Manusia diklasifikasikan sebagai hewan
yang berakal, dan akallah yang membedakannya dengan makhluk lain (hewan).
Manusia adalah makhluk biologis sekaligus psikologis. Al-Qur’an tidak pernah
menggolongkan manusia sebagai hewan, ia disebut sebagai basyar, Insan, dan nas
dalam arti makhluk jasmani, rohani (akal, Nafsu hati) dengan segala sifat dan
karakteristiknya. Manusia ditempatkan pada kedudukan tinggi yaitu sebagai wakil
Allah (khalifah), untuk kepentingan
tersebut manusa dibekali kemampuan beradatasi, bersosialisasi, dan berkreasi
serta mempunyai kemampuaan membaca dan memikirkan segala sesuatu
disekelilingnya sekaligus mengambil pelajaran dari pejalanan hidupnya. Dengan segala potensi yang yang ada ia
dapat menentukan pilihan hidup dan mempertanggungjawabkan pilihannya tersebut.
Sebagai abdi manusia harus mengorientasikan hidup dan kehidupannya kepada
Allah, seiring dengan kecenderungan dirinya sebagai makhluk beragama,
kecenderungan ini sebagai fitroh sehingga, segala bentuk pengingkaran merupakan
bentuk kerugian dan penganiayaan terhadap dirinya serta menjatuhkannya ketempat
terendah.
Kata-kata
Kunci : Makhluk, Manusia, fitroh,
sosisalisasi, potensi, beragama, karakteristik, Khalifah, Abdun, malaikat,
jasmani rohani, biologis, psikologis, abdi/hamba.
A.
Pendahuluan
Merupakan suatu keniscayaan bahwa maju
mundurnya suatu negara tergantung pada penguasaan ilmu pengetahuan
masyarakatnya dan pengetahuan itu bernilai positif jika selaras dengan kondisi,
karakter dan kapasitas subyeknya, yaitu manusia. Pendidikan
merupakan suatu proses penempaan manusia untuk membangun suatu peradaban.
Manusia sebagai subyek dan obyek
pendidikan dengan kapasitas potensi yang dimiliki menjadi perhatian pokok
perencanaan dan pelaksanaan dari sebuah pendidikan, dan pendidikan yang baik
dan benar akan mampu mempertahankan dan mengembangkan potensi obyek didik
secara optimal dan proporsional. Pendidikan yang baik dan benar sebagaimana
dimaksud adalah pendidikan yang mampu dibangun atas dasar prinsip
kemanusiaan/pemahaman pada tabiat manusia menjadi syarat sempurnanya pendidikan[1].
Hal ini disebabkan potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan menjadi
manusia[2].
Artinya pendidikan benar-benar menjadi suatu pendidikan apabila ia dirancang
dan dilaksanakan atas dasar potensi/karakteristik/tabiat manusia sejalan dengan
fitrohnya. Karena belajar yang sebenarnya adalah belajar tentang manusia
demikian Socrates dalam Ahmad Tafsir[3].
Bagaimana pandangan Islam tentang manusia, siapakah manusia, apa Tujuan ,
kedudukan dan tugasnya dalam perjalanan hidup dan kehidupannya?.
B. Hakekat Manusia
Pandangan tentang hakekat manusia
sangat beragam, ini dapat dimafhumi bersama karena adanya perbedaan sudut
pandang, latar belakang sosial, budaya dan obyek material kajiannya.
Socrates menyebut manusia sebagai hewan
yang bermasyarakat (Zoon Politicum),
Max Scheller menganggap manusia adalah hewan yang sakit (Das Kranke Pier), senada dengan Drijakara yang menyebutkan manusia
yang selalu gelisah dan bermasalah[4]. Lebih
jauh lagi Aristoteles mendifinisikan manusia sebagai binatang berakal sehat
yang mampu berpendapat dan berbicara didasarkan pikirannya (The animal than reasons), disamping binatang berpolitik (Zoon political) dan binatang social (Sosial animal). Harold H. Titus menempatkan
manusia sebagai organisme hewani yang berkemampuan mempelajari diri sendiri
serta mampu menginterpretasi bentuk-bentuk hidup sekaligus mampu menyelidiki
makna eksistensi insaninya[5].
Sebagaimana dikutip Abdul Mujib dan
Yusuf, Sastraprateja menyatakan manusia adalah makhluk yang historis, setiap
perjalanan dan peristiwa hidupnya merupakan sekumpulan informasi/data penting
tentang dirinya sendiri. Lebih lanjut ia katakana, bahwa hakekat manusia hanya
dapat dilihat /diamati dalam perjalanan dan pengalaman hidupnya dalam rangkaian
anthrpological constants yaitu,
dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Rangkaian tersebut
ada enam bagian yang saling terkait yaitu, pertama, relasi manusia dengan
kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis. Kedua, ketertiban dengan sesame.
Ketiga, keterikatan dengan struktur social dan institusional. Keempat,
ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat. Kelima,
hubungan timbal balik antara teori dan praktek. Keenam, kesadaran religius dan
para pemeluk agama[6].
Diantara pandangan tersebut, bertumpu
pada sisi manusia, sebagai makhluk biologis, sosial, dan psikologis. Hal
tersebut, setidaknya telah menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk
multideminsional dengan beragam keunikan yang melekat padanya.
a)
Manusia Mahkluk Jasmani dan Rohani
Manusia
berjasad sama dengan makhluk lainnya (hewan).
Tapi, ada perbedaan prinsip, sedemikian prinsip tersebut menjadi hakekat
dirinya, Socrates (470 – 399) Sebagian hakekat manusia ialah makhluk yang ingin tahu
dan untuk itu harus ada yang membantunya bertindak sebagai bidan yang membantu
keluar dari rahimnya. Plato mengatakan hakekat manusia itu ada dua, yaitu;
rasio dan kesenangan dan keduanya saling bertentangan dan tarik menarik, lebih
jauh ia sampaikan jiwa manusia terdiri
dari tiga elemen, yaitu roh, nafsu dan akal. Rene Descartes menganggap akal
adalah menempati posisi sentral sebagai hakekat manusia. Thomas Hobbes hakekat
manusia adalah kontrak social oleh sebab itu setiap manusia harus menghargai dan menjaga hak orang lain. John
Locke, (1623 – 1704), dengan teori
tabularasanya mengatakan hal terpenting dan sengat berpengaruh pada kehidupan
manusia adalah pengalaman (faktor
eksternal). Immanuel Kant (1724 1804)
manusia adalah makhluk rasional yang bebas bertindak berdasarkan alasan moral[7].
Dalam pandangannya segala aktifitas manusia pasti berdasarkan alasan-alasan
tertentu.
Imam
al-Ghazali dalam Saeful Anwar[8], manusia
adalah manusia yang terbentuk dari jasad dan roh dengan potensi dan naluri
tertentu, yang berwujud sebagai identitas ketunggalan dalam mutlaknya
kebersamaan dan berfungsi sebagai abdi sekaligus khalifah dimuka bumi. Ia
diciptakan pada posisi diantara hewan dan malaikat dan mengandung sifat-sifat
kehewanan, kesetanan, kemalaikatan, dan ketuhanan. Sedangkan hakekat manusia
adalah rohnya sedangkan badan merupakan kendaraannya sedangkan potensi-potensi
dan naluri-nalurinya merupakan alat kelengkapannya yang tunduk pada akal komfulsif. Dan
kesempurnaan manusia terletak pada akalnya dan menangkap esensi segala sesuatu
sesuai realitasnya[9].
Dari
pengertian tersebut manusia adalah makhluk yang multi demensi dengan segala
potensi dan daya yang dimilikinya ia mampu medesain hidupnya sendiri, Mulyadhi
Kartanegara Lebih jauh katakan manusia adalah mikrokosmos yang didalamnya
terkandung segala unsur yang ada dalam kosmos,[10].
Artinya, manusia adalah puncak dari segala ciptaan, dalam hadits Qudsi Allah
sampaikan “Kalau bukan karenamu, tidak
akan Kuciptakan alam semesta ini” .
Al-Qur’an
menegaskan unsur-unsur manusia sebagai makhluk jasmani (material);
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan”. (QS.
al-Qashash: 77)
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.( QS.
al-A’raf: 31)
Manusia
tersusun dari organ-organ fisik sebagaimana hewan, artinya jasmani merupakan
salah satu esensi manusia[11],
dalam hakekat manusia lanjut Ahmad Tafsir salah satu aspek terpentingnya adalah
akal, yang dalam al-Qur’an disebut dalam berbagai kosa kata untuk mewakili
konsep akal, diantaranya kata nazara,
tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, aqala. Selanjutnya Merujuk
pada Abdul Fattah Jalal, Kata aqala dengan berbagai turunannya dalam al-Qur’an
banyak memakai bentuk fi’ilnya, mengindikasikan pada proses berpikirnya bukan
bentuk/bendanya, terdapat pada 49 tempat, hal ini mempertegas bahwa
akal/berpikir adalah salah satu unsur manusia hakiki[12]. selain dua unsur hakikat manusia adalah
roh atau rohani, Aspek rohaniyah ini menjadi penentu kualitas dan kemuliaannya,
karena kedua aspek yang lain – jasmani dan akal sangat ditentukan unsur
ruhaniyahnya. Kehilangan ruhaniyahnya manusia sama dengan binatang atau bahkan
lebih rendah dari hewan
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai”. (QS.
al-A’raf: 179).
b)
Manusia itu Basyar, Insan dan Nas
Sejak awal manusia diciptakan dengan segala
kelebihan dan kesempurnaan bentuk dan kemampuaannya dibandingkan dengan makhluk
– makhluk ciptaan lainnya sebagaimana firman-Nya ;
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya”. (QS. At-Tin : 4)
Namun demikian, al-Qur’an (Islam) menempatkan
manusia pada dua sisi yang berbeda yang saling tarik menarik. Disatu sisi
manusia dinobatkan sebagai khalifah dengan ketinggian derajat (kelebihan) yang
diberikan Allah Kepadanya dibandingkan makhluk lain, yang dengan kapabelitasnya
itu manusia mampu menundukkan alam (taskhir). Secara kasat mata manusia dan
binatang sama–sama mempunyai otak dan indera, perbedaannya terletak pada peran
dan fungsi keduanya, pada binatang keduanya mampu membentuk persepsi sendiri,
sedangkan pada manusia mampu membentuk persepsi yang dapat diuji coba untuk
memastikan validitas hepotesisnya[13].
Sehingga penggolongan manusia sebagai hewan yang berakal hanyalah sebuah
statemen yang penuh kesia-siaan dan cenderung berasumsi pasif- materialis yang
jauh dari nilai-nilai spiritual. Hal ini dipertegas oleh Abu Al-Ainain bahwa
manusia memang bukan hewan dan pernyataan itu (manusia sebagai hewan yang
berakal) mengingkari kesempurnaan dan kelebihan manusia sebagai makhluk bahkan
lebih jauh bertentangan dengan dasar asasi yang ditegaskan al-Qur’an[14].
Oleh karena itu, tidak berlebihan manusia
ditempatkan sedemikian terhormat, sebab potensi dan bentuk yang dimilikinya
lebih unggul dari makhluk lain bahkan dengan malaikat sekalipun (Ahsani Taqwim). Namun demikian kedudukan terhormat tersebut bisa
merosot ketempat paling rendah dibandingkan makhluk terendah sekalipun (QS. Al-A’rof : 179).
M. Quraisy Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an”
merujuk manusia dengan tiga kunci; pertama, Al-Insan, seakar dengan kata ins,
naas, atau unaas yang berarti harmoni dan tampak. Yang dalam al-Qur’an kata
tersebut merujuk pada manusia dengan totalitas sisi hidupnya (jiwa-raga),
sehingga perbedaan manusia dengan manusia lainnya lebih diakumulasikan oleh
keadaan fisik, mental dan kecerdasannya[15].
Al-Insan disebut paling banyak didalam al-Qur’an 65
kali, yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini semakin mengokohkan
bahwa manusia sebagai makhluk social sebagaimana disebut para ahli. Nampaknya
keberhasilan manusia terletak pada bagaimana dia menempatkan dirinya
ditengah-tengah masyarakatnya. Dan sebagai makhluk yang selalu berinteraksi
dengan individu lainnya memerlukan kedewasaan sikap yang tercermin dalam
tingkah laku.
Secara umum kecerdasan manusia dapat dilihat pada
kisah Adam as. Ia dianugerahi kemampuan menyebutkan nama- nama benda berikut
fungsi-fungsinya, pengalaman hidup disurga serta mengalami hal pahit dirayu
iblis – setan disamping pula banyak mendapat petunjuk tentang nilai-nilai
keagamaan. Sementara Masduki memberikan pengertian Al-Insan dengan asumsi yang
sedikit berbeda dilihat dari segi penampakannya sebagai satu-satunya makhluk
istimewa dalam pandangan penciptanya (kholiq). Baik secara moral maupun spiritual. Lain lagi
dengan pandangan jalaluddin Rahmat membagi pengertian arti kata Al-Insan menjadi empat kategori :
Pertama, manusia dipandang sebagai makhluk unggulan
dengan kualitas ahsani taqwim (kesempurnaan bentuk dan potensinya) sebagai
pengemban tugas dibumi.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya”. (QS. At-Tin: 5).
Kedua, manusia sebagai pengemban amanah.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh” (QS. Al-Ahzab :72).
Ketiga, manusia yang berilmu pengetahuan
“Mengajarnya pandai berbicara. (QS. Al-Rahman: 4).
Keempat, makhluk pengabdi dan sekaligus berpotensi
menjadi makhluk pengingkar[16].
Hal ini lanjut Abdul Mujib dan Yusuf,
kata Insan senantiasa merujuk pada keistimewaan manusia sebagai makhluk psikis
sekaligus makhluk pisik dengan potensi dasar fitroh akal dan kalbu, dengan
perpaduan tersebut akan memberikan kemampuan dalam mengemban amanah Allah
dibumi[17].
Berbagai pendapat diatas, mempunyai cara pandang
yang sama dalam menafsirkan kedudukan atau posisi manusia. Kata Insan mempunyai
makna multi konotatif (jasmani dan rohani) kendati dengan perspektif dan
konotasi yang sedikit berbeda, karena disatu pihak berangkat dari sisi
etimologis (arti kata) sedangkan pendapat yang lain lebih menekankan pada
konfigurasi manusia sebagai sebagai makhluk kasat mata dengan berbagai beban
moral yang diembannya. Yang menjadi poin
bahwa potensi perilaku baik yang dimiliki manusia selalu berbanding lurus
dengan potensi negatifnya, akan tetapi daya tarik menarik antara kedua potensi
tersebut lebih bermuatan adhesi dari pada kohesinya. Artinya lebih kuat potensi
kedua dari pada yang pertama sehingga dalam hal ini upaya pemeliharaan dan
antisipasi serius sangat dibutuhkan[18]. Al-Basyar yang berarti penampakan yang
berkaitan erat dengan unsur material manusia, karenanya secara otomatis ia
tunduk kepada taqdir Allah dialam semesta[19].
Penampakan sesuatu yang lebih baik dan indah dari kata turunannya basyara yang
berarti kulit. Manusia disebut basyara karena kulitnya yang jelas terlihat.
Istilah basyar digunakan sebanyak 27 kali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk
aspek hidup manusia dari segi lahiriyahnya serta persamaan posisinya dengan
manusia lain.
Kata ini diklasifikasikan sebagai idiom dari proses
kejadian manusia sampai dewasa. Kedewasaan yang menjadikannya mampu mengemban
amanah/ tanggungjawab dan untuk berhubungan seks. (QS. Al-Baqarah: 187)[20].
Dalam pengertian tersebut manusia beraliansi serupa
dengan makna musayyar terhadap sunnatullah, tapi masih terkait dengan makna
insan dalam dirinya yang mengandung unsur ruhiyah yang membawanya memiliki
kebebasan untuk melepaskan diri dari konsekwensi basyar itu sendiri, maka
jadilah ia muhayyar dengan muhayyar ini pula manusia dapat terjerumus dalam
kehinaan dan kedhaliman (asfala
safilin – balhum adhal).
Sehingga perbedaan harkat dan martabat antara
manusia terdeteksi secara reperesentatif pada pengembangan iman, dan ilmu yang
berbuah amal sholeh.[21]
Pengertian ketiga Bani Adam lebih dikaitkan dengan
eksistensi Adam sebagai makhluk biologis serta makhluk religius – intelektual.
Dalam perspektif ini Adam tidak hanya diproyeksi menurunkan dan atau mewariskan
salah satu sisi kemanusiaannya. Namun semua sisi kemenusiaan yang melekat
padanya, baik sebagai al-Insan dan al-Basyar, bahkan tanggungjawab yang sama
dalam menjalani hidup dan kehidupannya sebagai khalifah dan Abdullah dimuka bumi
ini.
c)
Istilah dan Konsep Fitroh Manusia
Kata Fitrah merupakan rangkuman dari kelebihan,
keutamaan dan keunggulan manusia dari makhluk lainnya. Secara bahasa kata fitrah berasal dari kata fathara yang berarti menjadikan, kata tersebut berasal
dari kata al-fathr yang berarti belahan, atau pecahan, kesucian, bakat atau
tabiat. Al-Qur’an menyebut kata fitrah dalam berbagai bentuknya sebanyak 28
kali pada 18 surat berbeda[22], secara umum pemaknaan kata fitrah lanjut Arifuddin
Arif adalah pertama dalam makna Diin
Hanif, Qayyim (QS. Ar-Rum:30), QS. al-A’raaf:172). Kedua, fitrah dalam arti suci yaitu kondisi netral. Artinya
Allah tidak serta merta menjadikan manusia sebagai orang muslim/beriman
kepada-Nya, oleh karenanya ia membutuhkan proses pengalaman pendidikan dan
ideologinya.[23] Ketiga, dalam arti potensi dasar manusia. H.M.
Arifin mengartikan fitrah sebagai kemampuan berpikir manusia dimana rasio atau
intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya.[24] Dengan potensi dasar tersebut, Abul A’la
Al-Maududi, sampaikan bahwa manusia telah dibentuk oleh Tuhan dalam 2 (dua)
aspek kehidupannya dalam 2 (dua) suasana kegiatan yang berbeda. Pertama, ia
berada didalam suasana yang menyeluruh diatur oleh hokum Tuhannya. Kedua,
manusia telah dianugerahi kemampuan akal dan kecerdasan.[25] Namun demikian, meskipun manusia diberi kemampuan
bebas berkehendak (free
will) dan dapat
mengarahkan perbuatannya sendiri, namun pada hakekatnya ia dilahirkan sebagai seorang
muslim artinya segala gerak geriknya cenderung berserah diri kepada Khaliknya.
d)
Manusia Kelemahan dan
kelebihannya
Fazlur Rahman sampaikan kelemahan manusia yang
paling mendasar menurut al-Qur’an adalah lemah (dha’if) dan
kesempitan pikiran (qathr), karena kepicikan tersebut manusia bersifat terburu
nafsu, panik, dan tidak mengetahui akibat jangka panjang dari reaksi-reaksi
yang dilakukannya
“Sesungguhnya
manusia diciptakan denga sifat yang terburu nafsu” (QS. al-Anbiya: 37),
dan
sebab kergesa-gesaan ini manusia menjadi sombong dan berputus asa beserta sifat
lain sebagai turunan sifat dhaif[26].
M.
Afif Hasan[27]
menyebutkan diantara kekurangan manusia;
1. Lemah
“Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”(QS. al-Nisa’: 28).
2. Nakal,
“Dan
apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring,
duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia
(kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa
kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah
orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka
kerjakan.” (QS. Yunus: 12).
3. Sombong dan cenderung tidak
bersyukur
“Dan
apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru
kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan Kamu ke daratan, kamu berpaling.
Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.”(QS. al-Isra’: 67).
“Sesungguhnya
manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya,”QS.
al-Aadiyaat: 6).
4.
Cenderung putus asa
“Dan
jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian
rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak
berterima kasih.”(QS. Hud: 9).
5.
Suka membantah
“Dia
telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang
nyata.”(QS. an-Nahl: 4),
“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi
bagi manusia dalam Al Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah
makhluk yang paling banyak membantah.”(QS.al-Kahfi: 54).
6. Tergesa-gesa
“Dan
manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah
manusia bersifat tergesa-gesa.”(QS. al-Isra’: 11)
7. Pelit
“Katakanlah:
"Kalau seandainya kamu menguasai khazanah rahmat Tuhanku, niscaya khazanah
itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya". Dan adalah manusia itu
sangat kikir.”(QS. al-Isra’: 10).
8. Suka mengeluh
“Apabila
ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,”(QS. al-Ma’aru: 20).
9. Cenderung maksiat
“Bahkan
manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus.”(QS.al-Qiyaamah:5)
“Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas”.(QS. al-‘Alaq: 6).
10. Aniaya dan bodoh
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat dzalim dan amat bodoh,”(QS. al-Ahzab: 72).
Konsekwensi
dari kelemahan ini lanjut Fazlur Rahman adalah lumpuhnya moral individu dan
masyarakat[28].
Selain
kelemahan yang dimiliki manusia memiliki kelebihan dan karena kelebihan
tersebut Allah memberikan kepercayaan kepadanya sebagai wakil-Nya dibumi ini.
Dalam bukunya A. Tafsir[29], menyebutkan 6 (enam)
kelebihan manusia ;
1. Dijadikan Allah Sebagai Khalifah dibumi
“Dan
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".”(QS.
al-Baqarah: 30).
2. Dimuliakan Allah dan diberi kelebihan yang tidak dimiliki
oleh makhluk lain
“Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan”.(QS. al-Isra’: 70).
3. Diberi indra dan akal
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”(QS. an-Nahl: 78)
“Dan
mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan
(tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di
antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.”, QS.
ar-Ruum: 8).
4. Tempat tinggal yang lebih baik dibandingkan makhluk lain dan
diberi rezeki
5. Memiliki proses regenerasi yang teratur melalui perkawinan.
6. Diberi daya berusaha dan usahanya dihargai
“sedang dia berada di ufuk yang
tinggi.”(QS. an-Najm: 7).
e)
Tujuan hidup manusia
Allah
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah
(pengabdian) tidak dimaksudkan dalam pengertian sempit, tetapi dalam pengertia
luas, yaitu, nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Singkatnya tujuan hidup adalah beribadah
kepada Allah dalam segala tingkah lakunya
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.”(QS, Adz-Dzariyaat:56)., ” Katakanlah: "Sesungguhnya
shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,”(QS.
al-An’am: 162).
Tujuan
hidup ini pada gilirannya bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu
dasar dan tujuan memelihara kehidupan manusia sejalan dengan tujuan hidup yang
hendak ditempuh seorang muslim[30].
f)
Kedudukan Manusia
Kedudukan
manusia menurut al-Qur’an adalah khalifah Allah dibumi. Kata khalifah dalam
al-Qur’an disebut sebanyak 10 (sepuluh) kali, diantaranya
“Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui".(QS. al-Baqarah : 30).
Banyak pengertian yang dimaksud al-Qur’an
dengan kata ini, diantaranya adalah mereka yang datang kemudian, sesudah kamu,
yang diperselisihkan, silih berganti berselisih dan penggantian. Namun
demikian, pengertian khalifah dalam kedudukan manusia adalah pengganti. Jadi
khalifah Allah pengganti Allah.[31] Ahmad
Hasan Firhat, membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk;
pertama, Khalifah kauniyah artinya
manusia berkuasa penuh terhadap alam semesta dan atas kekuasaannya tersebut ia
mempunyai kebebasan penuh dengan segala potensi dan kekuatannya untuk
memamfaatkan alam semesta tanpa kendali dan control, sehingga cenderung berbuat
kerusakan. Hal inilah kekuatiran malaiat tatkala Allah menginformasikan hendak hendak
menjadikan manusia sebagai khalifah dibumi (QS.
al-Baqarah: 30). Kedua, Khalifah
syari’at yang secara khusus ditujukan kepada orang-orang yang memiliki
iman, yang dengan imannya tersebut ia mampu menjadi pilar dan kontrol dalam
mengatur mekanisme alam semesta sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah
digariskan lewat ajaran-Nya, sehingga manusia senantiasa berbuat kebaikan dan
memamfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia demi terciptanya
kemakmuran dibumi[32].
g)
Tugas Manusia
Tugas
manusia adalah memakmurkan bumi dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan
dalam dirinya.
“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi
dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang
sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan
telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang
telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka
dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku
dzalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku dzalim kepada diri
sendiri.”(QS.
ar-Ruum: 9)., “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. shaleh
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan
selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya.
Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa
hamba-Nya).",(QS. Huud: 61).
Dengan
kata lain, manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat
Tuhan menurut perintah dan petunjuk-Nya. Sifat-sifat Tuhan ini dalam bahasa
agama biasa disebut al-Asma’ al-Husna yang berjumlah 99 (Sembilan puluh Sembilan).[33]
Sebagai
hamba (muaddib) manusia dituntut
melaksanakan ibadah mahdhah sekaligus segala aktifitas yang bernilai baik dalam
kehidupan manusia yang dilakukan dengan tujuan pendekatan diri kepada sang
kholiq. Manusia juga dituntut untuk mampu merefleksikan sifat-sifat Tuhan
kedalam dirinya dan menjadikan sifat-sifat itu aktual dalam berbagai
tindakannya. Pengupayaan menarik sifat-sifat Tuhan ini kedalam dirinya
merupakan suatu keniscayaan dalam pembentukan humanitas muslim, mengingat
sifat-sifat Tuhan dalam hal ini adalah potret dan lambing kebaikan dan
kebajikan yang mesti selalu ditiru dan diupayakan agar ia menjadi sikap diri
menuju aktualisasi diri.
C.
Kesimpulan
Manusia
adalah makhluk multi demensi, siapa manusia kerap kali mengandung arti dan
pengertian beragam. Ia dikategorikan sebagai hewan dengan perbadaan esensialnya
(akal), terkadang ia disebut sebagai
hewan bermasyarakat (Zoon Politicum),
berakal sehat yang mampu berpendapat dan berbicara atas dasar pikirannya,
bahkan ia disebut hewan yang sakit dan selalu gelisah dan bermasalah.
Al-Qur’an
menyebut manusia sebagai al-Basyar, al-Insan dan al-Nas yang menggambarkan
sebagai makhluk organik yang dapat tumbuh dan berkembang seperti makhluk
lainnya. ia adalah makhluk unggulan dengan kualitas bentuk dan potensinya --makhluk
fisik dan psikis-- yang dipandu ruh ilahiyah. Sedimikian manusia sebagai
pengemban amanah yang berilmu pengetahuan, yang dengan ilmunya ia berpotensi
sebagai pengabdi terkait dengan terjaganya unsur rohaniyahnya dan atau ia sebagai
pengingkar apabila unsur rohaniyahnya hilang dan mengantarkannya padan jenis
binatang atau bahkan lebih rendah dari binatang itu sendiri. Disinilah
pendidikan memainkan peranan penting agar kedua unsur tersebut berkembang
secara optimal, harmonis dan seimbang.
Dalam
al-Qur’an diterangkan kedudukannya sebagai khalifah telah diberi beberapa
kemampuan/kelebihan dan kelemahan secara seimbang, dalam artian sama-sama ada.
Apabila manusia mampu mengoptimalkan kelebihannya tersebut ia akan terangkat
kepada derajat/kedudukan tinggi bahkan melebihi malaikat, kelebihan tersebut
adalah : ia dijadikan Allah Sebagai Khalifah dibumi. Dimuliakan Allah dan diberi kelebihan yang tidak dimiliki oleh
makhluk lain. Diberi indra dan akal, sebab akal itulah manusia
mempertanggungjawabkan segala keputusannya. Diberi tempat tinggal yang lebih
baik dibandingkan makhluk lain dan diberi rezeki. Manusia memiliki proses
regenerasi yang teratur melalui perkawinan. Diberi daya berusaha dan usahanya
dihargai. Diberi potensi/fitrah/insting sebagai makhluk sosial. Ia beragama. Mencintai
wanita, anak keturunan dan harta benda. Serta mengetahui yang baik dan yang
tidak baik.
Sedangkan
kekurangan manusia yang bisa menyebabkan ia berada dalam kerugian adalah;
Lemah, nakal, sombong dan cenderung tidak bersyukur, cenderung putus asa, suka membantah, tergesa-gesa, pelit, suka
mengeluh, cenderung maksiat, berbuat aniaya dan bodoh.
Untuk
membangun tingkah laku dimulai dari membangun sikap hati, yaitu kalbu dengan
mempertebal iman dalam model pembelajaran integratif yang memenuhi unsur-unsur
manusia, yaitu jasmani, akal, dan kalbu nsecara proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Hery Noer ; Munzier S, Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Prisma
Agung, 2008
Anwar, Saeful Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi, dan Akisologi. Bandung,
Pustaka Setia, 2007
Arif, Arifuddin Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kultura GP Press Group,
2008
Arifin, H.M. Filsafat
Pendidikan Islam:Jakarta, Bumi Aksara, 1996
Endang, Saifuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya, Bina
Ilmu, 1987
Irfan, Muhammad, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam.
Jakarta, Prisma Agung Insani, 2000
Kertanegara, Mulyadhi Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat
Islam. Bandung, Mizan, 2005
Muhaimin; Mujib Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian filosofis
dan kerangka operasionalnya, Bandung, Triganda Karya, 1993
Mujib, Abdul dan Yusuf Pengantar pendidikan Islam, Jakarta,
Rencana Prenada Media Group, 2006
Rahman, Fazlur Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin. Bandung, Pustaka, 1996
Shihab, Quraisy M., Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Atas
Pelbagai Persoalan Umat. Bandung, Mizan 1998
Suharto, Toto, Filasafat Pendidikan Islam. Jogjakarta, Ar-Ruzz 2011
Tafsir Ahmad, Filsafat
Pendidikan Islam ; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung,
Remaja Rosdakarya, 2010
Tirtarahardja, Umar ; SL. La Sulo Pengantar Pendidikan. Jakarta,Renika Cipta, 2005
[1] Hery Noer Ali dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam (Jakarta, Prisma
Agung, 2008), 115.
[2] Umar Tirtarahardja dan SL. La
Sulo, Pengantar Pendidikan (Jakarta,Renika
Cipta, 2005),1.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam ; Integrasi
Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia (Bandung, Remaja Rosdakarya,
2010), 7.
[4] Ahmad Tafsir Filsafat, 3.
[5] Endang Saifuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya, Bina
Ilmu, 1987), 5.
[6] Abdul Mujib dan Yusuf, Pengantar pendidikan Islam (Jakarta, Rencana Prenada Media Group,
2006),1-2.
[7]
Ahmad Tafsir Filsafat, 8 -14
[8] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi, dan Akisologi (Bandung,
Pustaka Setia, 2007), 177.
[9]
Ibid, 177.
[10] Mulyadhi Kertanegara, Menembus
Batas WaktuPanorama Filsafat Islam (Bandung, Mizan, 2005), 46.
[11] Ahmad Tafsir Filsafat, 16
[12] Ibid, 17
[13] Muhaimin; Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian filosofis
dan kerangka operasionalnya, (Bandung, Triganda Karya, 1993), 33.
[14] Ibid., 34.
[15] M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Atas
Pelbagai Persoalan Umat (Bandung,
Mizan 1998), 278.
[16] Muhammad Irfan, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigm
Pendidikan Islam ( Jakarta, Prisma Agung Insani, 2000),61-63.
[17] Abdul Mujib dan Yusuf Pengantar, 4.
[18] M. Quraisy Shihab, Wawasan, 300.
[19] Muhammad Irfan, Teologi, 63.
[20] M. Quraisy Shihab, Wawasan, 280.
[21] Muhammad Irfan, Teologi,
64.
[22] Arifuddin Arif Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta,
Kultura GP Press Group, 2008), 12.
[23] H.M. Arifin Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), 160.
[24] Ibid, 158.
[25] H.M. Arifin Filsafat, 158. Pengertian Fitrah menurut Ibnu Taimiyah adalah ; pertama
fitrah al-Gharizah fitrah ini dimaknai dengan fitrah inheren dalam diri manusia
yang memberikan daya akal (Quwwah al-aql) yang berguna mengembangkan potensi
dasar manusia. Kedua, Fitrah al-Munazzalah adalah fitrah luar yang masuk dalam
diri manusia, fitah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah yang digunakan
sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gharizah. lihat, Arifuddin Arif dalam Pengantar Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta, Kultura GP Press Group, 2008),15
[26] Fazlur Rahman Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung,
Pustaka, 1996), 38 - 42
[27] M. Afif Hasan Filsafat Pendidikan Islam; Membangun Basis
Filosoi Pendidikan Profetik (Malang, Uneversitas Negeri Malang, 2011), 45.
[28] Fazlur Rahman, Tema AL-Qur’an, 42.
[29] Ahmad Tafsir, Filsafat, 21.
[30] Toto Suharto, Filasafat Pendidikan Islam (Jogjakarta,
Ar-Ruzz 2011), 83
[31] Ibid, 84
[32] Abdul Mujib dan Yusuf Pengantar, 11.
[33] Ibid, 85.
sangat lengkap jawaban nya!pokoknya top markotop deh :D
BalasHapus