A.
Pendahuluan
Fazlur Rahman adalah
salah seorang tokoh pembaharu/pemikir neo modernis[1]
yang begitu akrab dengan dunia Islam bahkan dengan Indonesia, Tokoh reformis
asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat
bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain –
dapat dirujuk dari kedekatan Fazlurahman dengan Nur Cholish Madjid (Cak Nur),
Syafi’i Ma’arif dan Amien Ra’is pelopor dari gerakan pembaruan Islam di
Indonesia yang berhubungan langsung dan berguru kepada Rahman, cukup wajar jika
pada akhirnya pemikiran Fazlur Rahman menjadi arus utama (mainstream) dan begitu mewarnai aliran pemikiran Islam modern di
negeri ini.
Dalam sitting historis Fazlur
Rahman, sangat menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analitis
dalam melahirkan gagasan-gagasan yang bebas. Dalam hal ini filsafat berfungsi
menyediakan alat-alat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya
"membangun suatu pandangan dunia (word
view) berdasarkan al-Qur'an". Fazlur Rahman memandang pentingnya
keterlibatan sains-sains sosial. Sains-sains tersebut merupakan produk
perkembangan modern yang berguna dalam memberikan keterangan kondisi obyektif
suatu kehidupan dunia yang obyektif pengejawantahan ajaran-ajaran al-Qur'an.
Gerakan pembaharuan Islam Rahman membagi corak gerakan pada empat tipologi :
1. Golongan revivalis
(pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang
dipelopori oleh gerakanwahabiyah diarab, Afrika Utara, dan Afrikat barat.
2. Gerakan modernis
yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, dan Muhammad
Abduh.
3. Neo-Revivalisme,
yang bercorak modern, namun agak reaksioner, yang dikomandani oleh A’la
Al-Mauddudi dengan jamaat Islami-nya.
4. Gerakan
Neo-Modernis, Rahman memproklamirkan dirinya menjadi bagian dari gerakan ini,
sebab menurutnya, neo modernism mempunyai sintesis progressif dari rasionalitas
modernis disatu sisi dengan ijtihad dan tradisi klasik disisi yang lain.
Sebagai potensi ledak terjadinya renaissance
Islam.
Pola pemikiran sintesis
progressif Rahman telah memberi perspektif hitoris dalam menghampiri Islam dan
membubuhkan analisis hermeneutika-obyektif dalam menggali al-Qur’an, yang
kemudian melahirkan pijakan yang kokoh diatas pondasi tradisi (ortodoksi) Islam, sekaligus mampu keluar
dari jebakan stagnasinya untuk menggamit ruh tardisi yang kontekstual dan kompatibel
bagi zamannya, yaitu ruh Islam yang substantif dan liberatif.
Bertolak dari realitas
itu, ia ingin mengajak kita melakukan upaya rekonstruktif dengan
mempertimbangkan langkah-langkah berikut :
1. Pembumian al-Qur’an/wahyu melalui kontekstualisasi
ajaran Islam secara kritis dan benar.
2. Eksplorasi, penguasaan dan pengembangan sains
dan tekhnologi dalam paradigm keimanan dan moral.
3.
Membangun semangat pembaharuan dalam semua sector untuk pencerdasan dan
pemberdayaan umat.
4. Menghilangkan dikotomi dan antagonitas
keilmuaan antara naqliyah dan
ilmu-ilmu ‘aqliyah.
5. Membangun moralitas umat yang didasarkan pada
nilai-nilai dan karakter Islam yang religius, etis dan humanis, yang pada
gilirannya cita pembaruan yang ditularkan Fazlur Rahman bagi paradigma
keislaman di Indonesia telah menampakkan hasil yang gemilang. Bukan saja dari tawaran pembaruan
yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat
berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif,
dan juga otentik.
B.
Biografi Fazlurrahman
Fazlur Rahman, lahir
pada 21 September 1919, dari keluarga Islami. Rahman tergolong anak yang paling
cerdas. Dalam usia sepuluh tahun ia sudah hafal al-Qur’an. Kemudian dalam usia
empat belas tahun, Rahman sudah mulai akrab dengan ilmu filsafat, bahasa Arab, Teologi,
Hadis, dan Tafsir. Pada usia sekitar 20 tahun, Rahman berhasil menguasai bahasa
Persia, Urdu, Inggris, Perancis, dan Jerman. Selain itu, Rahman juga mempunyai pengetahuan
tentang bahasa-bahasa Eropa Kuno, seperti Latin dan Yunani.
Memasuki tahun 1940,
ketika usianya menginjak 21 tahun, Rahman berhasil menyelesaikan program Bachelor of Artnya dengan prestasi yang
membanggakan. Ia pun meneruskan program master dalam bahasa Arab di universitas
yang sama. Dalam tempo dua tahun, Rahman sukses meraih gelar Master bahasa Arab,
kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke benua Eropa,tepatnya di Ingris pada
Universitas Oxford. Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur
Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan
diri dari India),[2] ia
masih mengajar di Durham University. Kemudian
mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan
menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960.
Tiga tahun kemudian
Fazlur Rahman kembali ke Pakistan atas permintaan Ayyub Khan (Presiden
Pakistan, 1958- 1969) kepulangan Rahman tidak lepas dari motivasi pribadinya untuk
membangkitkan kembali visi al-Qur’an yang dinilainya telah terkubur dalam
puing-puing sejarah- sebagaimana yang terjadi negeri asalnya tersebut.[3]
Rahman
mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya
dengan Muhammad. Menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an sepenuhnya adalah kalam atau
perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, al-Qur’an juga merupakan perkataan
Muhammad s.a.w.[4] Akibat
pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkiri-Qur’an (orang yang tidak
percaya Al-Qur’an). Kontroversi dalam media massa Pakistan mengenai pemikiran
Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang pada
akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok
total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968, hingga pada 5 September
1968 Fazlur Rahman mengajukan pengunduran diri dari pimpinan Lembaga Riset
Islam[5].
Pada akhir tahun 1969
Fazlur Rahman meninggalkan Pakistan dan menjadi Guru Besar Pemikiran Islam.
Mata kuliah yang dia ajarkan meliputi pemahaman Al-Qur’an, filsafat Islam,
tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernisme Islam, kajian tentang
pemikiran tokoh-tokoh Islam seperti al-Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad
Iqbal, dan lain-lain. Disinilah Rahman menemukan keterbukaan atas pelbagai
gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan[6].
Menjelang
kematiannya Rahman sempat menyelesaikan karyanya yang berjudul Revival and Reform in Islam: A Study of
Islamic Fundamentalism (terbit tahun 2000). Walaupun baru diterbitkan
setelah beliau wafat, namun pengerjaannya dilakukan ketika sakit parah dengan
dibantu oleh puteranya. Akhirnya, setelah beberapa lama sebelumnya dirawat di
rumah sakit Chicago, pada 26 Juli 1988 ia akhirnya tutup usia pada usia 69
tahun.
C.
Perkembangan Pemikiran
Fazlurrahman
Kajian pemikiran Rahman
dalam konteks keislaman tidak bisa dilepaskan dari konstalasi sejarah hidupnya,
oleh karena itu dalam tulisan ini disajikan dalam tiga periode untuk memudahkan
mendapatkan pemahaman lebih terhadap pemikiran Fazlur Rahman.
a.
Periode pertama adalah periode peletakan
dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. karya intelektualnya pada periode
ini, yaitu: Avecinna’s Psychology (1952),
berisikan kajian dari pemikiran Ibn Sina yang terdapat dalam kitab Kitab al-Najat. Avecinna’s De Anima, being the Psychologycal Part of Kitab al-Shifa’
1959) merupakan suntingan dari kitab al-Nafs
yang merupakan bagian dari Kitab al-Shifa’.
Prophecy in Islam: Philosophi and
Orthodoxy (1958), merupakan karya original Fazlur Rahman karyanya yang
terakhir ini dilandasi oleh rasa keprihatinannya atas kenyataan bahwa
sarjana-sarjana muslim modern yang kurang menaruh minat dan perhatian terhadap
dokrin-dokrin kenabian. Untuk melacak
akar pemikiran filsafat Islam, Fazlur Rahman mengambil sampel dua filsuf
ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037). Dia mengulas pandangan
kedua filsuf tersebut tentang wahyu ke-Nabi-an pada tingkat intelektual, proses
psikologis wahyu tehnis atau imajinatif, doktrin mukjizat, konsep dakwah dan
syari’ah. Untuk mewakili pandangan ortodoksi, Fazlur Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani, Ibn
Taymiyah dan Ibn Khaldun. Dari pelacakannya ini, Fazlur Rahman menyimpulkan
bahwa ada kesepakatan aliran ortodoks dalam menolak pendekatan
intelektualis-murni para filsuf terhadap fenomena ke-Nabi-an. Hasil dari
penelusurannya ini mengantarkan Fazlur Rahman sampai pada kesimpulan bahwa
tidak ada perbedaan mendasar antara posisi filsuf Muslim dan ortodoksi[7].
Sebab, perbedaan ada sejauh pada tingkat penekanan saja. Menurut para filosof,
nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Intelek Aktif, sementara menurut
ortodoksi nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan
malaikat. Sementara para filosof lebih menekankan kapasitas alami nabi sehingga
menjadi “nabi-manusia”, ortodoksi lebih suka meraup karakter ilahiah dari
mukjziat wahyu ini. Kelak, pandangan ini cukup mempunyai pengaruh terhadap
pandangan Rahman tentang proses “psikologis” nabi menerima wahyu. Seperti
halnya teori para filosof dan kaum ortodoks, Rahman berteori bahwa Nabi
mengidentifikasikan dirinya dengan hukum moral.[8]
b.
Pada periode kedua (Pakistan), disebut periode perkembangan karena pada periode
ini Fazlur Rahman mengalami proses menjadi, yaitu proses berkembang dari
pertumbuhan menuju kematangan. Karya originalnya pada masa ini adalah Islamic Methodology in History. Karya
ini membahas konsep sunnah, ijtihad, dan ijma’. Inti sari dari buku tersebut
adalah dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari otoritas sunnah
Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya menjadi hadits. Sunnah Nabi
merupakan sunnah yang ideal, sunnah yang hidup merupakan interpretasi dan
implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap sunnah ideal tersebut,
sedangkan hadits merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan. Dari
sunnah tersebut, ia ingin membangun kembali mekanisme “Sunnah-Ijtihad-Ijma”.[9] Dalam buku ini Fazlur Rahman
memperlihatkan evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok)
pemikiran Islam: AlQur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’, peran aktual
prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku kedua
yang dihasilkan Fazlur Rahman dalam periode ini adalah berjudul Islam. Buku ini
merupakan upaya Fazlur Rahman dalam menyajikan sejarah perkembangan Islam
secara umum, yaitu kira-kira selama empat belas abad keberadaan Islam. Dalam
buku ini, Fazlur Rahman lebih dominan mengemukakan kritik historis, disamping
sedikit memberikan harapan dan saran-saran.[10]
Temuan
historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’),
dalam bukunya Islamic Methodology in
History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya
pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada
agenda yang lebih penting lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang
merupakan jantung ijtihadnya.
Secara
epistemologis Fazlur Rahman berhasil menggabungkan pendekatan historis dan
normatif menjadi metode yang sistematis dan komprehensif untuk memahami
al-Qur’an, yang pada akhirnya disempurnakan menjadi metode suatu gerakan ganda (a double movement).
c.
Pada periode Ketiga (Chicago) ,
Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla
Sadra (1975), Major Theme of the
Qur’an (1980); dan Islam and
Modernity:Transformatioan of an intellektual tradition (1982).
D.
Hermenuetika Al-Qur’an;
Solusi Metodologi Tafsir
Dua
periode pemikiran terakhir menggambarkan kegelisahan Rahman terhadap bangunan
metodologi yang berkembang dalam wilayah keislaman terasa ‘kering’ sehingga
kebutuhan terhadap teori hermeneutika[11]
dalam menafsirkan teks kitab suci (baca: al Qur’an) harus diaplikasikan untuk
menangkap makna dan pesan moral al-Qur’an secara memadai, sehingga tercipta
suatu kesatuan yang utuh dan jalin berkelindan dalam menciptakan suatu
pandangan dunia.
Metodologi tafsir
Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Gerakan pertama terdiri
dari dua dua langkah;
Langkah pertama, memahami arti atau makna suatu
pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi
atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui
makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja,
menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi
makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan
lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam
datang.
Langkah kedua,
Menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang
memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik
dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri.
Dan yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran al-Qur’an sebagai
keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan
dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan
klaim al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan
koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu
oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman,
sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an
secara keseluruhan.
Bila gerakan yang
pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi
prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, Gerakan Pertama ini
disebut Rahman sebagai ‘tugas pemahaman’ (task
of understanding). Dalam gerak pemahaman ini. Rahman mensyaratkan
kajian-kajian bidang lain yang menunjang pemahaman yang feasible. Di samping pengetahuan tentang bahasa al Qur’an (tata
bahasa, gaya bahasa, dan lain-lain), suatu kajian tentang pandangan-pandangan kaum muslimin -khususnya
generasi awal-akan membantu. Artinya, dipergunakan pendekatan linguistik dan
historis (kritis). Akan tetapi, pandangan-pandangan tersebut harus menduduki
tempat kedua dalam materi-materi obyektif yang digariskan di atas; karena
walaupun penafsiran-penafsiran historis atas al Qur’an akan membantu, juga
harus mendapatkan penilaian dari pemahaman yang diperoleh dari al-Qur’an
sendiri[12].
Gerakan
kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan
dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan
adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa
dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Dengan
kata lain, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis
yang konkret di masa sekarang[13].
Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh
secara mulus, maka perintah al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali.
Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan
gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja
rekayasa etis yang sebenarnya adalah kerja ahli etika.
Momen gerakan kedua ini
juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap
hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan
sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami al-Qur’an
maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang
dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik
di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.
Gerakan ganda ini,
digambarkan oleh Taufik Adnan Amal dengan tiga langkah metodologis utama:
a. Pendekatan
historis untuk menemukan makna teks al-Quran dalam bentangan karir dan
perjuangan nabi; Pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran masa
Nabi; berkaitan dengan hal ini Fazlur Rahman mengungkapkan:
“Suatu pendekatan historis yang serius
dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks al-Qur’an…Pertama-tama, al-Qur’an
harus dipelajari dalam tatanan historisnya. Mengawali dengan pemeriksaan
terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi yang
cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari
pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan demikianlah, seseorang harus
mengikuti bentangan al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan Nabi…Metode ini
akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan al-Qur’an dalam suatu cara yang
sistematis dan koheren.”
b. Pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan
al-Qur’an;
Pembedaan antara ketetapan legal dan
tujuan al-Qur’an; Mengenai pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan moral al-Qur’an,
Fazlur Rahman menulis:
“Kemudian seseorang telah siap untuk
membedakan antara ketetapan legal dan sasaranAl-Qur’an, di mana hukum diharapkan
mengabdi kepadanya. Di sini sekali lagi seseorang berhadapan dengan bahaya
subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan
menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan baik oleh
kalangan non-Muslim maupun Muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya memberikan
alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya.”
c. Pemahaman dan
penetapan sasaran al-Qur’an dengan memperhatikan sepenuhnya latar
sosiologis.
Konstruksi
pemikiran hermeneutika Rahman di atas - seperti yang secara kritis
diilustrasikan juga oleh Farid Essack dalam bukunya Qur’an, Liberation & Pluralism- kalau dibentuk bagan akan
seperti di bawah ini:
Bagan
IV
Proses
Hermeneutika Double Movement [14]
Selain
metode hermeneutika double movement di atas, Rahman juga menggunakan pendekatan
sintetik-logik, yakni dengan cara mensintesakan berbagai tema (terutama tentang
ketuhanan dan metafisika) secara logik ketimbang secara kronologik. Al-Qur’an
dibiarkan berbicara sendiri. Sedangkan penafsiran hanya dipergunakan untuk
membuat hubungan antara konsep-konsep yang berbeda[15]. Itulah
proyeksi metodologis yang ditawarkan oleh Rahman dalam merumuskan proses hermeneutika al-Qur’annya.
E.
Double Movement dan
Persoalan Kontemporer
Gagasan
hermeneutika al-Qur’an Rahman ini merupakan suatu tawaran yang menarik, ketika
kita mencoba mencermati dan mengkaitkannya dengan persoalan kontemporer. Salah
satu contoh adalah persoalan poligami dan persaksian wanita.
a.
Poligami
dalam
konteks feminisme dan gender persoalan poligami menjadi pokok persoalan yang
mampu menyita perhatian segenap kalangan. Khususnya isu-isu kontemporer dalam
masyarakat, kita ambil beberapa kasus, misalnya poligami, bayi tabung,
trangender, kesaksian wanita dipengadilan, perkawinan berbeda agama yang begitu
marak dewasa ini.
Pada
kesempatan ini penerapan penafsiran al-Qur’an dengan pendekatan/
metode hermeneutika double movement pada kasus poligami yang oleh beberapa
kalangan dianggap bahwa penafsiran terhadap ayat-ayat
tersebut cenderung diskriminatif dan subordinatif. Walaupun dengan alasan-alasan
yang berbeda-beda --apakah poligami atau monogami, yang jelas konsep poligami
ini tertulis dalam al-Qur’an.[16]
Locus interpretasi dan re-interpretasinya adalah al-Qur’an surat
al-Nisa’ (4):3 : Ayat tersebut turun sebagai respon terhadap perilaku para
wali dari anak-anak yatim baik laki-laki
ataupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka.[17]
Kemudian al-Qur’an menyerukan agar mereka
(para wali) tidak menyelewengkan harta kekayaan itu, dan mereka boleh mengawini
(perempuan yatim) sampai empat orang di antara mereka, asalkan mereka dapat
berlaku adil. Seruan al-Qur’an ini
didukung pula oleh ayat yang lain, yang turun sebelumnya, yaitu dalam (Q.S. al-Nisa’ (04):127[18].
Dilihat
dari Asbab al-Nuzulnya
menunjukkan bahwa masalah ini muncul dalam konteks perempuan-perempuan yatim.
Tapi kemudian al Qur’an memperingatkan bahwa
“Betapapun mereka (para wali) itu berupaya
(berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidak akan
dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut” (Q.S. an-Nisa’ (04): 129)
Pernyataan-pernyataan
al-Qur’an di atas, menurut Fazlur Rahman terdapat sebuah distingsi (antara
aspek legal dan ajaran moral al-Qur’an), yaitu 1. Izin untuk
beristeri sampai empat orang, dan
2. keharusan untuk berlaku adil kepada
mereka.
Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman
kemudian berkesimpulan bahwa:
..Yang
benar nampaknya bahwa diizinkannya poligami adalah pada taraf legal, sementara
sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita
moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak ke arahnya, karena tidak
mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus.[19]
Penafsiran Rahman ini berbeda dengan apa yang
dikemukakan oleh ulama tradisional, yang seperti dikutipnya, ijin untuk
berpoligami itu mempunyai kekuatan hukum sedang keharusan untuk berbuat adil
kepada istri-istri tersebut, walaupun sangat penting, terserah kepada kebaikan
si suami.[20]
Berkenaan dengan kesimpulan di atas, Rahman
memberikan alasan, bahwa:
---prosedur
yang biasa terjadi di dalam pembuatan hukum yang berdasarkan al-Qur’an. Secara
garis besarnya, setiap pernyataan yang legal [النص
] atau quasi-legal disertai oleh sebuah
ratio-legis [علة الحكم ] yang menjelaskan mengapa sebuah hukum
dinyatakan. Untuk dapat memahami sebuah ratio-legis secara sempurna
pertama sekali kita harus mempelajari latar-belakang sosio-historis (yang oleh
penafsir-penafsir al-Qur’an dikatakan sebagai ‘alasan-alasan penurunan wahyu’ [ اسبـاب النـزول ]. Ratio-legis merupakan inti,
sedangkan legislasi yang aktual [الحكم ] merupakan perwujudannya asalkan tepat
dan benar merealisasikan ratio-legis tersebut. [21]
Dengan
alasan tersebut, dapat digeneralisasikan jawaban-jawaban spesifiknya bahwa
kebolehan berpoligami pada dasarnya lahir sebagai jawaban/solusi bagi para wali
yang tidak berlaku adil terhadap anak yatim, baik laki-laki dan perempuan. Dan
al-Qur’an membolehkan mereka (para wali) mengawini perempuan yatim itu
dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan al Qur’an di sini adalah untuk
menguatkan bagian-bagian masyarakat yang
lemah, seperti, orang-orang miskin, anak-anak yatim kaum wanita, budak-budak,
dan orang-orang yang terjerat hutang[22],
sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan egaliter. Maka proses
poligami ke monogami ini membutuhkan pentahapan-pentahapan perubahan legislasi
Islam seperti fenomena yang sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monogami
lebih kontekstual dalam legislasi Islam.[23]
Paradigma
pemikiran yang dilontarkan Rahman ini sejalan dengan UU Perkawinan No. 1 tahun
1974 yang diberlakukan di Indonesia, pasal 4 (2) UU Perkawinan:
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila
diperhatikan alasan-alasan tersebut di atas, adalah mengacu pada tujuan pokok
perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
[24]
Pernyataan
Rahman di atas, dikaitkan dengan metode hermeneutikanya, kalau dibentuk sebuah
bagan akan nampak seperti ini:
b. Kesaksian Wanita
Salah
satu respon Rahman yang cukup menarik adalah mengenai kesaksian wanita. Jawaban
Rahman terhadap kasus ini berkaitan dengan prinsip yang dikemukakan oleh
ahli-ahli hukum tradisional yang menyatakan bahwa ‘walaupun sebuah hukum
terjadi karena situasi yang spesifik tetapi aplikasinya adalah universal’ .
Dengan merujuk pada ayat al-Baqarah (02):282[25]
Rahman mengcounter prinsip itu.
Ketentuan
legal yang diberikan oleh al-Qur’an sehubungan dengan kesaksian perempuan ini
berkenaan dengan masalah transaksi hutang piutang, baik yang besar maupun yang
kecil. Jumlah (besar hutang-piutang itu) harus dituliskan dengan disaksikan
oleh dua orang lelaki yang dewasa dan dapat dipercaya atau, jika tidak ada dua orang lelaki maka di
gantikan dengan satu orang lelaki dan dua orang perempuan.
Perbandingan
antara satu lelaki dengan dua perempuan ini menjadi debat hukum. Bagi kalangan
tradisionalis berpandangan bahwa ketetapan hukum tersebut tak bisa berubah.
Jadi tetap satu orang lelaki dengan dua orang perempuan. Pandangan ulama
tradisionalis ini ditentang oleh Rahman. Alasannya, bahwa konteks turunnya ayat
ini adalah berkaitan dengan persoalan
transaksi hutang piutang. Secara jelas ayat tersebut menyebutkan bahwa ‘illah
al-hukm’nya yaitu karena kaum perempuan lebih ‘pelupa’ ketimbang lelaki.
‘Kepelupaan’ perempuan ini karena waktu itu kaum perempuan tidak terbiasa
dengan urusan hutang piutang. Ketika terjadi perubahan sosial seperti sekarang
ini, dimana tuntutan partisipasi
perempuan untuk terjun kedunia publik semakin luas peluangnya. Bukan
tidak mungkin urusan publik (hutang piutang) menjadi kebiasaan kaum perempuan.
Maka kesaksian perempuan dapat dipandang sama kuatnya dengan kesaksian seorang
lelaki.[26]
Dengan
melihat beberapa pertimbangan itulah di mana pengetahuan terhadap ‘íllah
al-hukm’ (ratio legis) dengan melacak konteks sosial-historis yang
membidani sebab turunnya suatu ayat menjadi signifikan untuk penetapan
legislasi aktual pada masyarakat.
F.
Penutup
Dari uraian tentang
pemikiran Fazlur Rahman ini dapat disimpulkan bahwa metodologi yang ditawarkan
Fazlur Rahman adalah ‘gerakan ganda’ (double movement), dengan
pendekatan ‘sosio-historis’ dan ‘sintetis-logis’. Pendekatan historis disertai
dengan pendekatan sosiologis, yang khusus memotret kondisi sosial yang terjadi
pada masa al-Qur’an diturunkan. Gerakan ganda adalah masuk ke akar sejarah
untuk menemukan moral ideal suatu ayat dan membawa moral ideal itu ke dalam
konteks kekinian. Pendekatan ini digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum.
Sedangkan sintetis-logis
adalah pendekatan yang membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat
yang berhubungan dengan tema yang dibahas. Pendekatan ini digunakan untuk
menafsirkan ayat-ayat metafisis-teologis. Jelas, di sini ditekankan keterpaduan wahyu.
Dengan ijtihadnya tersebut sesungguhnya Fazlur Rahman telah berjasa besar dalam
merumuskan sebuah pemikiran Islam yang sistematis dan komprehensif. Pemikiran
Fazlur Rahman ini dalam kajian pemikiran Islam kontemporer memiliki arti
penting, di antaranya:
Menawarkan metodologi
baru dalam pengembangan keilmuan Islam: Hermeneutika double movement Fazlur
Rahman adalah hermeneutika yang memadukan akar tradisional Islam dengan
hermeneutika Barat modern. Dinamakan hermeneutika al-Qur’an karena hermeneutika
difungsikan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci al-Qur’an.
Daftar Pustaka
Adnan Amal, Taufik, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas
Pemikiran Hukum fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1996
Amir Aziz, Ahmad, Neo-Modernisme
Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1999
Azhar, Muhammad, Fiqh
Kontemporer dalam Pandangan Modernisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996
Barton, Greg, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia, alih bahasa Nanang Tahqiq, cet. 1 Jakarta:
Paramadina, 1999
Essack, Farid, Qur’an, Liberation & Pluralism,
England: Oneworld Oxford, 1997
Nasution,Khoiruddin, Riba
& Poligami Sebuah Studi Atas Pemikiran Muhammad Abduh,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Akademia Yogyakarta, 1996
Rahman,Fazlur, Tema Pokok al-Qur’an, alih
bahasa Anas Mahyuddin, Cet. II, Bandung:
Pustaka, 1996
------------, Islam dan Modernisasi:Tentang Transformasi Intelektual,Bandung: Pustaka,
1985
------------, Islam , Chicago: The University of Chicago Press,
1979
------------ ,Revival and
Reform In Islam,Oxford:
Oneworld Publications, 2000
Ropiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1997
Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian
terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006
[1] Neomodernis adalah penamaan
aliran/gerakan. Istilah ini secara sederhana dapat diartikan dengan “paham
modernisme baru”, Neo-modernisme digunakan
untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran Islam yang muncul sejak
beberapa dekade terakhir yang berusaha menjembatani, bahkan mengatasi, gerakan
pemikiran sebelumnya yaitu pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Kecuali
itu, seperti dikatakan Greg Barton, jika modernisme merupakan gerakan
intelektual yang sangat concern terhadap rasionalisme, neo-modernisme
mencoba mengambil persoalan-persoalan yang ditinggalkan modernisme, sambil
mengambil rasionalisme, ia melakukan pendekatan rasional terhadap kitab suci
untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan logis. Di samping itu, kemunculan
neo-modernisme disebabkan tuntutan jaman yang semakin berkembang namun kurang
dapat diantisipasi oleh berbagai pemikiran keislaman yang mapan secara historis
maupun metodologi keislaman yang komprehensif dan rasional. Lihat Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia, alih bahasa Nanang Tahqiq, cet. 1 (Jakarta:
Paramadina, 1999), 449-457. Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di
Indonesia (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1999), 15-16. Dan juga Muhammad
Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Modernisme Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), 27-30.
[2] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung,Pustka) 1984), 30-31
[3] Ibid, 33
[4] Ebrahim Moosa , “Introduction”, dalam
Fazlur Rahman, Revival and Reform In Islam,( Oxford: Oneworld
Publications, 2000), 35
[5] Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, 104.
[6] Ibid, 112
[7] Fazlur Rahman, Islam dan Modernisasi:Tentang Transformasi Intelektual,(Bandung: Pustaka,
1985),169-172
[8] Taufik Adnan Amal, Islam
dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum fazlur Rahman,
(Bandung: Mizan, 1996),116
[9] Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian
terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), 19
[11]Terma hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenia yang berarti
pembicaraan, penerjemahan dan interpretasi. Istilah ini mempunyai asosiasi
etimologis dengan Dewa Hermes dalam mitologi Yunani, dari mana kata itu
diderivasi, yang mempunyai tugas menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan Tuhan
kepada manusia. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmusi apa di balik
pemahaman manusia ke dalam bentuk di mana intelejensia manusia dapat
menangkapnya. Jadi tugas hermeneutika adalah membuat pesan supaya dapat
dipahami secara baik. Dalam peradaban Islam, Hermes dikenal dengan nabi Idris
yang disebut dalam al-Qur’an. Di kalangan Yahudi, Hermes dikenal sebagai Thoth.
Dalam mitologi Mesir Hermes adalah Musa. Lihat al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi
(Bairut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989), 153. Dan juga Syed
Hossen Nasr, Knowledge and The Sacred (Ediburgh: Ediburgh University
Press, 1981), 72.
Dalam perkembanganya terma hermeneutika tersebut tidak hanya
sebagai ‘art of interpretation’ tapi juga menjadi sebuah disiplin ilmu yang
menemukan bentuknya dalam wilayah Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu budaya).
Muncullah di sini kemudian aliran-aliran dalam hermeneutika dari hermeneutika
Objektif sampai Hermeneutika Kritis. Dan Rahman dalam diskursur hermeneutika
kontemporer itu termasuk dalam wilayah hermeneutika Objektif sejajar dengan
Schleirmacher, Dilthey, dan Betti. Untuk mengetahui lebih jauh baca, Josef
Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Philosophy and
Critique, (London: Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul, 1980),
R.E. Palmer, Hermeneutic: Interpretation Theory in Scheirmacher, Dilthey,
Heidegger and Gadamer, (Evanstone: Norhwestern University Press, 1969).
[12] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas.,
7-8.
[13] Ibid. 8.
[14] Diagram ini dapat dilihat pada Farid
Esack, Qur’an, Liberation and
Pluralism: An Islamic Perspective of interreligious Solidarity against
Oppression, Oxford: Oneworld Publication, 1997.
Edisi Indonesia, Al-Qur’an, Liberasi,
Pluralisme, Membebaskan yang Tertindas, terj.Watung A. Budiman (Bandung:
Mizan, 2000), 66-67.
[15] Fazlur
Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, alih bahasa Anas Mahyuddin, Cet. II (Bandung: Pustaka,
1996), 9-10.
[16] Lebih
lanjut baca, Khoiruddin Nasution, Riba & Poligami Sebuah Studi Atas
Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan
Akademia Yogyakarta, 1996), 83-110.
[17]
“Dan berikanlah kepada anak-anak
yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan
yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (Q.S. an-Nisa’
(4) : 2
[18] “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para
wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa
yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur'an (juga memfatwakan) tentang para wanita
yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih
dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim
secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahuinya".
[19] Fazlur Rahman, Tema Pokok., 70.
[20] Fazlur Rahman, Tema Pokok.,
69.
[21] Ibid., 71.
[22] Ibid., 68.
[23] Ibid., 71
[25] “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan,
maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,
(Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.(Q.S. al-Baqarah
(02):282
[26] Fazlur Rahman, Tema Pokok., 71.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus