Senin, 29 Oktober 2012

Pengkajian Islam Perspektif Fazlurrahman




A.  Pendahuluan
Fazlur Rahman adalah salah seorang tokoh pembaharu/pemikir neo modernis[1] yang begitu akrab dengan dunia Islam bahkan dengan Indonesia, Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Fazlurahman dengan Nur Cholish Madjid (Cak Nur), Syafi’i Ma’arif dan Amien Ra’is pelopor dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia yang berhubungan langsung dan berguru kepada Rahman, cukup wajar jika pada akhirnya pemikiran Fazlur Rahman menjadi arus utama (mainstream) dan begitu mewarnai aliran pemikiran Islam modern di negeri ini.
Dalam sitting historis Fazlur Rahman, sangat menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analitis dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bebas. Dalam hal ini filsafat berfungsi menyediakan alat-alat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya "membangun suatu pandangan dunia (word view) berdasarkan al-Qur'an". Fazlur Rahman memandang pentingnya keterlibatan sains-sains sosial. Sains-sains tersebut merupakan produk perkembangan modern yang berguna dalam memberikan keterangan kondisi obyektif suatu kehidupan dunia yang obyektif pengejawantahan ajaran-ajaran al-Qur'an. Gerakan pembaharuan Islam Rahman membagi corak gerakan pada empat tipologi :
1.    Golongan revivalis (pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakanwahabiyah diarab, Afrika Utara, dan Afrikat barat.
2.    Gerakan modernis yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, dan Muhammad Abduh.
3.    Neo-Revivalisme, yang bercorak modern, namun agak reaksioner, yang dikomandani oleh A’la Al-Mauddudi dengan jamaat Islami-nya.
4.    Gerakan Neo-Modernis, Rahman memproklamirkan dirinya menjadi bagian dari gerakan ini, sebab menurutnya, neo modernism mempunyai sintesis progressif dari rasionalitas modernis disatu sisi dengan ijtihad dan tradisi klasik disisi yang lain. Sebagai potensi ledak terjadinya renaissance Islam.    
Pola pemikiran sintesis progressif Rahman telah memberi perspektif hitoris dalam menghampiri Islam dan membubuhkan analisis hermeneutika-obyektif dalam menggali al-Qur’an, yang kemudian melahirkan pijakan yang kokoh diatas pondasi tradisi (ortodoksi) Islam, sekaligus mampu keluar dari jebakan stagnasinya untuk menggamit ruh tardisi yang kontekstual dan kompatibel bagi zamannya, yaitu ruh Islam yang substantif dan liberatif.
Bertolak dari realitas itu, ia ingin mengajak kita melakukan upaya rekonstruktif dengan mempertimbangkan langkah-langkah berikut :
1. Pembumian al-Qur’an/wahyu melalui kontekstualisasi ajaran Islam secara kritis dan benar.
2.  Eksplorasi, penguasaan dan pengembangan sains dan tekhnologi dalam paradigm keimanan dan moral.
3. Membangun semangat pembaharuan dalam semua sector untuk pencerdasan dan pemberdayaan umat.
4.  Menghilangkan dikotomi dan antagonitas keilmuaan antara naqliyah dan ilmu-ilmu ‘aqliyah.
5.  Membangun moralitas umat yang didasarkan pada nilai-nilai dan karakter Islam yang religius, etis dan humanis, yang pada gilirannya cita pembaruan yang ditularkan Fazlur Rahman bagi paradigma keislaman di Indonesia telah menampakkan hasil yang gemilang. Bukan saja dari tawaran pembaruan yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik.
B.  Biografi Fazlurrahman
Fazlur Rahman, lahir pada 21 September 1919, dari keluarga Islami. Rahman tergolong anak yang paling cerdas. Dalam usia sepuluh tahun ia sudah hafal al-Qur’an. Kemudian dalam usia empat belas tahun, Rahman sudah mulai akrab dengan ilmu filsafat, bahasa Arab, Teologi, Hadis, dan Tafsir. Pada usia sekitar 20 tahun, Rahman berhasil menguasai bahasa Persia, Urdu, Inggris, Perancis, dan Jerman. Selain itu, Rahman juga mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa Eropa Kuno, seperti Latin dan Yunani.
Memasuki tahun 1940, ketika usianya menginjak 21 tahun, Rahman berhasil menyelesaikan program Bachelor of Artnya dengan prestasi yang membanggakan. Ia pun meneruskan program master dalam bahasa Arab di universitas yang sama. Dalam tempo dua tahun, Rahman sukses meraih gelar Master bahasa Arab, kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke benua Eropa,tepatnya di Ingris pada Universitas Oxford. Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India),[2] ia masih  mengajar di Durham University. Kemudian mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960.
 Tiga tahun kemudian Fazlur Rahman kembali ke Pakistan atas permintaan Ayyub Khan (Presiden Pakistan, 1958- 1969) kepulangan Rahman tidak lepas dari motivasi pribadinya untuk membangkitkan kembali visi al-Qur’an yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah- sebagaimana yang terjadi negeri asalnya tersebut.[3]   
 Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad. Menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, al-Qur’an juga merupakan perkataan Muhammad s.a.w.[4] Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkiri-Qur’an (orang yang tidak percaya Al-Qur’an). Kontroversi dalam media massa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968, hingga pada 5 September 1968 Fazlur Rahman mengajukan pengunduran diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam[5]. 
Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahman meninggalkan Pakistan dan menjadi Guru Besar Pemikiran Islam. Mata kuliah yang dia ajarkan meliputi pemahaman Al-Qur’an, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernisme Islam, kajian tentang pemikiran tokoh-tokoh Islam seperti al-Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Disinilah Rahman menemukan keterbukaan atas pelbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan[6].
  Menjelang kematiannya Rahman sempat menyelesaikan karyanya yang berjudul Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (terbit tahun 2000). Walaupun baru diterbitkan setelah beliau wafat, namun pengerjaannya dilakukan ketika sakit parah dengan dibantu oleh puteranya. Akhirnya, setelah beberapa lama sebelumnya dirawat di rumah sakit Chicago, pada 26 Juli 1988 ia akhirnya tutup usia pada usia 69 tahun.


C.  Perkembangan Pemikiran Fazlurrahman
Kajian pemikiran Rahman dalam konteks keislaman tidak bisa dilepaskan dari konstalasi sejarah hidupnya, oleh karena itu dalam tulisan ini disajikan dalam tiga periode untuk memudahkan mendapatkan pemahaman lebih terhadap pemikiran Fazlur Rahman. 
a.  Periode pertama adalah periode peletakan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. karya intelektualnya pada periode ini, yaitu: Avecinna’s Psychology (1952), berisikan kajian dari pemikiran Ibn Sina yang terdapat dalam kitab Kitab al-Najat. Avecinna’s De Anima, being the Psychologycal Part of Kitab al-Shifa’ 1959) merupakan suntingan dari kitab al-Nafs yang merupakan bagian dari Kitab al-Shifa’. Prophecy in Islam: Philosophi and Orthodoxy (1958), merupakan karya original Fazlur Rahman karyanya yang terakhir ini dilandasi oleh rasa keprihatinannya atas kenyataan bahwa sarjana-sarjana muslim modern yang kurang menaruh minat dan perhatian terhadap dokrin-dokrin kenabian.  Untuk melacak akar pemikiran filsafat Islam, Fazlur Rahman mengambil sampel dua filsuf ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037). Dia mengulas pandangan kedua filsuf tersebut tentang wahyu ke-Nabi-an pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis atau imajinatif, doktrin mukjizat, konsep dakwah dan syari’ah. Untuk mewakili pandangan ortodoksi, Fazlur Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani, Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Dari pelacakannya ini, Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa ada kesepakatan aliran ortodoks dalam menolak pendekatan intelektualis-murni para filsuf terhadap fenomena ke-Nabi-an. Hasil dari penelusurannya ini mengantarkan Fazlur Rahman sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara posisi filsuf Muslim dan ortodoksi[7]. Sebab, perbedaan ada sejauh pada tingkat penekanan saja. Menurut para filosof, nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Intelek Aktif, sementara menurut ortodoksi nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan malaikat. Sementara para filosof lebih menekankan kapasitas alami nabi sehingga menjadi “nabi-manusia”, ortodoksi lebih suka meraup karakter ilahiah dari mukjziat wahyu ini. Kelak, pandangan ini cukup mempunyai pengaruh terhadap pandangan Rahman tentang proses “psikologis” nabi menerima wahyu. Seperti halnya teori para filosof dan kaum ortodoks, Rahman berteori bahwa Nabi mengidentifikasikan dirinya dengan hukum moral.[8]
b. Pada periode kedua (Pakistan), disebut periode perkembangan karena pada periode ini Fazlur Rahman mengalami proses menjadi, yaitu proses berkembang dari pertumbuhan menuju kematangan. Karya originalnya pada masa ini adalah Islamic Methodology in History. Karya ini membahas konsep sunnah, ijtihad, dan ijma’. Inti sari dari buku tersebut adalah dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari otoritas sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya menjadi hadits. Sunnah Nabi merupakan sunnah yang ideal, sunnah yang hidup merupakan interpretasi dan implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap sunnah ideal tersebut, sedangkan hadits merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan. Dari sunnah tersebut, ia ingin membangun kembali mekanisme “Sunnah-Ijtihad-Ijma”.[9] Dalam buku ini Fazlur Rahman memperlihatkan evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam: AlQur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’, peran aktual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku kedua yang dihasilkan Fazlur Rahman dalam periode ini adalah berjudul Islam. Buku ini merupakan upaya Fazlur Rahman dalam menyajikan sejarah perkembangan Islam secara umum, yaitu kira-kira selama empat belas abad keberadaan Islam. Dalam buku ini, Fazlur Rahman lebih dominan mengemukakan kritik historis, disamping sedikit memberikan harapan dan saran-saran.[10]
Temuan historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), dalam bukunya Islamic Methodology in History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung ijtihadnya.
Secara epistemologis Fazlur Rahman berhasil menggabungkan pendekatan historis dan normatif menjadi metode yang sistematis dan komprehensif untuk memahami al-Qur’an, yang pada akhirnya disempurnakan menjadi metode suatu gerakan ganda (a double movement).
c. Pada periode Ketiga (Chicago) , Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and Modernity:Transformatioan of an intellektual tradition (1982).
D.  Hermenuetika Al-Qur’an; Solusi Metodologi Tafsir
Dua periode pemikiran terakhir menggambarkan kegelisahan Rahman terhadap bangunan metodologi yang berkembang dalam wilayah keislaman terasa ‘kering’ sehingga kebutuhan terhadap teori hermeneutika[11] dalam menafsirkan teks kitab suci (baca: al Qur’an) harus diaplikasikan untuk menangkap makna dan pesan moral al-Qur’an secara memadai, sehingga tercipta suatu kesatuan yang utuh dan jalin berkelindan dalam menciptakan suatu pandangan dunia.
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Gerakan pertama terdiri dari dua dua langkah;
Langkah pertama, memahami arti atau  makna  suatu  pernyataan  Al-Qur’an,  dengan  mengkaji  situasi  atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik  dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan  suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang.
Langkah kedua, Menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis  yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Dan yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan.  Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.
Bila gerakan yang pertama  mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, Gerakan Pertama ini disebut Rahman sebagai ‘tugas pemahaman’ (task of understanding). Dalam gerak pemahaman ini. Rahman mensyaratkan kajian-kajian bidang lain yang menunjang pemahaman yang feasible. Di samping pengetahuan tentang bahasa al Qur’an (tata bahasa, gaya bahasa, dan lain-lain), suatu kajian  tentang pandangan-pandangan kaum muslimin -khususnya generasi awal-akan membantu. Artinya, dipergunakan pendekatan linguistik dan historis (kritis). Akan tetapi, pandangan-pandangan tersebut harus menduduki tempat kedua dalam materi-materi obyektif yang digariskan di atas; karena walaupun penafsiran-penafsiran historis atas al Qur’an akan membantu, juga harus mendapatkan penilaian dari pemahaman yang diperoleh dari al-Qur’an sendiri[12].
Gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Dengan kata lain, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang konkret di masa sekarang[13].
 Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya adalah kerja ahli etika. 
Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.
Gerakan  ganda ini, digambarkan oleh Taufik Adnan Amal dengan tiga langkah metodologis utama:
 a.  Pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran dalam bentangan karir dan perjuangan nabi; Pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran masa Nabi; berkaitan dengan hal ini Fazlur Rahman mengungkapkan:
“Suatu pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks al-Qur’an…Pertama-tama, al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan historisnya. Mengawali dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan Nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan al-Qur’an dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.”
  
b.   Pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan al-Qur’an;
Pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan al-Qur’an; Mengenai pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan moral al-Qur’an, Fazlur Rahman menulis:
“Kemudian seseorang telah siap untuk membedakan antara ketetapan legal dan sasaranAl-Qur’an, di mana hukum diharapkan mengabdi kepadanya. Di sini sekali lagi seseorang berhadapan dengan bahaya subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan baik oleh kalangan non-Muslim maupun Muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya memberikan alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya.” 

c. Pemahaman dan penetapan sasaran al-Qur’an  dengan memperhatikan sepenuhnya latar sosiologis. 
Konstruksi pemikiran hermeneutika Rahman di atas - seperti yang secara kritis diilustrasikan juga oleh Farid Essack dalam bukunya Qur’an, Liberation & Pluralism- kalau dibentuk bagan akan seperti di bawah ini:
Bagan  IV
Proses Hermeneutika Double Movement [14]
                                                  
   


                                                          

                       





Selain metode hermeneutika double movement di atas, Rahman juga menggunakan pendekatan sintetik-logik, yakni dengan cara mensintesakan berbagai tema (terutama tentang ketuhanan dan metafisika) secara logik ketimbang secara kronologik. Al-Qur’an dibiarkan berbicara sendiri. Sedangkan penafsiran hanya dipergunakan untuk membuat hubungan antara konsep-konsep yang berbeda[15]. Itulah proyeksi metodologis yang ditawarkan oleh Rahman dalam merumuskan  proses hermeneutika al-Qur’annya.
E.  Double Movement dan Persoalan Kontemporer
Gagasan hermeneutika al-Qur’an Rahman ini merupakan suatu tawaran yang menarik, ketika kita mencoba mencermati dan mengkaitkannya dengan persoalan kontemporer. Salah satu contoh adalah persoalan poligami dan persaksian wanita.
a.  Poligami
dalam konteks feminisme dan gender persoalan poligami menjadi pokok persoalan yang mampu menyita perhatian segenap kalangan. Khususnya isu-isu kontemporer dalam masyarakat, kita ambil beberapa kasus, misalnya poligami, bayi tabung, trangender, kesaksian wanita dipengadilan, perkawinan berbeda agama yang begitu marak dewasa ini.
Pada kesempatan ini penerapan penafsiran al-Qur’an dengan pendekatan/ metode hermeneutika double movement pada kasus poligami yang oleh beberapa kalangan dianggap bahwa penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut cenderung diskriminatif dan subordinatif. Walaupun dengan alasan-alasan yang berbeda-beda --apakah poligami atau monogami, yang jelas konsep poligami ini tertulis dalam al-Qur’an.[16] Locus interpretasi dan re-interpretasinya adalah al-Qur’an surat al-Nisa’ (4):3 : Ayat tersebut turun sebagai respon terhadap perilaku para wali  dari anak-anak yatim baik laki-laki ataupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka.[17]
Kemudian al-Qur’an menyerukan agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan harta kekayaan itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat orang di antara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil.  Seruan al-Qur’an ini didukung pula oleh ayat yang lain, yang turun sebelumnya, yaitu dalam (Q.S. al-Nisa’ (04):127[18].
Dilihat dari  Asbab al-Nuzulnya menunjukkan bahwa masalah ini muncul dalam konteks perempuan-perempuan yatim. Tapi kemudian al Qur’an memperingatkan bahwa
Betapapun mereka (para wali) itu berupaya (berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut” (Q.S. an-Nisa’ (04): 129)

Pernyataan-pernyataan al-Qur’an di atas, menurut Fazlur Rahman terdapat sebuah distingsi (antara aspek legal dan ajaran moral al-Qur’an), yaitu 1. Izin untuk beristeri sampai empat orang, dan
2. keharusan untuk berlaku adil kepada mereka.
Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman kemudian berkesimpulan bahwa:
 ..Yang benar nampaknya bahwa diizinkannya poligami adalah pada taraf legal, sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak ke arahnya, karena tidak mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus.[19]

 Penafsiran Rahman ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh ulama tradisional, yang seperti dikutipnya, ijin untuk berpoligami itu mempunyai kekuatan hukum sedang keharusan untuk berbuat adil kepada istri-istri tersebut, walaupun sangat penting, terserah kepada kebaikan si suami.[20]
Berkenaan dengan kesimpulan di atas, Rahman memberikan alasan, bahwa:
  ---prosedur yang biasa terjadi di dalam pembuatan hukum yang berdasarkan al-Qur’an. Secara garis besarnya, setiap pernyataan yang legal [النص  ] atau quasi-legal disertai oleh sebuah ratio-legis [علة الحكم  ]  yang menjelaskan mengapa sebuah hukum dinyatakan. Untuk dapat memahami sebuah ratio-legis secara sempurna pertama sekali kita harus mempelajari latar-belakang sosio-historis (yang oleh penafsir-penafsir al-Qur’an dikatakan sebagai ‘alasan-alasan penurunan wahyu’ [ اسبـاب النـزول ]. Ratio-legis merupakan inti, sedangkan legislasi yang aktual [الحكم ] merupakan perwujudannya asalkan tepat dan benar merealisasikan ratio-legis tersebut. [21]

Dengan alasan tersebut, dapat digeneralisasikan jawaban-jawaban spesifiknya bahwa kebolehan berpoligami pada dasarnya lahir sebagai jawaban/solusi bagi para wali yang tidak berlaku adil terhadap anak yatim, baik laki-laki dan perempuan. Dan al-Qur’an membolehkan mereka (para wali) mengawini perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan al Qur’an di sini adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat  yang lemah, seperti, orang-orang miskin, anak-anak yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang-orang yang terjerat hutang[22], sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan egaliter. Maka proses poligami ke monogami ini membutuhkan pentahapan-pentahapan perubahan legislasi Islam seperti fenomena yang sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monogami lebih kontekstual dalam legislasi Islam.[23]   
Paradigma pemikiran yang dilontarkan Rahman ini sejalan dengan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang diberlakukan di Indonesia, pasal 4 (2) UU Perkawinan:
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas, adalah mengacu pada tujuan pokok perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. [24]
Pernyataan Rahman di atas, dikaitkan dengan metode hermeneutikanya, kalau dibentuk sebuah bagan akan nampak seperti ini:





 







b.   Kesaksian Wanita
Salah satu respon Rahman yang cukup menarik adalah mengenai kesaksian wanita. Jawaban Rahman terhadap kasus ini berkaitan dengan prinsip yang dikemukakan oleh ahli-ahli hukum tradisional yang menyatakan bahwa ‘walaupun sebuah hukum terjadi karena situasi yang spesifik tetapi aplikasinya adalah universal’ . Dengan merujuk pada ayat al-Baqarah (02):282[25] Rahman mengcounter prinsip itu.
Ketentuan legal yang diberikan oleh al-Qur’an sehubungan dengan kesaksian perempuan ini berkenaan dengan masalah transaksi hutang piutang, baik yang besar maupun yang kecil. Jumlah (besar hutang-piutang itu) harus dituliskan dengan disaksikan oleh dua orang lelaki yang dewasa dan dapat dipercaya atau,  jika tidak ada dua orang lelaki maka di gantikan dengan satu orang lelaki dan dua orang perempuan.
Perbandingan antara satu lelaki dengan dua perempuan ini menjadi debat hukum. Bagi kalangan tradisionalis berpandangan bahwa ketetapan hukum tersebut tak bisa berubah. Jadi tetap satu orang lelaki dengan dua orang perempuan. Pandangan ulama tradisionalis ini ditentang oleh Rahman. Alasannya, bahwa konteks turunnya ayat ini adalah  berkaitan dengan persoalan transaksi hutang piutang. Secara jelas ayat tersebut menyebutkan bahwa ‘illah al-hukm’nya yaitu karena kaum perempuan lebih ‘pelupa’ ketimbang lelaki. ‘Kepelupaan’ perempuan ini karena waktu itu kaum perempuan tidak terbiasa dengan urusan hutang piutang. Ketika terjadi perubahan sosial seperti sekarang ini, dimana tuntutan partisipasi  perempuan untuk terjun kedunia publik semakin luas peluangnya. Bukan tidak mungkin urusan publik (hutang piutang) menjadi kebiasaan kaum perempuan. Maka kesaksian perempuan dapat dipandang sama kuatnya dengan kesaksian seorang lelaki.[26]
Dengan melihat beberapa pertimbangan itulah di mana pengetahuan terhadap ‘íllah al-hukm’ (ratio legis) dengan melacak konteks sosial-historis yang membidani sebab turunnya suatu ayat menjadi signifikan untuk penetapan legislasi aktual pada masyarakat.
F.         Penutup 
Dari uraian tentang pemikiran Fazlur Rahman ini dapat disimpulkan bahwa metodologi yang ditawarkan Fazlur Rahman adalah ‘gerakan ganda’ (double movement), dengan pendekatan ‘sosio-historis’ dan ‘sintetis-logis’. Pendekatan historis disertai dengan pendekatan sosiologis, yang khusus memotret kondisi sosial yang terjadi pada masa al-Qur’an diturunkan. Gerakan ganda adalah masuk ke akar sejarah untuk menemukan moral ideal suatu ayat dan membawa moral ideal itu ke dalam konteks kekinian. Pendekatan ini digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum.
Sedangkan sintetis-logis adalah pendekatan yang membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas. Pendekatan ini digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat metafisis-teologis.  Jelas, di sini ditekankan keterpaduan wahyu. Dengan ijtihadnya tersebut sesungguhnya Fazlur Rahman telah berjasa besar dalam merumuskan sebuah pemikiran Islam yang sistematis dan komprehensif. Pemikiran Fazlur Rahman ini dalam kajian pemikiran Islam kontemporer memiliki arti penting, di antaranya:
Menawarkan metodologi baru dalam pengembangan keilmuan Islam: Hermeneutika double movement Fazlur Rahman adalah hermeneutika yang memadukan akar tradisional Islam dengan hermeneutika Barat modern. Dinamakan hermeneutika al-Qur’an karena hermeneutika difungsikan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci al-Qur’an.

Daftar Pustaka
Adnan Amal, Taufik,  Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum    fazlur Rahman, Bandung: Mizan,  1996
Amir Aziz, Ahmad, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1999
Azhar, Muhammad, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Modernisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, alih bahasa Nanang Tahqiq, cet. 1 Jakarta: Paramadina, 1999
Essack, Farid, Qur’an, Liberation & Pluralism, England: Oneworld Oxford, 1997
Nasution,Khoiruddin, Riba & Poligami Sebuah Studi Atas Pemikiran Muhammad Abduh,Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Akademia Yogyakarta, 1996
Rahman,Fazlur, Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa  Anas Mahyuddin, Cet. II, Bandung: Pustaka, 1996
------------, Islam dan Modernisasi:Tentang  Transformasi Intelektual,Bandung: Pustaka, 1985
------------, Islam , Chicago: The University of Chicago Press, 1979
------------ ,Revival and Reform In Islam,Oxford: Oneworld Publications, 2000
Ropiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1997
Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006



[1] Neomodernis adalah penamaan aliran/gerakan. Istilah ini secara sederhana dapat diartikan dengan “paham modernisme baru”, Neo-modernisme digunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran Islam yang muncul sejak beberapa dekade terakhir yang berusaha menjembatani, bahkan mengatasi, gerakan pemikiran sebelumnya yaitu pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Kecuali itu, seperti dikatakan Greg Barton, jika modernisme merupakan gerakan intelektual yang sangat concern terhadap rasionalisme, neo-modernisme mencoba mengambil persoalan-persoalan yang ditinggalkan modernisme, sambil mengambil rasionalisme, ia melakukan pendekatan rasional terhadap kitab suci untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan logis. Di samping itu, kemunculan neo-modernisme disebabkan tuntutan jaman yang semakin berkembang namun kurang dapat diantisipasi oleh berbagai pemikiran keislaman yang mapan secara historis maupun metodologi keislaman yang komprehensif dan rasional. Lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, alih bahasa Nanang Tahqiq, cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1999), 449-457. Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1999), 15-16. Dan juga Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Modernisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 27-30.
[2] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung,Pustka) 1984), 30-31
[3] Ibid, 33
[4] Ebrahim Moosa , “Introduction”, dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform In Islam,( Oxford: Oneworld Publications, 2000), 35
[5] Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, 104.
[6] Ibid, 112

[7] Fazlur Rahman, Islam dan Modernisasi:Tentang  Transformasi Intelektual,(Bandung: Pustaka, 1985),169-172
[8] Taufik   Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum    fazlur Rahman, (Bandung: Mizan,  1996),116
[9] Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 19
[10] Ibid. 22
[11]Terma hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenia yang berarti pembicaraan, penerjemahan dan interpretasi. Istilah ini mempunyai asosiasi etimologis dengan Dewa Hermes dalam mitologi Yunani, dari mana kata itu diderivasi, yang mempunyai tugas menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan Tuhan kepada manusia. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmusi apa di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk di mana intelejensia manusia dapat menangkapnya. Jadi tugas hermeneutika adalah membuat pesan supaya dapat dipahami secara baik. Dalam peradaban Islam, Hermes dikenal dengan nabi Idris yang disebut dalam al-Qur’an. Di kalangan Yahudi, Hermes dikenal sebagai Thoth. Dalam mitologi Mesir Hermes adalah Musa. Lihat al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Bairut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989), 153. Dan juga Syed Hossen Nasr, Knowledge and The Sacred (Ediburgh: Ediburgh University Press, 1981), 72.
Dalam perkembanganya terma hermeneutika tersebut tidak hanya sebagai  ‘art of  interpretation’  tapi juga menjadi sebuah disiplin ilmu yang menemukan bentuknya dalam wilayah Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu budaya). Muncullah di sini kemudian aliran-aliran dalam hermeneutika dari hermeneutika Objektif sampai Hermeneutika Kritis. Dan Rahman dalam diskursur hermeneutika kontemporer itu termasuk dalam wilayah hermeneutika Objektif sejajar dengan Schleirmacher, Dilthey, dan Betti. Untuk mengetahui lebih jauh baca, Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, (London: Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul, 1980), R.E. Palmer, Hermeneutic: Interpretation Theory in Scheirmacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, (Evanstone: Norhwestern University Press, 1969).
[12] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas., 7-8.
[13] Ibid. 8.
[14] Diagram ini dapat dilihat pada Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of interreligious Solidarity against Oppression, Oxford: Oneworld Publication, 1997.  Edisi Indonesia, Al-Qur’an, Liberasi, Pluralisme, Membebaskan yang Tertindas, terj.Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), 66-67.
[15]    Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa  Anas Mahyuddin, Cet. II (Bandung: Pustaka, 1996), 9-10.
[16]    Lebih lanjut baca, Khoiruddin Nasution, Riba & Poligami Sebuah Studi Atas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Akademia Yogyakarta, 1996), 83-110.
[17]  “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (Q.S. an-Nisa’ (4) : 2
[18]    Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur'an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya".
[19] Fazlur Rahman, Tema Pokok., 70.
[20] Fazlur Rahman, Tema Pokok., 69.
[21] Ibid., 71.
[22] Ibid., 68.
[23] Ibid., 71
[24] Ahmad Ropiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), 169-177.
[25] “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.(Q.S. al-Baqarah (02):282
[26] Fazlur Rahman, Tema Pokok., 71.