluruh. Perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan terpisahnya gerakan fundamentalis dari kelompok Islam tradisional, moderat, maupun sekuler. Karena itu, gerakan fundamentalis sering disebut sebagai gerakan neorevivalis.
E.     Fundamentalisme Islam di Indonesia: Sketsa Awal
Dalam konteks Indonesia, pemetaan orientasi ideologi gerakan Islam membutuhkan observasi dan identifikasi yang mendalam. Namun, jika kita mengikuti pendekatan Olivier Roy atau Nazih Ayubi, maka fundamentalisme Islam di Indonesia memiliki karakteristik dasar yang tidak jauh berbeda dari rekannya di kawasan Timur Tengah misalnya, meskipun terdapat keunikan dan paradoks-paradoks.
Fundamentalisme Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua: tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional diwakili oleh kelompok yang menekankan pendekatan literal dan skriptural terhadap sumber Islam, seperti Persatuan Islam (Persis), dan dalam konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa-fatwanya.[17]
Sementara itu, fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dalam politik diwakili misalnya oleh partai politik Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai Islam lain yang bercita-cita mendirikan “negara Islam” dengan dasar syari’ah dan ideologi Islam. Mereka yang memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai dasar negara termasuk dalam kelompok fundamentalisme atau neo-fundamentalisme. Mereka tidak mempersoalkan watak negara-bangsa dengan demokrasi sekularnya. Namun, secara substansial sesungguhnya terdapat paradoks antara penerimaan mereka terhadap sistem politik sekular dengan perjuangan mereka menerapkan syariat Islam. Jadi, ditemukan adanya sikap kompromistis atau bahkan pragmatis di kalangan kelompok fundamentalis Islam ini, tidak lagi taktik politik.
Contoh fundamentalisme Islam lainnya adalah Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang memperjuangkan berdirinya khilafah universal dan syariat Islam sebagai dasarnya. Kelompok ini tidak mengakui negara nasional. Perjuangan mereka tidak untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai politik Islam yang ada, tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah kepemimpinan tunggal khilafah Islamiyyah. Hampir serupa dengan HTI adalah gerakan Jama’ah Islamiyyah yang dianggap bertujuan untuk mendirikan negara regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang amir. Sangat mungkin, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) merepresentasikan model gerakan ini. Baik HTI maupun MMI memiliki kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak rejim sekular, demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika).[18] Meminjam Roy, mereka ini adalah kelompok political Islam (Islam politik) yang belum pernah berhasil mengubah landscape politik Indonesia.
Sementara itu, ekspresi fundamentalisme Islam yang lain adalah orientasi radikalisme Islam yang terwakili misalnya oleh gerakan Front Pembela Islam (FPI), dan Lasykar Jihad. Orientasi radikalisme Islam ini lebih pada penerapan syariah pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara. Dengan mengikuti penjelasan Roy terdahulu, orientasi ini menggambarkan adanya pergeseran perjuangan kaum fundamentalis dari pengislaman negara (formalisasi syariah pada level negara) ke pengislaman (penerapan syariah pada level) masyarakat. Mereka berjuang tidak untuk mewujudkan negara Islam (setidak-tidaknya untuk jangka pendek), tetapi lebih pada penerapan syariah pada level keluarga dan masyarakat (Islamized space). Hanya saja, dalam mewujudkan tujuan Islamisasi masyarakat, menjaga moralitas Islam, mereka cenderung menggunakan cara atau pendekatan kekerasan.
F.   KESIMPULAN
Gerakan Neo-Revivalis yang muncul pada paruh pertama abad ke-20  disinyalir merupakan tindak lanjut perjuangan Islam dalam terhadap kolonialisme dunia barat. Terwujudnya daulah Islamiyah menjadi maintrems dan cita ideal perjuangan islam dengan bentuk dan corak yang beraneka ragam sesuai dengan konteks dan kondisi zamannya. Revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni, yaitu: (a) kembali kepada Islam yang asli, memurnikan Islam dari tradisi lokal dan pengaruh budaya asing; (b) mendorong penalaran bebas, ijtihad, dan menolak taqlid; (c) perlunya hijrah dari wilayah yang didominasi oleh orang kafir (dar al-kufr); (d) keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan seorang pembaru.
lima prinsip utama para ideolog neorevivalisme Islam. Pertama, din wa dawlah. Islam merupakan sebuah sistem kehidupan total dan universal. Pemisahan antara din (agama) dan dawlah (negara) tidak dikenal dalam Islam. Kedua, penerapan Al Qur’an dan As-Sunnah secara puritan. Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Kelima, komitmen kuat mewujudkan tatanan Islami.
Neorevivalisme merupakan gerakan anti barat dan antiglobalisasi kontemporer, secara umum hal tersebut tidak lepas dari situasi dan kondisi dunia : Pertama, situasi perekonomian dunia secara umum semakin terpuruk. Kedua, organisasi internasional didominasi oleh kepentingan negara-negara Barat. Ketiga, dominasi mirip kolonialisme abad ke-19 oleh negara Barat atas negara sedang berkembang dan negara miskin.
Radikalisme Islam merupakan fenomena modern dan kontemporer, dan merupakan reaksi terhadap munculnya nasionalisme sekular. Jika revivalisme Islam mendapatkan inspirasi dari ide-ide normatif Islam, dan reformisme berusaha untuk menggabungkan unsur-unsur Islam dan Barat, ideologi radikalisme menggambarkan respons langsung terhadap munculnya negara-bangsa yang merdeka. Militansi dan atavisme radikalisme Islam menggambarkan sistesis kreatif revivalisme dan reformisme.
Fundamentalisme Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua: tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional diwakili oleh kelompok yang menekankan pendekatan literal dan skriptural terhadap sumber Islam, seperti Persatuan Islam (Persis), dan dalam konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa-fatwanya.
Fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dalam politik diwakili misalnya oleh partai politik Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai Islam lain yang bercita-cita mendirikan “negara Islam” dengan dasar syari’ah dan ideologi Islam. Mereka yang memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai dasar negara termasuk dalam kelompok fundamentalisme atau neo-fundamentalisme. Mereka tidak mempersoalkan watak negara-bangsa dengan demokrasi sekularnya.


DAFTAR PUSTAKA
Baskara, Nando,Gerilyawan-Gerilyawan Militan Islam, Jakarta: Buku Kita, 2009
Bubalo, Anthony, Joining the Caravan: Midde East, Islamism, and Indonesia. New South Wales: Lowy Institute for International Polic, 2005
Choueiri, M Youssef., Islamic Fundamentalism, Boston, Massachusetts: Twayne Publishers, 1990.
Dekmejian, R. Hrair, “Islamic Revival: Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam The Politics of Islamic Revivalism: Diversity and Unity, ed. Shireen T. Hunter, Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1988.
E-mail; Prihandono-wibowo@yahoo.com.
Jainuri, Achmad, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, Surabaya: LPAM, 2004
l Karim Soroush, Abdu,  “Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdul Karim Soroush,” diterj. Abdullah Ali, Abdul Karim Soroush: Menggugat Ototritas dan Tradisi Agama, Cet. I; Bandung: Mizan, 2002.
Novianto, Khalid, Pemetaan Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Reform Review Journal, edisi 1, 2007
Rahmat, Imdadun, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga,2008
Saeed, Abdullah, “Islamic Banking and Interest: A Study of Riba and Its Contemporery Interpretation,” diterj. Arif Maftuhin, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2004
Sihbudi, Riza, et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005.
Tibi, Bassam,  Islam: World Politics and Europe, New York: Roudledge, 2008
………………..,, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Jogjakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 2000
Voll Obert, John, “Relations Among Islamist Groups,” dalam Political Islam: Revolution, Radicalism, or Reform?, ed. John L. Esposito, Boulder, Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc., 1997.
……………….., Islam Continuity and Change in the Modern World, Second Edition, Syracuse: Syracuse University Press, 1994



[1]   Abdul Karim Soroush membagi dua bentuk Revivalis, yakni Revivalis Masa Lalu dan Revivalis Masa Kini. Revivalis Masa Lalu mengabdikan diri pada tugas-tugas memangkas hal yang tidak diperlukan, melumatkan kedok-kedok, menyibakkan tahayul, menghapus bid,ah, membuka kedok para pedagang agama, membersihkan debu dari wajah agama. Mereka bertekad mengungkapkan dan memperkenalkan kembali esensi agama yang sebenarnya. Masuk dalam kategori ini ialah Muhammad al-Ghazali, Faiz Kassani, Jalal al-Din Rumi, Sayyid Mahmud Sabistari, Sayyid Haidar Amuli yang berbicara tentang syariat ritus hukum), tarikat (jalan yang benar) dan hakikat (dimensi batin) agama. Mereka tidak ingin kebenaran agama dikaburkan oleh parade ritus, dan tidak menginginkan agama dibatasi oleh nilai-nilai tampilan luar. Sedangkan Revivalis Masa Kini berupaya untuk memahami dan memelihara pesan abadi agama dalam gelombang perubahan dan pembaruan yang geitu besar. Jika kaum Revivalis Masa Lalu diabdikan pada tugas menyelamatkan agama dari cengkeraman kaum jahiliah dan para penjaja agama, maka Revivalis Masa Kini mencurahkan diri pada perilaku agama yang tepat melalui jalan dunia temporal yang penuh bahaya dan memberikan makna agama yang benar dan relevan di dunia sekuler yang semakin bergolak. Tokoh yang masuk dalam kategori ini adalah Sayyid Jamal Asadi, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Syariati, Ruhullah Khomeini, Murtadha Muthahhari. Lihat Abdul Karim Soroush, “Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdul Karim Soroush,” diterj. Abdullah Ali, Abdul Karim Soroush: Menggugat Ototritas dan Tradisi Agama, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002), h. 35-37.
[2]  Abdullah Saeed, “Islamic Banking and Interest: A Study of Riba and Its Contemporery Interpretation,” diterj. Arif Maftuhin, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2004), h. 1-3.
[3]    Ibid, Abdullah Saeed, 4.
[4]  Ibid, Abdullah Saeed, 5.
[5]  Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000). 94
[6]  Berbeda dengan revivalisme Islam pada abad ke-18 yang hanya menekankan sisi legalitas penerapan syariat, neorevivalisme berorientasi mewujudkan syariat Islam sebagai sebuah ideologi politik (Daniel Pipes, In the Name of God. New Jersey: Transaction Publishers 2003, 124).  Anthony Bubalo, Joining the Caravan: Midde East, Islamism, and Indonesia. New South Wales: Lowy Institute for International Polic, 2005), 6
[7]  Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Erlangga,2008), 15.
[8]  Youssef M. Choueiri, Islamic Fundamentalism (Boston, Massachusetts: Twayne Publishers, 1990), 21-24.
[9] R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival: Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam The Politics of Islamic Revivalism: Diversity and Unity, ed. Shireen T. Hunter (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1988), 12.
[10] John Obert Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World, Second Edition (Syracuse: Syracuse University Press, 1994), 53; John Obert Voll, “Relations Among Islamist Groups,” dalam Political Islam: Revolution, Radicalism, or Reform?, ed. John L. Esposito (Boulder, Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc., 1997): 231-247.
[11] Untuk kajian tentang perbandingan karakteristik orientasi ideologi gerakan Islam (tradisionalis, modernis, sekularis dan fundamentalis), lihat Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004).
[12] E-mail;Prihandono-wibowo@yahoo.com.
[13] An Nabhani 2002, 99
[14] Nando Baskara,Gerilyawan-Gerilyawan Militan Islam (Jakarta: Buku Kita,2009), 55
[15] Khalid Novianto, Pemetaan Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Reform Review Journal, edisi 1, 2007), 189
[16] Bassam Tibi,  Islam: World Politics and Europe (New York: Roudledge, 2008), 64
[17]  Lihat misalnya Kompas 30 Juli 2005, 1, 4-5; Tempo (21 Agustus 2005), 156-157.
[18] Lihat Riza Sihbudi, et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005). 

ISLAM SPANYOL: PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DAN KONTRIBUSI INTELEKTUAL


A.  Pendahuluan
Spanyol Islam telah membawa peranan penting dalam konteks sejarah peradaban dan kebudayaan Islam. Kepesatan perkembangan peradaban dan kebudayaan yang dikembangkan Spanyol Islam telah membawa Spanyol Islam sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam di Barat, sebagaimana halnya Baghdad yang menjadi pusat kebudayaan dan peradaban Islam di Timur. Kehadiran  dan perkembangan kebudayaan dan peradaban yang dikembangkan Spanyol Islam bukan saja telah memberikan warna dan ketinggian peradaban dunia Islam, bahkan kehadirannya juga telah memberikan kontribsi yang besar terhadap kebangkitan Eropa pada abad pertengahan dari tidurnya yang panjang.[1] Kegemilangan pendidikan yang diperkenalkan dunia Islam di Spanyol dari abad VI sampai X telah menyadarkan Barat akan ketertinggalannya selama ini. Untuk itu, mulai abad XI Eropa mulai melakukan upaya pentransferan ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Islam ke dunia Barat melalui Spanyol, Sicilia dan Perang Salib.[2] Dengan melihat data sejarah tersebut, maka sangat beralasan untuk mengatakan bahwa, jika seandainya Islam tidak diseberangkan  dari Benua Afrika bagian Utara Semenanjung Iberia (Andalusia-Spanyol), mungkin Eropa tidak akan mengalami kemajuan dalam peradabannya secepat yang kita saksikan dewasa ini.
Hal ini dikarenakan Muslim Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam, baik dalam bidang politik sosial maupun perekonomian serta peradaban antar negara. Menurut Mehdi Nakosteen, transformasi peradaban Islam ke Peradaban Barat khususnya dalam ilmu Pengetahuan setidaknya terbangun melalui dua saluran utama. Pertama melalui para mahasiswa dan cendikiawan dari Eropa Barat yang belajar di sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universitas Spanyol. Kedua melalui terjemahan karya Muslim dari sumber-sumber berbahasa Arab.
Berangkat dari hal di atas, makalah ini hanya akan membatasi pada empat aspek pembahasan yaitu pertama, Lintas sejarah masuknya Islam di Andalusia, kedua, Perkembangan pendidikan Islam. Ketiga Kontribusi intelektual Muslim Spanyol. Keempat,  pengaruhnya terhadap kemajuan Eropa ( Renaisans ).  
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah masuknya Islam di (Spanyol)…. ?.
2.    Seperti apakah pola dan sistem  pendidikan Islam di Spanyol dan apa perbedaannya dengan pendidikan Islam sebelumnya…..?
3.    Bagaimana Kontribusi intelektual Muslim Spanyol dalam pencapaian era kejayaan Islam….?
4.    Apa, bagaimana dan sejauh mana pengaruh peradaban spanyol terhadap kemajuan Eropa (Renaisans)….?
C.  Lintas Sejarah Masuknya Islam di Spanyol
Islam masuk ke Spanyol (Cordova) pada tahun 93 H (711 M) dibawah pimpinan Tariq bin Ziayad yang memimpin angkatan perang Islam untuk membuka Andalusia dengan membawa 7000 orang pasukan. Dengan kekuatan tambahan, Thariq yang mengepalai 12.000 pasukan, pada 19 Juli 711  berhadapan dengan pasukan Raja  Roderick di mulut Sungai Barbate dipesisir laguna janda[3] dan berhasil mengalahkan tentara Gotik yang merupakan kemenangan penting untuk memudahkan pasukan muslim melintasi dan penaklukan kota-kota Spanyol lainnya tanpa mengalami perlawanan berarti.
Kondisi Andalusia pra kedatangan Islam sungguh sangat memprihatinkan, terutama ketika masa pemerintahan raja Ghotic yang melaksanakan pemerintahannya dengan besi. Kondisi ini menyebabkan rakyat Andalusia menderita dan tertekan. Mereka sangat merindukan datangnya kekuatan ratu adil sebagai sebuah kekuatan yang mampu mengeluarkan mereka saat itu, kerinduan mereka akhirnya menemukan momentumnya ketika kedatangan Islam di Andalusia.
Ketika Dinasti Umayah dipegang oleh Khalifah al- Walid bin Abdul Malik (al-Walid I ) (naik tahta 86 H 1705 M ), khalifah keenam, ia menunjuk Musa bin Nusair sebagai gubernur di Afrika Utara.  Pada masa kepemimpinan Musa bin Nusair, Afrika bagian barat dapat di kuasai kecuali Sabtah (Ceuta ) yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Bizantium. Ketika inilah pasukan Islam mampu menguasai bagian barat sampai Andalusia.
Penaklukan Islam di Andalusia  tidak terlepas dari kepiawaian tiga heroic Islam, yaitu Tharif Ibn Malik, Thariq bin Ziyad, Musa bin Nushair. Perluasan bani umayyah ke Andalusia  diawali oleh rintisan Tharif ibn Malik yang berhasil menguasai ujung paling selatan eropa, upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Thariq bin Ziyad yang berhasil menguasai ibu kota Andalusia, Toledo. Kemudian ia juga menguasai Archidona, Elfiro dan Cordova. Bahkan raja Roderick (raja terakhir Vichigothic) berhasil ia kalahkan pada tahun 711 M.
Keberhasilan Thariq dalam melumpuhkan penguasa di Andalusia dalam sejarah Islam dicatat sebagai acuan resmi penaklukan Andalusia oleh Islam. Kemudian ekspansi ini dilanjutkan pada waktu yang sama oleh Musa bin Nushair yang akhirnya mampu menguasai Andalusia bagian barat yang belum dilalui oleh Thariq, tanpa memperoleh perlawanan yang berarti. Keberhasilan ekspansi ini akhirnya bermuara dengan dikuasainya seluruh wilayah Andalusia ke tangan Islam. Pada saat itu kekhalifahan dinasti umayyah pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik hanya menjadikan daerah Andalusia sebagai sebuah keamiran saja. Ia menunjuk Musa bin Nushair sebagai amir di sana yang berkedudukan di Afrika Utara. Ketika dinasti umayyah di Damaskus runtuh, perkembangan Andalusia kemudian dipegang oleh seorang pangeran umayyah Abdurrahman Ibn Mu’awiyah ibn Hisyam yang berhasil lolos dari buruan bani abbas. Tokoh inilah yang kemudian berhasil mendirikan kembali daulah bani umayyah di Andalusia.
D.  Perkembangan Pendidikan Islam di Spanyol
Sebagai kelanjutan dari pembentukan suatu imperium yang kuat dengan daerahnya yang luas, maka diperlukan-setidaknya-penataan politik yang mapan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang tinggi. Untuk mewujudkan ambisinya ini, dengan cukup solid Abd al-Rahman al-Dakhil memanfaatkan potensi ini dengan sebaik-baiknya bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada imperiumnya. Adapun upaya untuk mengembangkan pendidikan dan peradaban dapat dilihat dari beberapa gerakan, yang kemudian diikuti oleh penguasa Spanyol sesudahnya. Adapun upaya-upaya tersebut antara lain:
1.      Mendirikan Lembaga Pendidikan
Demi untuk pengembangan ilmu pengetahun dan kebudayaan di Spanyol, para penguasa awal mendirikan lembaga pendidikan seperti Kuttab[4] yang dilaksanakan di mesjid-mesjid. Pada tingkatan ini diajarkan cara menulis, membaca al-Qur’an dan tata bahasa Arab. Pada tahap selanjutnya didirikan Madrasah sebagai lembaga pendidikan formal yang terdiri dari sekolah rendah sampai sekolah menengah atas, dilembaga ini berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan diantaranya Fiqh, Bahasa dan Sastra, Musik dan Kesenian.[5] Madrasah–madrasah tersebar diseluruh kekuasaan Islam, antara lain di Qurthubah (Cordova), Isybiliah (Seville), Thulaithilah (Toledo), Granathah (Granada) dan lain sebagainya.[6]. Kemudian, guna pengembangan lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan, khalifah Abd al-Rahman III mencoba merintisnya dengan mendirikan Universitas Cordova sebagai pusat ilmu pengetahuan. Universitas ini mengambil tempat disebuah mesjid. Pada masa al-Hakam II (961-976 M), universitas tersebut diperluas lokasinya, dan bahkan mendatangkan para profesor dari Timur (al-Azhar dan Nizamiyah). Di Universitas ini, para mahasiswa mempelajari materi pendidikan ilmu-ilmu akal,[7] seperti filsafat, matematika, farmasi, kedokteran, pelayaran, fisika, seni arsitektur, geografi, ekonomi dan sebagainya, serta pengembangan ilmu-ilmu naqli (ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan Hadith.
Universitas Cordova telah menjadi pilihan utama bagi generasi muda yang mencintai ilmu pengetahuan. Untuk pengembangan ilmu-ilmu akal, mereka lakukan dengan jalan penerjemahan karya-karya Yunani kuno dan Persia kedalam bahasa Arab, terutama karya-karya Aristoteles dan Plato.
Langkah yang diambil al-Hakam II adalah dalam rangka memajukan  pendidikan Spanyol Islam, kemudian diikuti oleh para penguasa sesudahnya. Bahkan diantara para pengusaha ada yang menyiapkan istananya sebagai pusat pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan, seperti kajian filsafat, ilmu pengetahuan, dan leteratur. Khusus di Cordova, telah banyak berdiri lembaga pendidikan dari tingkat rendah sampai perguruan tinggi kurang lebih 800 buah sekolah.[8] Belum lagi sekolah-sekolah yang ada di daerah-daerah lain, seperti di Toledo, Seville, Granada dan lain-lain.
Sangat nampak bahwa lembaga pendidikan pada waktu itu sudah tertata dengan baik secara professional. Hal ini dapat dilihat dari stratafikasi tahapan-tahapan pendidikan dari tingkat rendah, madrasah sampai ke perguruan tinggi, sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik, guru, fasilitas, maupun materi yang diajarkan.
Semangat untuk menuntut ilmu yang diperkenalkan Spanyol Islam, bukan hanya untuk pelajar muslim saja akan tetapi juga terbuka untuk pelajar nonmuslin. Sikap toleransi yang ditawarkan, membuat para pelajar nonmuslim berlomba-lomba untuk menuntut ilmu di Spanyol Islam. Mereka diberlakukan sama sederajat.[9] Fenomena ini merupakan salah satu faktor penarik perhatian para pelajar untuk datang dan menimba ilmu pengetahuan ke Spanyol.
Dari uraian diatas, dapat dilihat dengan jelas bahwa pendidikan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan Spanyol Islam tidak bersifat parsial, akan tetapi bersifat integral. Sistem pendidikannya tidak mengenal ras tertentu. Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Ke-obyektifan inilah yang membuahkan nilai kompetisi positif dalam pengembangan ilmu pengetahuan kearah yang lebih maju. Motivasi umat dalam menuntut ilmu pada waktu itu bukan disebabkan faktor untuk mendapatkan makan, akan tetapi kerena dorongan oleh nilai-nilai ajaran agamanya yang mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Kesadaran inilah yang menupang pendidikan Spanyol Islam pada waktu itu. Tingginya motivasi agama, telah memotivasi umat Islam berlomba-lomba, apakah untuk mendirikan lembaga pendidikan, maupun mengisi (belajar) di lembaga pendidikan yang sudah ada.[10] Upaya swastanisasi lembaga pendidikan yang ditunjukkan, bukan berupaya mengkomersilkan lembaga tersebut, tetapi berupaya untuk melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi, sebagai ‘abd dan khalifah.
Pendidikan Spanyol Islam memberlakukan kurikulum universal dan komprehensif. Artinya, menawarkan pendidikan agama dan umum secara integral pada setiap tingkatan pendidikannya, khususnya pendidikan tinggi. Indikasi dari kedalaman dan keluasan kurikulum Spanyol Islam waktu itu boleh jadi ditentukan konsekwensi-konsekwensi pratikal yang bermanfaat bagi manusia, sehingga pola kurikulum yang diterapkan tidakbersifat fleksibel dan adaptik. Untuk pendidikan kejuruan, kurikulum yang ditawarkan boleh memberikan penekanan khusus pada spesialisasi yang ditawarkan. Pengembangan kebijaksanaan ini diberikan hak kepada kebijaksanaan lembaga atau penguasa di mana pendidikan itu dilaksanakan.
Sedangkan metode yang diterapkan, dapat dibagi kepada dua macam. Pertama, Metode bagi pendidikan formal. Pada pendidikan ini, guru (dosen) duduk diatas podium. Ia memberikan pelajaran-khususnya pendidikan tinggi-dengan membacakan manuskrip-manuskrip. Setelah itu guru menerangkan secara jelas. Kemudian materi itu didiskusikan bersama. Para pelajar diberikan kebebasan untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat, bahkan diperkenankan untuk berbeda pendapat dengan statemen yang diberikan oleh gurunya, asal mereka dapat menunjukkan bukti-bukti yang mendukung kebenaran pendapatnya.[11] Mahasiswa biasanya diminta untuk menghafal materi-materi khusus, menganalisa dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Metode pendidikan bagi lembaga pendidikan nonformal, baik di istana maupun diluar istana. Model pendidikan ini menggunakan metode halaqah.[12] Posisi guru berada diantara pengunjung. Guru mendektikan sejumlah buku, dan kemudian menjelaskannya secara rinci. Diskusi semacam ini merupakan metode pengajaran yang telah membumi di Spanyol Islam.
Bila pendekan diatas dianalisa lebih lanjut, terlihat sungguh adaptik, demokratis, tidak bersifat monoton dan absolut. Antara guru dan peserta didik terjalin hubungan yang harmonis. Kemerdekaan individu dalam mengeluarkan pendapat sangat dihargai, dengan bukti dan  argumentasi. Upaya pembelajaran tidak dibatasi ruang dan waktu, situasi yang kondusif ini yang membuat lembaga pendidikan Spanyol Islam mengalami kemajuan pesat. Para pelajarnya tidak dibatasi oleh usia dan status sosial. Ilmu yang yang dimiliki tidak saja menyentuh aspek kognitif, akan tetapi mencakup aspek afektif dan psikomotorik secara simultan dan integral. Keunikan inilah membuat pendidikan Spanyol Islam berbeda dengan pola pendidikan yang ditawarkan pendidikan Islam sebelumnya. Sebab, penekanannya berorentasi menstimuli seluruh potensi manusia secara komprehensif dan integral.
2.      Pengembangan Perpustakaan
Bagaimanapun juga, kelancaran proses pendidikan sangat tergantung dari sarana dan prasarana yang mendukung. Diantaranya adalah fasilitas perpustakaan. Untuk itulah khalifah—khalifah Umayyah telah berupaya menyisihkan dana dari kas negara untuk membangun berbagai sarana pendudukung tersebut secara intensif. Ini dapat dilihat dari upaya khalifah ‘Abd al-Rahman III (912-961 M) membangun perpustakaan dikota Granada dengan koleksi hingga mencapai 600.000 jilid buku. Upaya yang sama juga dilakukan oleh khalifah al-Hakam II (961-976 M) tak mau kalah dengan upaya yang dilakukan oleh bapaknya. Ia juga membangun perpustakaan yang terbesar (Greatest Library) di seluruh Eropa pada masa itu dan masa-masa sesudahnya. Pada masa khalifah al-Manshur (977-1002 M), ibu kota Umayyah terdapat 73  perpustakaan, dan sejumlah besar toko buku, mesjid dan istana, ibukota Umayyah memperoleh popularitas internasional, serta membangkitkan pesona dan kekaguman di hati para pelancong.[13] 
Ambisi dan ketertarikan para khalifah ini telah diakui oleh ahli-ahli barat dengan mengatakan bahwa, al-Hakam II-begitu juga dengan pendahulunya-, kurang berminat dan tidak menginginkan peperangan. Mereka lebih tertarik dan gemar ketenangan. Waktunya lebih banyak dipergunakan untuk mendalami kesusasteraan. Para wakil-wakilnya ditugaskan untuk menulis dan mencari buku-buku di dunia Timur (Baghdad), atau melakukan sejumlah penerjemahkan karya-karya klasik. Bahkan ia sendiri sering menulis surat pada setiap penulis untuk menjual karangannya tersebut kepada khalifah di Spanyol. Ia tidak segan-segan mengeluarkan dana yang cukup besar untuk usahanya itu, yang penting ia bisa memiliki karya-karya yang ada. Dengan koleksi-koleksi tersebut kemudian ia serahkan ke perpustakaan, baik perpustakaan pribadi maupun perpustakaan umum.
Ambisi untuk mendirikan perpustakaan tidak hanya dimiliki oleh para khalifah. Akan tetapi, juga diminati oleh masyarakat Spanyol Islam. Mereka mengoleksi berbagai buku bukan untuk keperluan pribadi saja, akan tetapi ia wakafkan untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum, seperti yang dilakukan oleh Abd Mutrif, seorang hakim di Cordova. Ia telah mengoleksi berbagai buku-buku langka. Ia juga mempekerjakan enam orang karyawan untuk menyalin buku-buku tersebut sehingga dapat disebar luaskan pada masyarakat umum. Ia mengeluarkan dana pribadi yang tidak sedikit untuk melaksanakan ambisinya tersebut. Bahkan, para wanitapun tidak ketinggalan, mereka berlomba-lomba untuk mengumpulkan buku-buku, demekian pula para budak.[14] Dengan fenomena ini tidaklah heran jika dalam waktu yang relatif singkat pertumbuhan perpustakaan di Spanyol Islam laksana jamur di musim hujan. Kondisi ini pula yang ikut mendukung bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Spanyol, sehingga dengan sekejap telah menyulap daerah Spanyol dari Negara yang kaya, makmur dan maju, disamping kemerdekaan ilmiah yang dikembangkan. Ilmu pengetahuan bukan hanya milik orang merdeka, akan tetapi juga milik para budak. Hubungan yang harmonis ini menjadi daya penggerak tersendiri bagi kemajuan pendidikan yang di perkenalkan Spanyol Islam.
E.  Faktor-faktor Pendukung Kemajuan Pendidikan Spanyol Islam
a.    Adanya dukungan dari para khalifah yang berkuasa, memjadikan pendidikan Spanyol Islam dengan pesat berkembang, karena para khalifah sangat mencintai ilmu pengetahuan dan berwawasan ke depan.
b.    Menyebarnya  madrasah-madrasah (sekolah) serta universitas-universitas di beberapa kota di Spanyol Islam yang sangat terkenal, seperti Universitas Cordova, Seville, Malaga, dan Granada.
c.    Banyaknya para sarjana Islam yang datang dari ujung Timur dan ujung Barat wilayah Islam dengan membawa berbagai buku dan berbagai gagasan. Ini menunjukkan bahwa, meskipun umat Islam terdiri dari beberapa kesatuan politik, terdapat juga apa yang disebut kesatuan budaya Islam.
d.   Adanya persaingan antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Kompetisi dalam bidang ilmu pengetahuan dengan didirikannya Universitas Cordova yang menyaingi Universitas Nizamiyah di Baghdad yang merupakan persaingan positif, tidak selalu dalam peperangan.[15]
Dari beberapa bacaan dapat disimpulkan bahwa, selain dari beberapa faktor diatas pemerintah juga memberikan subsidi yang banyak terhadap pendidikan, yakni dengan murahnya buku-buku bacaan, atau diberikannya penghargaan yang tinggi berupa emas murni kepada penulis atau penerjemah buku, seberat buku yang diterjemahkannya.
Hal lain yang juga sangat menarik adalah,pemerintah juga memberikan subsidi kepada makanan pokok, sehingga masalah pengisian kepala dan pengisian perut tidak terlalu dihiraukan lagi dan relatif murah dijangkau serta didapat oleh masyarakat.
F.   Kontribusi Intelektual Muslim Spanyol
Masyaraakat mulim Spanyol sebagai masyarakat multietnik, keberadaannya terbangun dari beberapa komponen masyarakat. didalamnya terdiri atas komunitas arab ( Baik dari utara maupun selatan), orang-orang Spanyol yang masuk Islam yang di kenal dengan al-Muwalladun, suku Barbar ( Umat Islam Dari Afrika Utara ), al-Shaqalibah , Yahudi, Kristen Muzareb dan Kristen yang menentang keberadaan Islam di Spanyol.
Semua komponen masyarakat tersebut kecuali yang menentang, saling bahu-membahu dalam mewujudkan peradaban Islam Spanyol yang pada akhirnya melahirkan kebangkitan intelektual, baik dalam bidang filsafat, tasawuf, sains, bahasa dan sastra, kesenian dan musik maupun kemegahan bagungan fisiknya.
a. Filsafat
Puncak pencapaian intelektual Muslim Spanyol terjadi dalam pemikiran filsafat. Dalam bidang ini, Muslim Spanyol merupakan mata rantai yang menghubungkan antara filsafat Yunani klasik dengan pemikiran Latin-Barat. Selain itu, muslim Spanyol juga turut andil besar dalam mendamaikan antara agama dengan ilmu, akal dengan iman yang sekaligus menandai akhir abad kegelapan Eropa. Pada kekhalifahan al-Hakam II (961-976M) ribuan karya ilmiah filosofis di Impor dari Timur. Karya-karya tersebut terhimpun dalam perpustakaan pribadinya. Kebijakan al-Hakam yang mendukung terciptanya lingkungan intelektual inilah yang pada akhirnya turut serta membidani lahirnya filosof-filosof besar sesudahnya.
Tokoh-tokoh filsafat tersebut antara lain :
Solomon Ben Gabirol ( Didunia barat ia terkenal dengan nama Avicebrol, Avencebrol) dengan karya monumentalnya adalah Yanbu al Hayah (Sumber Kehidupan). Ibn Bajjah, Maqnum Opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid (Rezim yang sendiri). Ibn Thufayl. Maqnum opusnya adalah Hayy Ibn Yaqzhan (yang hidup anak kesadaran). Ibn Rusyd, diantara karyanya; Tahafut al-Tahafut (kacauanya kekacauan)
b.  Tasawuf
Dalam bidang tasawuf, Muslim Spanyol juga mempunyai andil besar dalam perkembangan ilmu ini. Salah satu tokoh terbesarnya adalah Ibn Arabi. Ia merupakan wakil mazhab iluminasi (Isyraqi) yang dipelopori oleh Suhrawardi (w.1191 M) di Timur. Corak pemikiran tasawuf Ib Arabi bisa dikatakan dalam klasifikasi Tasawuf Falsafi, sebab dalam filsafat Ibn arabai adalah seorang Monist-Panteistik. Salah satu teori terkenalnya adalah Wahdah al-Wujud (kesatuan eksistensi). Berangkat dari teori ini, tasawuf Islam mengalami persentuhan dengan gagasan Phanteisme, sebuah gagasan yang menyatakan ”Tuhan mengejawantahkan dirinya pada manusia”. Pemikiran Ibn Arabi bukan hanya berpengaruh pada lingkaran sufi Persia dan Turki tetapi juga pada mazhab skolastik Kristen yang di sebut Mazhab Agustinian. Diantara karya-karyanya, yang paling membuat ia terkenal adalah al-Futuhat al-Makiyyah (penyingkapan Mekkah) dan Fushush al-Hikam (kantong-kantong kebijaksanaan) serta al-Isra’ ila Maqam al-Asra yang mengembangkan tema pendakian nabi sampai langit ketujuh. Menurut K. Hitti karya ini lebih dahulu dari karya Dente Aligeri.
c. Bidang Sains
Dalam bidang sains Muslim Spanyol juga turut membidani lahirnya tokoh-tokoh terkenal,antara lain:
1.   Bidang Kedokteran
Tokoh terkenalnya adalah Ibn Rusdy. Selain sebnagai filosof ia juga ahli kedokteran . namun kemahirannya dalam filsafat membuat keahlian dalam kedokterannya tertutupi. Karya Monumentalnya dalam bidang ini adalah al-Kulliyat fi al-Thibb (generalitas dalam kedokteran).
2. Bidang Astronomi
Kajian-kajian astronomi di Spanyol mencapai puncaknya setelah pertengahan aabad k-10 dan berkembang pesat melalui kontribusi dari penguasa Cordova, Seville, dan Toledo. Para ahli astronomi Spanyol pada Umumnya mempercayai pengaruh bintang sebagai sebab terjadinya berbagai peristiwa penting antara kelahiran dan kematian manusia di dunia ini. Selain itu dalam mengembangkan pemikiran Astronominya mereka memakai kerangka karya-karya astronomi dan astrologi yang di tulis oleh ahli astronomi Muslim Timur. Para ahli astronomi paling awal dari Muslim Spanyol adalah al-Majriti (w.1007) darai Cordova, al-Zarqali (1029-1087M) dari Toledo dan Ibn Aflah (w. antara 1140-1150M).
3. Bidang Sejarah
Dalam bidang ini terdapat 2 tokoh yang amat terkenal, yaitu Ibn Khatib dan Ibn Khaldun. Ibn Khatib (1313-1374M) berasal dari keluarga arab yang pindah ke Spanyol dari Suria. Ia terkenal dengan karyanya yang menceritakan tentang riwayat Kota Granada. Sedangkan Ibn Khaldun (1332-1406M) lahir di Tunis. Karya monumentalnya dalam sejarah adalah “ Kitab al-Ibar Wa diwan al-Mubtada, Wa al-Khabar Fi Ayyam al-Arab Wa al-Ajam Wa al-Barbar ” (buku tentang ibarat, daftar subjek dan prediket, serta sejarah bangsa Arab, Persia dan Berber). Buku tersebut terdiri atas 3 bagian, bagian pertama berisi Muqaddimah yang menjadi jilid pertama. Bagian kedua bagian utanma yang membahas kehidupan orang Arab dan bangsa-bangsa sekitarnya. Bagian ketiga berisi tentang sketsa sejarah Berber dan dinasti-dinasti Muslim afrika.
Namun demikian, ketenaran Ibn Khaldun sebagai sejarawan sesungguhnya terletak dalam Muqaddimahnya. Dalam bukunya tersebut dipaparkan teori perkembangan sejarah yang menempatkan dua aspek social berupa fakta-fakta fisik tentang iklim dan geografi serta aspek moral dan spiritual yang mempengaruhi perkembangan social.
4. Bidang Geografi
Tokoh dalam bidang ini adalah al-Bakri dan al-Idrisi. Al-Bakri meninggal tahun 1094, ia merupakan ahli geografi pertama yang mashur pada abad 11 M. karya monumentalnya adalah “al-Masalik wa al-Mamalik”(buku mengenai jalan dan kerajaan). Sedangkan al-Idrisi lahir di Ceuta pada tahun 1100 M. karya monumentalnya adalah ”Kitab Nadzah al-Muslak Fi Ikhtira al-Afaq” dan “Kitab al-Jami’ Li asytat an-Nabat”. Sumbangannya terhadap pengetahuan adalah menggambarkan secara astronomis letak suatu tempat dipermukaan bumi.
Selain kedua nama di atas, terdapat juga nama Ibn Jubayr dan Ibn Baththutah. Ibn bathuthah lahir di Tangier pada tahun 1304 dan meninggal di Maroko pada tahun 1377. Dalam perjalanan ketimurnya, Ibn Bathuthah mencapai Ceylon, Bengal, Benua Maldive dan China. Sedangkan dalam perjalanan terakhirnya pada tahun 1353 ia sampai pedalaman Afrika.
d. Musik Dan Kesenian
Dalam bidang musik dan kesenian, Muslim Spanyol terkenal dengan tokohnya al-Hasan Ibn Nafi yang mendapatkan julukan Zaryab. Selain itu, ia juga terkenal dengan kemahirannya dalam menggubah lagu. Kemahirannya tersebut bukan hanya untuk dinikmatinya sendiri malainkan ia juaga mengajarkannya pada anak-anaknya baik pria maupun wanita seta pada budak-budaknya.
e. Bahasa dan Sastra
Tokoh yang terkenal dalam bidang ini adalah Muhammad Ibn al-Hasan al-Zubaydi (928-989M) dan Ali Ibn Hazm (994-1064M). al-Zubaydi pada masa al-Hakam diangkat menjadi pengawas pendidikan anak laki-lakinya Hisyam yang pada akhirnya di angkat menjadi Qadhi dan ketua Pengadilan di Seville. Karya utamanya adalah daftar klasifikasi ahli tata bahasa dan ahli filologi yang bermunculan sepanjang hidupnya.
Sedangkan Ibn Hazm merupakan pujangga besar dan yang mempunyai pemikiran murni. Menurut Ibn Khalikhan dan al-Qifthi bahwa Ibn Hazm memiliki karya tak kurang dari 4 ratus jilid buku yang berisi tentang sejarah, teologi, hadis, logika dan puisi. Salah satu bukunya adalah “ Thauq al-Hamamah”(kalung merpati) sebuah antologi syair-syair cinta yang memuja konsep cinta Platonis.
Selain itu, pada saat Islam berkuasa bahasa Arab menjadi bahasa adminitrasi pemerintahan. Keadaan yang demikian itu dapat di terima oleh golongan muslim maupun non Muslim, bahkan penduduk asli Spanyol menduakan bahas alsi mereka.
G. Kontribusi Peradaban Spanyol Terhadap Kemajuan Eropa
Ketika Spanyol Islam berada dimasa keemasan, pada saat kepemimpinan khalifah ‘Abd al-Rahman III, kemudian dilanjutkan oleh Hakam II serta al-Hajib al-Manshur, ditandai dengan kebagkitan dinamika intelektualitasnya dalam segala bidang ilmu pengetahuan secara integral dan harmonis.[16] Di sisi lain, pada waktu yang bersamaan dunia belahan Eropa mengalami stagnasi ilmu pengetahuan. Dogma gerejani yang melarang mempelajari dan menganggap filsafat dan ilmu Yunani berbahaya bagi agama Masehi (Kristen), menyebabkan faktor utama terjadinya zaman kegelapan di dunia Eropa. Banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan filsafat Yunani ditutup, seperti yang dilakukan oleh Gestanian yang menutup sekolah-sekolah Athena.
Kondisi inilah yang menyebabkan banyak ilmuan Eropa yang haus akan ilmu pengetahuan, keluar dari negaranya. Perkenalan mereka dengan dunia Islam menyebabkan mereka kagum dengan kebijaksanaan pemerintah dan semangat umat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Ketertarikan itu menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka untuk lebih mengetahui dan sekaligus menggali khazanah keilmuan dunia Islam.  Manuskrip Yunani yang telah “diselamatkan” dan di tambal oleh Islam mereka pelajari. Stimuli inilah yang memberikan inspirasi bagi para orientalis untuk menanamkan ide pencerahan dan kebangkitan Eropa dalam masa suramnya.[17] Mereka berusaha mentransfer ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Islam ke dunia Eropa, dengan jalan menterjemahkan sejumlah buku-buku, mengirimkan para pelajar untuk menuntut ilmu di Spanyol Islam. Mereka banyak belajar di dunia Islam, seperti sistem dan materi ilmu pengetahaun inilah yang mereka kembangkan di sekolah dan universitas Eropa. Mereka tidak hanya mempelajari asas-asas pemikiran Yunani Kuno, akan tetapi juga mengkonsumsi muatan-muatan pemikiran muslim yang final dan siap pakai. Dari sinilah kemudian lahir beberapa lembaga pendidikan di Eropa, seperti Universitas Salermo (spesialis kedokteran), Bologna (spesialis hukum) di Italia. Universitas Paris dan Montpellier di Perancis, dan Universitas Cambridge (1209 M).[18]
Demikianlah upaya besar-besaran yang dilakukan oleh para ilmuan Eropa dalam mentransfer ilmu pengetahuan di dunia Islam pada abad pertengahan, khususnya di Spanyol yang secara geografis lebih dekat dengan negara-negara non muslim di Eropa, sehingga melahirkan reaksi terhadap kebijakan gerejani secara nyata. Konsekuensi dari upaya ini akhirnya membuahkan apa yang disebut renaissance.
Sebagaimana di depan telah di singgung bahwa Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam. Baik dalam hubungan politik, social, maupun perekonomian dan peradaban antar Negara. Muslim spanyol juga telah menorehkan tinta emas dalam sejarah bangsa Eropa. Mereka merupakan mata rantai paling penting yang menghubungkan antara khasanah filsafat Yunani klasik dengan bangsa-bangsa Eropa.
Dalam proses peralihan khasanah ilmu pengetahuan dari Islam ke Barat, kota Toledo merupakan saluran utama, Sebab kota Toledo merupakan satu-satunya kota penting dalam pembelajaran Umat Islam setelah penguasaan Kristen atas Spanyol pada tahun 1085M. Dalam pandangan Mehdi Nakosteen proses tranmisi tersebut terbangun melalui 2 saluran utama, yaitu Pertama melalui para mahasiswa dan cendikiawan dari Eropa Barat yang belajar di sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universitas Spanyol. Kedua melalui terjemahan karya Muslim dari sumber-sumber berbahasa Arab.
Fakta real yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa tingginya peradaban intelektual Muslim Spanyol telah menginspirasi gerakan-gerakan pencerahan di Eropa. Salah satu ilmuan penting tersebut adalah Ibn Rusdy. Melalui pemikirannya bangsa Eropa mampu menemukan pemikiran Aristoteles yang menganjurkan kebebasan berfikir dan melepaskan belenggu taklid dari golongan gerejawan.
Tingginya animo masyarakat Eropa terhadap pemikiran Ibn Rusdy, pada akhirnya melahirkan gerakan Averroisme yang berujung pada lahirnya reformasi pada abad ke-16 M dan Rasionalisme pada abad ke-17M. Karya-karya Ibn Rusdy banyak yang diterjemahkan, setidaknya pada tahun 1553 dan 1557M buku Ibn Rusdy di terbitkan dalam edisi lengkapnya. Selain itu juga, pada abad ke-16 buku-buku tersebut juga diterbitkan di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg.
Tingginya gerakan penerjemahan karya-karya ilmuan Muslim oleh bangsa Eropa, di awali oleh inisiatif uskup besar Raymond I (1126-1152). Atas inisiatif uskup tersebut dibangunlah sekolah khusus untuk menerjemahkan di kota Toledo. Dari sekolah ini lahir penerjemah-penerjemah dalam jumlah besar antara kurun 1135 sampai 1284 M.
Salah satu karya dari lembaga ini adalah diterjemahkannya “Buku al-Jabar“ karya al-Khawarizmi pada tahun 1145 oleh Robert Chester dan terjemahan al-Qur’an dalam bahasa latin pada tahun 1143 bersama Dalmatin. Di kota Toledo pula didirikan sekolah Orientalisme yang pertama pada tahun 1250 atas permintaan para pendeta dengan misi untuk mencetak para misionaris yang bertujuan untuk mengkristenkan umat Islam dan Yahudi.
Universitas pertama yang didirikan di Eropa adalah universitas paris yang didirikan pada tahun 1231M 30 tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa barau berdiri 18 buah Universitasa. Di universitas-universitas tersebut, ilmu yang diperoleh dari Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti dan filsafat. Adapun pemikiran filsafat yang paling di gemari di Eropa adalah pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusdy.
Sekitar akhir abad ke-13 M seluruh ilmu pengetahuan dari Islam bisa dikatakan telah selesai ditaransmisikan ke Barat. Berangkat dari sini pula gerakan-gerakan penting lahir di Eropa, seperti Gerakan Renaisance sekitar abad ke-14M yang di awali di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M serta zaman pencerahan (Aufklaerung) pada abad ke-18 M.
H.  Kesimpulan/Penutup
Tiga orang yang terkenal dalam penaklukan Spanyol, yaitu Tharif Ibn Malik, Thariq Ibn Ziyad, dan Musa Ibn Nusair. Islam berkuasa di Spanyol kurang lebih tujuh setengah abad (711-1492 M).
Perkembangan pendidikan dan kebudayaan Spanyol Islam
Mendirikan lembaga pendidikan nonformal yang berupa kuttab-kuttab dan bertempat di mesjid-mesjid, disini diajarkan cara menulis, membaca al-Qur’an dan tatabahasa Arab. Pada tahan selanjutnya didirikan madrasah-madrasah sebagai lembaga pendidikan formal dari tingkat rendah sampai tingkat menengah atas, lembaga ini mengajarkan berbagai disiplin ilmu, seperti Fiqh, Bahasa dan Sastra, Musik dan seni serta ilmu-ilmu pondasi agama lainnya. Demi untuk pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, pada tahap berikutnya didirikanlah universitas-universitas dengan berbagai jurusan keilmuan, seperti filsafat, matematika, farmasi, kedokteran, pelayaran, fisika, arsitektur, geografi, ekonomi, serta pengembangan ilmu-ilmu naqli.
Pengembangan Perpustakaan, Perpustakaan sebagai sebuah infrastruktur pengembangan ilmu pengetahuan menjadi sangat penting. Ghirah umat Spanyol Muslim pada waktu itu sangat tinggi terhadap penyediaan perpustakaan, dari para penguasa, rakyat bisa sampai budak sangat berminat untuk itu. Perpustakaan tidak hanya dimiliki oleh universitas dan sekolah sebagai perpustakaan umum tetapi juga tersedia di istana-istana dan rumah-rumah penduduk, yang dikenal dengan perpustakan pribadi.
Faktor-faktor Pendukung Kemajuan Pendidikan Spanyol Islam, adalah:
Adanya dukungan dari penguasa, Persaingan sehat antar madrasah dan universitas dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan, Kontribusi para sarjana Islam yang datang ke Spanyol Islam membawa buku-buku dan gagasan, Persaingan antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah sendiri di Spanyol
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan Spanyol Islam sangat besar sumbangsihnya bagi perkembangan dunia modern, ini dapat dibuktikan bahwa pada masa keemasan Spanyol Islam banyak sekali para ilmuan Eropa mentransfer dan mengadopsi gagasan-gagasan Islam ke universitas-universitas di Eropa. Sehingga ketika Spanyol Islam runtuh, Eropa bangkit dari tidur panjangnya selama ini dan dari sinilah ilmu pengetahuan berkembang sampai pada zaman modern sekarang.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, M. Athiyah, Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Terj. H.Bustami, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Fachruddin, Fuad Mohd., Perkembangan Kebuayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Terj. Ibrahim Husaein, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Hitti, Philip K., History of the Arab, terbitan Palgrave Macmillan, edisi revisi ke-10, New York: 2002.

Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.

Nasution,  Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid I, Jakarta: UI Press, 1979.

Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.


[1] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 12
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1979), 74
[3] Philip K. Hitti, History of the Arab (terbitan Palgrave Macmillan, edisi revisi ke-10, New York: 2002), 628.
[4] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, (Jakarta: Quantum Teacing, 2005), 15
[5] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 263
[6] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), 80
[7] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Terj. Ibrahim Husaein, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 22
[8] Fuad Mohd. Fachruddin, Perkembangan Kebuayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), 203.
[9] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Terj. H.Bustami (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 205
[10] Asma Hasan Fahmi, Sejarah, 52
[11] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam, 78
[12] Asma Hasan Fahmi, Sejarah, 48
[13] Hitti, History, 669
[14] Asma Hasan Fahmi, Sejarah,51
[15] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan, 267
[16] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam, 266
[17] Ibid., 267
[18] Ibid., 269