Selasa, 30 April 2013

Neo Revivalisme, Sketsa Awal Pemikiran dan Gerakannya


A.  PENDAHULUAN
Gerakan pemikiran Islam merupakan respon terhadap perkembangan dan kondisi zamannya, untuk mempermudah melakukan klasifikasi pemikiran tersebut beberapa ahli dan tokoh ke-islaman membagi menjadi beberapa tipologi pemikiran Islam, semisal Fazlurrahman. Ia membagi tipologi pemikiran Islam menjadi tiga; Pertama Gerakan Revivalis[1] yang muncul di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 biasa dikenal dengan tajdid adalah suatu proses yang dengannya komunitas muslim (ummah) menghidupkan kembali kerangka social, moral, dan agama dengan kembali kepada dasar-dasar Islam, yakni al-Quran dan al-Sunnah[2]. Tokoh yang masuk dalam kelompok ini adalah al-Ghazali (w.1111), Ibn Taymiyah (w.1328), Ahmad Sirhindi (w.1624), Syah Wali Allah Dihlawi (w.1762) di India, dan Muhammad Ibn Abdul Wahhab (w.1792) di Arab Saudi, Muhammad Ibn Ali al-Syaukani (w.1834) di Yaman, Sayyid Ahmad dari Rae Bareli di India, Hajj Syariat Allah di Bengal (l.1764), Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (w.1859) di Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika Barat. Gerakan Revivalis memusatkan diri pada: a) kepedulian yang sangat terhadap kebobrokan social dan masyarakat muslim, b) seruan untuk kembali ke dalam Islam yang murni dan membuang tahyul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer, c) usaha-usaha untuk membebaskan diri dari ide kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab fiqhi dan usaha-usaha untuk melaksanakan ijtihad, yaitu memikir ulang secara pribadi mengenai makna risalah yang murni.
Gerakan Modernis yang muncul pada akhir abad ke-19 menyerukan dilakukannya upaya-upaya baru ijtihad, untuk menggali prinsip-prinsip dari al-Quran dan al-Sunnah otentik dan untuk merumuskan hukum-hukum yang diperlukan berdasar pada prinsip-prinsip tersebut. Mereka melihat al-Quran sebagai suatu respon terhadap situasi historis yang meliputi, untuk bagian terbesar ajaran-ajaran moral keagamaan dan social dalam menjawab masalah-masalah tertentu yang dihadapi dalam situasi histories yang nyata. Gerakan Modernis juga menyerukan hal-hal berikut: 1) penggunaan sunnah secara selektif; 2) penerapan pemikiran orisisnil yang sitematis tanpa klaim finalitas; 3) pembedaan yang harus dibuat antara syaiat dan fiqhi; 4) penghindaran terhadap sektarianisme; 5) perujukan kembali kepada metodologi yang khas tetapi tidak melulu kepada fiqhi dan solusi mazhab klasik, baik yang telah punah maupun yang masih ada.[3] Gerakan ini dipelopori di India oleh Sayyid Ahmad Khan (w.1898) dan diseluruh Timur Tengah oleh Jamal al-Din al-Afghani (w.1897) dan di Mesir oleh Muhammad Abduh (w.1905).
Gerakan Neo-Revivalis yang muncul pada paruh pertama abad ke-20 memfokuskan diri pada: a) melawan westernisasi umat Islam; b) membela keserbacukupan; c) Islam sebagai pandangan hidup; d) menolak segala bentuk reinterpretasi al-Quran dan al-Sunnah. Gerakan Neo-Revivalis muncul di Mesir dan anak benua India, yaitu Ikhwan al-Muslimin oleh Hasan al-Banna (w.1949) dan Jama’at al-Islami oleh Abu al-A’la al-Maududi (w.1979). Pengikut mereka adalah Sayyid Quthub (1961), Muh. Quthub (1965), dan Abdul Qadir al-Audah (1967). Fungsi ijtihad menurut Neo-Revivalis adalah untuk menghasilkan solusi-solusi bagi masalah-masalah yang tidak terjawab secara eksplisit oleh al-Quran dan al-Sunnah[4].
Gerakan Neo-Modernis muncul pada paruh kedua abad ke-20 yang mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. Neo-Modernisme sebagai persyaratan utama bagi renaissance Islam.
M. Amin Abdullah membagi pola pikir keagamaan menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Pola pikir keagamaan Islam yang absolutely-absolute bersifat taqdis al-afkar, truth claim, ta’abbudi, qat’iyyat, kaku, rigid, bercorak idealistic, serta tidak kenal kompromi, consensus dan negosiasi.
2.      Pola pikir keagamaan Islam yang absolute-relative perilaku agama adalah perilaku social, agama adalah tradisi dan tradisi adalah agama, tidak mengenal dimensi rohaniah-esoterik dan bersifat reduksionistik, sekuler, dehumanis, nihilism, serta ta’aqquly dan zhanniyat permanen.
3.      Pola pikir keagamaan Islam yang relative-absolute ta’aqquli sekaligus ta’abbudi, perpaduan qat’iyyat dan dzanniyat, tasamuh, mementingkan dialog antar umat/keimanan beragama, tidak mendangkalkan akidah serta tidak memandang rendah tradisi dan budaya yang dimiliki orang lain.
B.  NEO REVIVALISME PEMIKIRAN DAN GERAKANNYA
Gelombang neorevivalisme Islam menjadi sebuah fenomena sejak dekade 1970-an di Timur Tengah. Namun, secara historis, realitas fenomena ini telah ada sejak dekade terbentuknya Ikhwanul Muslimin pada akhir 1920-an[5], yang disinyalir merupakan tindak lanjut nya perjuangan Islam dalam terhadap kolonialisme dunia barat. Terwujudnya daulah Islamiyah menjadi maintrems dan cita ideal perjuangan islam dengan bentuk dan corak yang beraneka ragam sesuai dengan konteks dan kondisi zamannya. Gerak bangkit islam ditandai maraknya perjuangan pengaplikasian ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan budaya, hubungan sosial, ekonomi, dan politik, sebagai konsekwensinya adalah kesadaran masyarakat untuk berperilaku religius sesuai dengan norma-norma Islami[6] dan memperjuangkan ideologi Islam sehingga kerapkali bertentangan dengan pemerintah, negara, serta lembaga-lembaganya. Ultimate golnya adalah terwujudnya tatanan Tuhan dan negara Islam global serta persatuan muslim berdasar syariat Islam menjadi, dengan melakukan perubahan radikal sistem sosial politik ke arah kehidupan Islami[7].
Chouieri menyatakan bahwa munculnya revivalisme Islam dilatarbelakangi oleh kemerosotan moral, sosial dan politik umat Islam. Menurutnya, revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni. Contoh dari gerakan Islam revivalis adalah Wahhabiyyah yang memperoleh inspirasi dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arabia, Shah Wali Allah (1703-1762) di India, Uthman dan Fodio (1754-1817) di Nigeria, Gerakan Padri (1803-1837) di Sumatra, dan Sanusiyyah di Libya yang dinisbatkan kepada Muhammad ‘Ali al-Sanusi (1787-1859). Chouieri melihat adanya kemiripan agenda yang menjadi karakteristik gerakan-gerakan revivalis Islam tersebut, yaitu: (a) kembali kepada Islam yang asli, memurnikan Islam dari tradisi lokal dan pengaruh budaya asing; (b) mendorong penalaran bebas, ijtihad, dan menolak taqlid; (c) perlunya hijrah dari wilayah yang didominasi oleh orang kafir (dar al-kufr); (d) keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan seorang pembaru.[8]
Sementara itu, Dekmejian menyatakan bahwa munculnya pelbagi orientasi ideologi revivalis Islam dipengaruhi oleh adanya perbedaan yang timbul dari penafsiran yang berbeda terhadap al-Qur’an, al-Sunnah dan sejarah Islam awal. Selain itu ada faktor lain seperti watak dari situasi krisis, keunikan dalam kondisi sosial dan gaya kepemimpinan dari masing-masing gerakan. Atas dasar itu, Dekmejian mengidentifikasi empat kategori ideologi revivalis: (a) adaptasionis-gradualis (al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, Iraq, Sudan, Jordan, Afrika Utara; dan Jama’at-i Islami di Pakisan); (b) Shi’ah revolusioner (Republik Islam Iran, Hizb al-Da’wah Iraq, Hizbullah Libanon, Jihad Islam Libanon; (c) Sunni revolusioner (al-Jihad Mesir, Organisasi Pembebasan Islam Mesir, Jama’ah Abu Dharr Syria, Hizb al-Tahrir di Jordania dan Syria; (d) primitivis-Mesianis (al-Ikhwan Saudi Arabia, al-Takfir wa al-Hijrah Mesir, Mahdiyyah Sudan, Jama’at al-Muslimin lil-Takfir Mesir.[9]
Jhon Obert Voll cenderung tidak membuat pembedaan yang signifikan antara revivalisme dan fundamentalisme. Menurutnya, Islamic revivalism atau Islamic resurgence mewujudkan dirinya dalam bentuk yang beragam, misalnya Wahhabiyyah, yang dia anggap sebagai representasi dari “the prototype of rigorous fundamentalism in the modern Islamic experience,”[10] yang oleh Choueiri dipandang sebagai revivalis dalam makna yang positif, seperti disebut terdahulu.
Terlepas dari beberapa perbedaan perspektif dan implikasi yang ditimbulkannya, korelasi, kaitan atau kemiripan karakteristik dasar antara fundamentalisme, revivalisme, Islamisme dan radikalisme tidak bisa dikesampingkan. Jika ditelaah lebih mendalam akan tampak adanya semacam family resemblance antara berbagai orientasi ideologis tersebut,[11] meskipun masing-masing tetap memiliki tekanan dan strategi yang berbeda, tergantung situasi dan kondisi sosial dan gaya kepemimpinan (leadership style) dari masing-masing gerakan.
Menurut Dekmeijan dalam Prihandono Wibowo[12], terdapat lima prinsip utama para ideolog neorevivalisme Islam. Pertama, din wa dawlah. Islam merupakan sebuah sistem kehidupan total dan universal. Pemisahan antara din (agama) dan dawlah (negara) tidak dikenal dalam Islam. Kedua, penerapan Al Quran dan As-Sunnah secara puritan. Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Kelima, komitmen kuat mewujudkan tatanan Islami.
Neorevivalis berprinsip bahwa kedaulatan sepenuhnya milik Tuhan. Kalimat syahadat (laa ilaa ha illallah, muhammadar rasulullah) bermakna tiada pemerintahan, tiada kekuasaan, dan tiada sistem kecuali kekuasaan dan sistem Tuhan. Tiada kedaulatan kecuali kedaulatan Tuhan. Masyarakat Islam hanya dapat dibangun sesuai syariat. Sistem di luar Islam merupakan sistem kafir.
Neorevivalis Islam bersikap memproklamasikan tatanan dunia baru yakni tatanan yang dipercaya sebagai tatanan Tuhan. Penerapan nizam al-Islami (tatanan Islam), hakimiyyat Allah (kedaulatan Tuhan), dan syariat global merupakan idealisme tertinggi kelompok neorevivalis. Tatanan tersebut menggantikan tatanan dunia kontemporer yang berorientasi humanitas, kapitalis, modernitas, dan nilai-nilai sekuler Barat.
Menurut neorevivalis, umat Islam memerlukan institusi untuk mencapai idealisme tata dunia Islami. Khilafah merupakan “negara” yang di dalamnya tegak syariat dan kedaulatan Tuhan berkuasa di dalamnya. Kekhilafahan adalah kepemimpinan tunggal bagi muslim untuk menegakkan syariat dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah diperlukan untuk membangun tatanan Islami dan menghancurkan pemimpin-pemimpin kafir.  
Neorevivalis beranggapan bahwa pendirian khilafah mengatasi kondisi keterpurukan muslim. Selain itu, akan terwujud keadilan, kehormatan, kesejahteraan, dan segala kebaikan bagi umat Islam dan manusia.[13]
Khilafah menjadikan umat Islam sebagai pihak dominan pembawa kebaikan, keadilan, serta stabilitas. Pendirian khilafah mampu mengembalikan umat Islam kepada puncak kejayaan sebagaimana dalam sejarah peradaban Islam, seperti yang diungkapkan An Nabhani: “Daulah Khilafah bukanlah khayalan pemimpi, sebab terbukti telah memenuhi pentas sejarah selama 13 abad. Ini adalah kenyataan. Daulah Khilafah merupakan kenyataan di masa lalu dan tidak lama lagi akan menjadi kenyataan”.
Barat dan peradabannya dianggap merupakan musuh utama bagi kelompok neorevivalis Islam. Konsep demokrasi, sekulerisme, nasionalisme, sosialisme, komunisme, kapitalisme, individualisme, serta hal lain yang identik dengan peradaban Barat, dipercaya kelompok neorevivalis sebagai nilai kufur yang haram diterapkan oleh kaum muslim. Menurut neorevivalis, peradaban Barat dapat menjerumuskan umat Islam kembali ke dalam zaman jahiliyyah
Pasca-Revolusi Islam Iran, neorevivalisme Islam menjadi popular. Neorevivalisme Islam ditandai bangkitnya kelompok muslim fanatik yang bereaksi keras melawan the great Satan, yaitu Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Tren perlawanan terhadap Barat tidak lagi terbatas pada masalah mengenai kultur kehidupan melainkan juga menyangkut konfrontasi ideologi politik dan militer.
Pasca serangan 11 September 2001, kelompok-kelompok neorevivalis radikal melancarkan aksi terorisme di Maroko, Filipina, Indonesia, Arab Saudi, Yordania, dan Turki. Serangan bom ditujukan kepada obyek-obyek vital yang berhubungan dengan Barat. Al Qaeda melancarkan serangan pada awal 2000-an. Serangan neorevivalis Islam yang dilancarkan di Yordania menewaskan 57 jiwa serta melukai 100 orang. Sasaran neorevivalis radikal adalah basecamp warga Barat yang bekerja di Irak. Serangan juga ditujukan ke sejumlah sinagog, Konsulat Inggris, serta Bank Inggris yang berada di Turki dan Maroko. Serangan yang sama juga terjadi di Asia Tenggara. Kelompok Abu Sayyaf di Filipina memperlihatkan tren kekerasan berupa pemboman, penculikan, pembunuhan, dan pencurian dalam perjuangannya. Kelompok Jamaah Islamiyah melakukan aksi terorisme di Bali, Jakarta, Poso, dan Ambon, pada periode tahun 2005-2007. Pemerintah Amerika Serikat mensinyalir kedua gerakan ini merupakan struktur jaringan Al Qaeda Asia Tenggara[14]
Negara-negara Barat tidak luput dari serangan kelompok neorevivalis. Pada 11 Maret 2004, rangkaian serangan bom bunuh diri meledak di Madrid yang menewaskan lebih dari 191 jiwa dan melukai lebih dari 1500 warga. Sedangkan pada 7 Juli 2005, rangkaian bom kereta bawah tanah meledak di London dan menewaskan 56 jiwa serta menciderai sekitar 700 orang (Goodman dan Amanpour 2005). Pelaku penyerangan disinyalir merupakan jaringan Al Qaeda yang beroperasi di Belgia, Denmark, Mesir, Perancis, Spanyol, dan Inggris.
Peristiwa 11 September 2001 dan peledakan bom terhadap simbol-simbol Barat di beberapa kota besar dunia pada awal 2000-an menjadi titik kulminasi perjuangan ekstrim kelompok neorevivalis. Karena itu, eksistensi kelompok neorevivalis seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok Islam denominasi tradisionalis, nasionalis, maupun moderat[15].
Adanya keinginan kelompok neorevivalis menerapkan syariat Islam mendiskrimasi nonmuslim sebagai warga kelas dua oleh Bassam Tibi dinilai membahayakan tatanan dunia[16].
C.  Neorevivalisme Islam: Tandingan terhadap Kosmopolitan atau terhadap Identitas Barat?
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, menjadi menarik untuk mengkaji faktor-faktor kemunculan fenomena neorevivalisme Islam dalam dunia internasional. Sebab, tesis tulisan ini berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Oliver Roy mengenai fundamentalisme Islam. Roy berargumen bahwa fenomena Islamisme atau neorevivalisme Islam ini telah berakhir dan mengalami kemunduran sejak pasca-perang dingin. Sebaliknya, realita yang tampak menunjukkan kecenderungan pergerakan yang konsisten dalam fenomena neorevivalisme Islam sejak awal pergerakan neorevivalis Islam pada dekade 1930-an. Konsistensi pergerakan neorevivalis dapat dilihat dari berbagai prinsip pemikiran dan ajaran tokoh-tokohnya yang berasal dari dekade 1930-an bahkan hingga era kontemporer. Konsistensi juga diperlihatkan dengan berbagai aktivitas berbagai kelompok neorevivalis
Studi populer yang dilakukan oleh Anthony Giddens mengatakan bahwa fundamentalisme agama merupakan permasalahan konflik antara tradisi dengan kosmopolitanisme dalam era globalisasi yang baru terjadi pada era pasca-Perang Dingin. Menurut Giddens, globalisasi adalah era yang benar-benar baru dalam perjalanan dunia. Globalisasi ditandai dengan kesemerawutan dan tidak adanya dominan tunggal dalam perkembangan dunia. Identitas globalisasi berkaitan erat dengan kosmopolitanisme. Globalisasi mencerabut identitas akar seluruh manusia sehingga tercipta kebingungan. Sebagian orang yang kebingungan dengan identitasnya memilih jalan untuk menjadi fundamentalis untuk berhadapan dengan nilai-nilai kosmopolitanisme.
Realita globalisasi pada dasarnya merupakan Westernisasi dan ekspansi peradaban-ideologi Barat ke seluruh dunia. Globalisasi membuat polarisasi kelompok-kelompok ke dalam kelompok pemenang dan yang termarjinalkan. Globalisasi menimbulkan resistensi dari berbagai pihak. Resistensi terhadap globalisasi terjadi dalam berbagai sektor. Pertentangan terjadi antara nilai-nilai Barat dengan lokal dalam berbagai aspek.
Menurut Wibowo dan Wibisono, terdapat tiga hal inspirator kemunculan gerakan antiglobalisasi kontemporer. Pertama, situasi perekonomian dunia secara umum semakin terpuruk. Kedua, organisasi internasional didominasi oleh kepentingan negara-negara Barat. Ketiga, dominasi mirip kolonialisme abad ke-19 oleh negara Barat atas negara sedang berkembang dan negara miskin.

D.    Respon terhadap Westernisasi-Modernisasi
Respon-respon serupa dapat ditemukan dalam konteks dunia Islam. Respon pertama adalah penolakan. Dalam respon tersebut modernisasi harus ditolak bersamaan dengan westernisasi. Respon kedua adalah herodianisme yang mencakup penerimaan menyeluruh terhadap modernisasi ataupun westernisasi. Respon ketiga adalah reformisme yang berusaha menggabungkan modernisasi dengan nilai, praktik, dan institusi masyarakat tradisional. Respon keempat adalah menerima westernisasi tanpa melakukan modernisasi. Dominasi bangsa-bangsa Barat pada era kolonialisme dan pascakonialisme memaksa sebagian kaum muslim mentransformasikan nilai-nilai tradisional sebagai nilai-nilai yang dapat dikompromikan dengan sistem Barat. Respon reformis dalam sejarah Islam dapat ditemukan pada gagasan Jamaluddin Al Afghani, Sayyid Ahmad Khan, dan Ali Ahmad Ridha. Gerakan Islam yang terpengaruh gagasan ketiga tokoh itu berusaha mengkombinasikan nilai-nilai tradisional Islam dengan modernitas Barat. Sebagai contoh, ajaran dari tokoh-tokoh tersebut menerima adanya emansipasi wanita, menerapkan monogami, mengadopsi demokrasi parlementer, serta menerima sistem pendidikan Barat. Dalam tingkat yang ekstrim, kelompok ini juga mengharamkan poligami karena tidak sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat muslim dalam era modern. Muhammad Abduh misalnya mengharamkan poligami untuk dilakukan dalam era modern. Namun, golongan ini tetap menyerukan identitas keislaman bagi tiap individu muslim, serta menyerukan konsep pan-Islamisme.
Sementara itu, sebagian kelompok dalam masyarakat muslim mengadopsi sistem-sistem Barat secara penuh. Kelompok ini memandang bahwa ajaran Islam harus direduksi ke dalam tingkat privat. Implementasi syariat dan nilai-nilai masyarakat tradisional muslim dapat menghambat modernisasi. Karena itu kelompok sekularis menerapkan sekulerisasi secara tegas. Contoh penerapan sekulerisasi dilakukan oleh Kemal Attaturk pada 1924 dengan mengubah Turki dari imperium teokrasi ke negara sekuler.
Sedangkan, reaksi penolakan berasal dari sebagian kaum muslim yang bertransformasi menjadi kelompok fundamentalis. Kelompok fundamentalis berupaya menegakkan agama menjadi ideologi politik yang mencakup sistem ekonomi, budaya, dan sosial. fundamentalis berusaha mewujudkan idealismenya dalam gerakan politik. Walaupun tidak selalu menolak produk-produk modernisasi, tetapi kelompok tersebut menolak westernisasi secara tegas. Kelompok fundamentalis menegaskan bahwa agama dapat diterpakan secara kaffah. Tuntutan penerapan syariat berlawanan dengan konsep sistem Barat. Fundamentalis berbeda dengan kalangan tradisionalis. Fundamentalis Islam melakukan larangan terhadap alkohol, bunga pinjaman, perjudian, musik, sistem parlementer, perbauran antara pria dan wanita, serta larangan penampilan unsur-unsur seksualitas dalam publik. Kalangan tradisionalis menerima aspek budaya lokal dalam menerapkan syariat, sedangkan fundamentalis mengaplikasikan syariat secara puritan dan menyeluruh. Perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan terpisahnya gerakan fundamentalis dari kelompok Islam tradisional, moderat, maupun sekuler. Karena itu, gerakan fundamentalis sering disebut sebagai gerakan neorevivalis.
E.     Fundamentalisme Islam di Indonesia: Sketsa Awal
Dalam konteks Indonesia, pemetaan orientasi ideologi gerakan Islam membutuhkan observasi dan identifikasi yang mendalam. Namun, jika kita mengikuti pendekatan Olivier Roy atau Nazih Ayubi, maka fundamentalisme Islam di Indonesia memiliki karakteristik dasar yang tidak jauh berbeda dari rekannya di kawasan Timur Tengah misalnya, meskipun terdapat keunikan dan paradoks-paradoks.
Fundamentalisme Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua: tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional diwakili oleh kelompok yang menekankan pendekatan literal dan skriptural terhadap sumber Islam, seperti Persatuan Islam (Persis), dan dalam konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa-fatwanya.[17]
Sementara itu, fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dalam politik diwakili misalnya oleh partai politik Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai Islam lain yang bercita-cita mendirikan “negara Islam” dengan dasar syari’ah dan ideologi Islam. Mereka yang memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai dasar negara termasuk dalam kelompok fundamentalisme atau neo-fundamentalisme. Mereka tidak mempersoalkan watak negara-bangsa dengan demokrasi sekularnya. Namun, secara substansial sesungguhnya terdapat paradoks antara penerimaan mereka terhadap sistem politik sekular dengan perjuangan mereka menerapkan syariat Islam. Jadi, ditemukan adanya sikap kompromistis atau bahkan pragmatis di kalangan kelompok fundamentalis Islam ini, tidak lagi taktik politik.
Contoh fundamentalisme Islam lainnya adalah Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang memperjuangkan berdirinya khilafah universal dan syariat Islam sebagai dasarnya. Kelompok ini tidak mengakui negara nasional. Perjuangan mereka tidak untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai politik Islam yang ada, tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah kepemimpinan tunggal khilafah Islamiyyah. Hampir serupa dengan HTI adalah gerakan Jama’ah Islamiyyah yang dianggap bertujuan untuk mendirikan negara regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang amir. Sangat mungkin, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) merepresentasikan model gerakan ini. Baik HTI maupun MMI memiliki kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak rejim sekular, demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika).[18] Meminjam Roy, mereka ini adalah kelompok political Islam (Islam politik) yang belum pernah berhasil mengubah landscape politik Indonesia.
Sementara itu, ekspresi fundamentalisme Islam yang lain adalah orientasi radikalisme Islam yang terwakili misalnya oleh gerakan Front Pembela Islam (FPI), dan Lasykar Jihad. Orientasi radikalisme Islam ini lebih pada penerapan syariah pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara. Dengan mengikuti penjelasan Roy terdahulu, orientasi ini menggambarkan adanya pergeseran perjuangan kaum fundamentalis dari pengislaman negara (formalisasi syariah pada level negara) ke pengislaman (penerapan syariah pada level) masyarakat. Mereka berjuang tidak untuk mewujudkan negara Islam (setidak-tidaknya untuk jangka pendek), tetapi lebih pada penerapan syariah pada level keluarga dan masyarakat (Islamized space). Hanya saja, dalam mewujudkan tujuan Islamisasi masyarakat, menjaga moralitas Islam, mereka cenderung menggunakan cara atau pendekatan kekerasan.
F.   KESIMPULAN
Gerakan Neo-Revivalis yang muncul pada paruh pertama abad ke-20  disinyalir merupakan tindak lanjut perjuangan Islam dalam terhadap kolonialisme dunia barat. Terwujudnya daulah Islamiyah menjadi maintrems dan cita ideal perjuangan islam dengan bentuk dan corak yang beraneka ragam sesuai dengan konteks dan kondisi zamannya. Revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni, yaitu: (a) kembali kepada Islam yang asli, memurnikan Islam dari tradisi lokal dan pengaruh budaya asing; (b) mendorong penalaran bebas, ijtihad, dan menolak taqlid; (c) perlunya hijrah dari wilayah yang didominasi oleh orang kafir (dar al-kufr); (d) keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan seorang pembaru.
lima prinsip utama para ideolog neorevivalisme Islam. Pertama, din wa dawlah. Islam merupakan sebuah sistem kehidupan total dan universal. Pemisahan antara din (agama) dan dawlah (negara) tidak dikenal dalam Islam. Kedua, penerapan Al Qur’an dan As-Sunnah secara puritan. Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Kelima, komitmen kuat mewujudkan tatanan Islami.
Neorevivalisme merupakan gerakan anti barat dan antiglobalisasi kontemporer, secara umum hal tersebut tidak lepas dari situasi dan kondisi dunia : Pertama, situasi perekonomian dunia secara umum semakin terpuruk. Kedua, organisasi internasional didominasi oleh kepentingan negara-negara Barat. Ketiga, dominasi mirip kolonialisme abad ke-19 oleh negara Barat atas negara sedang berkembang dan negara miskin.
Radikalisme Islam merupakan fenomena modern dan kontemporer, dan merupakan reaksi terhadap munculnya nasionalisme sekular. Jika revivalisme Islam mendapatkan inspirasi dari ide-ide normatif Islam, dan reformisme berusaha untuk menggabungkan unsur-unsur Islam dan Barat, ideologi radikalisme menggambarkan respons langsung terhadap munculnya negara-bangsa yang merdeka. Militansi dan atavisme radikalisme Islam menggambarkan sistesis kreatif revivalisme dan reformisme.
Fundamentalisme Islam di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua: tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional diwakili oleh kelompok yang menekankan pendekatan literal dan skriptural terhadap sumber Islam, seperti Persatuan Islam (Persis), dan dalam konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa-fatwanya.
Fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dalam politik diwakili misalnya oleh partai politik Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai Islam lain yang bercita-cita mendirikan “negara Islam” dengan dasar syari’ah dan ideologi Islam. Mereka yang memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai dasar negara termasuk dalam kelompok fundamentalisme atau neo-fundamentalisme. Mereka tidak mempersoalkan watak negara-bangsa dengan demokrasi sekularnya.


DAFTAR PUSTAKA
Baskara, Nando,Gerilyawan-Gerilyawan Militan Islam, Jakarta: Buku Kita, 2009
Bubalo, Anthony, Joining the Caravan: Midde East, Islamism, and Indonesia. New South Wales: Lowy Institute for International Polic, 2005
Choueiri, M Youssef., Islamic Fundamentalism, Boston, Massachusetts: Twayne Publishers, 1990.
Dekmejian, R. Hrair, “Islamic Revival: Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam The Politics of Islamic Revivalism: Diversity and Unity, ed. Shireen T. Hunter, Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1988.
E-mail; Prihandono-wibowo@yahoo.com.
Jainuri, Achmad, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, Surabaya: LPAM, 2004
l Karim Soroush, Abdu,  “Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdul Karim Soroush,” diterj. Abdullah Ali, Abdul Karim Soroush: Menggugat Ototritas dan Tradisi Agama, Cet. I; Bandung: Mizan, 2002.
Novianto, Khalid, Pemetaan Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Reform Review Journal, edisi 1, 2007
Rahmat, Imdadun, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga,2008
Saeed, Abdullah, “Islamic Banking and Interest: A Study of Riba and Its Contemporery Interpretation,” diterj. Arif Maftuhin, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2004
Sihbudi, Riza, et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005.
Tibi, Bassam,  Islam: World Politics and Europe, New York: Roudledge, 2008
………………..,, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Jogjakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 2000
Voll Obert, John, “Relations Among Islamist Groups,” dalam Political Islam: Revolution, Radicalism, or Reform?, ed. John L. Esposito, Boulder, Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc., 1997.
……………….., Islam Continuity and Change in the Modern World, Second Edition, Syracuse: Syracuse University Press, 1994



[1]   Abdul Karim Soroush membagi dua bentuk Revivalis, yakni Revivalis Masa Lalu dan Revivalis Masa Kini. Revivalis Masa Lalu mengabdikan diri pada tugas-tugas memangkas hal yang tidak diperlukan, melumatkan kedok-kedok, menyibakkan tahayul, menghapus bid,ah, membuka kedok para pedagang agama, membersihkan debu dari wajah agama. Mereka bertekad mengungkapkan dan memperkenalkan kembali esensi agama yang sebenarnya. Masuk dalam kategori ini ialah Muhammad al-Ghazali, Faiz Kassani, Jalal al-Din Rumi, Sayyid Mahmud Sabistari, Sayyid Haidar Amuli yang berbicara tentang syariat ritus hukum), tarikat (jalan yang benar) dan hakikat (dimensi batin) agama. Mereka tidak ingin kebenaran agama dikaburkan oleh parade ritus, dan tidak menginginkan agama dibatasi oleh nilai-nilai tampilan luar. Sedangkan Revivalis Masa Kini berupaya untuk memahami dan memelihara pesan abadi agama dalam gelombang perubahan dan pembaruan yang geitu besar. Jika kaum Revivalis Masa Lalu diabdikan pada tugas menyelamatkan agama dari cengkeraman kaum jahiliah dan para penjaja agama, maka Revivalis Masa Kini mencurahkan diri pada perilaku agama yang tepat melalui jalan dunia temporal yang penuh bahaya dan memberikan makna agama yang benar dan relevan di dunia sekuler yang semakin bergolak. Tokoh yang masuk dalam kategori ini adalah Sayyid Jamal Asadi, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Syariati, Ruhullah Khomeini, Murtadha Muthahhari. Lihat Abdul Karim Soroush, “Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdul Karim Soroush,” diterj. Abdullah Ali, Abdul Karim Soroush: Menggugat Ototritas dan Tradisi Agama, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002), h. 35-37.
[2]  Abdullah Saeed, “Islamic Banking and Interest: A Study of Riba and Its Contemporery Interpretation,” diterj. Arif Maftuhin, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2004), h. 1-3.
[3]    Ibid, Abdullah Saeed, 4.
[4]  Ibid, Abdullah Saeed, 5.
[5]  Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000). 94
[6]  Berbeda dengan revivalisme Islam pada abad ke-18 yang hanya menekankan sisi legalitas penerapan syariat, neorevivalisme berorientasi mewujudkan syariat Islam sebagai sebuah ideologi politik (Daniel Pipes, In the Name of God. New Jersey: Transaction Publishers 2003, 124).  Anthony Bubalo, Joining the Caravan: Midde East, Islamism, and Indonesia. New South Wales: Lowy Institute for International Polic, 2005), 6
[7]  Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Erlangga,2008), 15.
[8]  Youssef M. Choueiri, Islamic Fundamentalism (Boston, Massachusetts: Twayne Publishers, 1990), 21-24.
[9] R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival: Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam The Politics of Islamic Revivalism: Diversity and Unity, ed. Shireen T. Hunter (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1988), 12.
[10] John Obert Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World, Second Edition (Syracuse: Syracuse University Press, 1994), 53; John Obert Voll, “Relations Among Islamist Groups,” dalam Political Islam: Revolution, Radicalism, or Reform?, ed. John L. Esposito (Boulder, Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc., 1997): 231-247.
[11] Untuk kajian tentang perbandingan karakteristik orientasi ideologi gerakan Islam (tradisionalis, modernis, sekularis dan fundamentalis), lihat Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004).
[12] E-mail;Prihandono-wibowo@yahoo.com.
[13] An Nabhani 2002, 99
[14] Nando Baskara,Gerilyawan-Gerilyawan Militan Islam (Jakarta: Buku Kita,2009), 55
[15] Khalid Novianto, Pemetaan Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Reform Review Journal, edisi 1, 2007), 189
[16] Bassam Tibi,  Islam: World Politics and Europe (New York: Roudledge, 2008), 64
[17]  Lihat misalnya Kompas 30 Juli 2005, 1, 4-5; Tempo (21 Agustus 2005), 156-157.
[18] Lihat Riza Sihbudi, et.al. Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005). 

1 komentar:

  1. Best Casino Site - Lucky Club Casino
    Lucky Club Casino luckyclub offers over 1700 slots games, including all the latest online slot games. Play all the latest casino games! Rating: 3.3 · ‎32 votes · ‎Free · ‎Android · ‎Entertainment

    BalasHapus