Sabtu, 27 Oktober 2012

PANDANGAN ISLAM TERHADAP MANUSIA

Abstrak :

Manusia diklasifikasikan sebagai hewan yang berakal, dan akallah yang membedakannya dengan makhluk lain (hewan). Manusia adalah makhluk biologis sekaligus psikologis. Al-Qur’an tidak pernah menggolongkan manusia sebagai hewan, ia disebut sebagai basyar, Insan, dan nas dalam arti makhluk jasmani, rohani (akal, Nafsu hati) dengan segala sifat dan karakteristiknya. Manusia ditempatkan pada kedudukan tinggi yaitu sebagai wakil Allah (khalifah), untuk kepentingan tersebut manusa dibekali kemampuan beradatasi, bersosialisasi, dan berkreasi serta mempunyai kemampuaan membaca dan memikirkan segala sesuatu disekelilingnya sekaligus mengambil pelajaran dari pejalanan hidupnya. Dengan segala potensi yang yang ada ia dapat menentukan pilihan hidup dan mempertanggungjawabkan pilihannya tersebut. Sebagai abdi manusia harus mengorientasikan hidup dan kehidupannya kepada Allah, seiring dengan kecenderungan dirinya sebagai makhluk beragama, kecenderungan ini sebagai fitroh sehingga, segala bentuk pengingkaran merupakan bentuk kerugian dan penganiayaan terhadap dirinya serta menjatuhkannya ketempat terendah.

Kata-kata Kunci : Makhluk, Manusia, fitroh, sosisalisasi, potensi, beragama, karakteristik, Khalifah, Abdun, malaikat, jasmani rohani, biologis, psikologis, abdi/hamba.   


A.    Pendahuluan
Merupakan suatu keniscayaan bahwa maju mundurnya suatu negara tergantung pada penguasaan ilmu pengetahuan masyarakatnya dan pengetahuan itu bernilai positif jika selaras dengan kondisi, karakter dan  kapasitas  subyeknya, yaitu manusia. Pendidikan merupakan suatu proses penempaan manusia untuk membangun suatu peradaban.
Manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan dengan kapasitas potensi yang dimiliki menjadi perhatian pokok perencanaan dan pelaksanaan dari sebuah pendidikan, dan pendidikan yang baik dan benar akan mampu mempertahankan dan mengembangkan potensi obyek didik secara optimal dan proporsional. Pendidikan yang baik dan benar sebagaimana dimaksud adalah pendidikan yang mampu dibangun atas dasar prinsip kemanusiaan/pemahaman pada tabiat manusia menjadi syarat sempurnanya pendidikan[1]. Hal ini disebabkan potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan menjadi manusia[2]. Artinya pendidikan benar-benar menjadi suatu pendidikan apabila ia dirancang dan dilaksanakan atas dasar potensi/karakteristik/tabiat manusia sejalan dengan fitrohnya. Karena belajar yang sebenarnya adalah belajar tentang manusia demikian Socrates dalam Ahmad Tafsir[3]. Bagaimana pandangan Islam tentang manusia, siapakah manusia, apa Tujuan , kedudukan dan tugasnya dalam perjalanan hidup dan kehidupannya?.
B.    Hakekat Manusia
Pandangan tentang hakekat manusia sangat beragam, ini dapat dimafhumi bersama karena adanya perbedaan sudut pandang, latar belakang sosial, budaya dan obyek material kajiannya.
Socrates menyebut manusia sebagai hewan yang bermasyarakat (Zoon Politicum), Max Scheller menganggap manusia adalah hewan yang sakit (Das Kranke Pier), senada dengan Drijakara yang menyebutkan manusia yang selalu gelisah dan bermasalah[4]. Lebih jauh lagi Aristoteles mendifinisikan manusia sebagai binatang berakal sehat yang mampu berpendapat dan berbicara didasarkan pikirannya (The animal than reasons), disamping binatang berpolitik (Zoon political) dan binatang social (Sosial animal). Harold H. Titus menempatkan manusia sebagai organisme hewani yang berkemampuan mempelajari diri sendiri serta mampu menginterpretasi bentuk-bentuk hidup sekaligus mampu menyelidiki makna eksistensi insaninya[5].
Sebagaimana dikutip Abdul Mujib dan Yusuf, Sastraprateja menyatakan manusia adalah makhluk yang historis, setiap perjalanan dan peristiwa hidupnya merupakan sekumpulan informasi/data penting tentang dirinya sendiri. Lebih lanjut ia katakana, bahwa hakekat manusia hanya dapat dilihat /diamati dalam perjalanan dan pengalaman hidupnya dalam rangkaian anthrpological constants yaitu, dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Rangkaian tersebut ada enam bagian yang saling terkait yaitu, pertama, relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis. Kedua, ketertiban dengan sesame. Ketiga, keterikatan dengan struktur social dan institusional. Keempat, ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat. Kelima, hubungan timbal balik antara teori dan praktek. Keenam, kesadaran religius dan para pemeluk agama[6].  
Diantara pandangan tersebut, bertumpu pada sisi manusia, sebagai makhluk biologis, sosial, dan psikologis. Hal tersebut, setidaknya telah menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk multideminsional dengan beragam keunikan yang melekat padanya. 
a)    Manusia Mahkluk Jasmani dan Rohani
Manusia berjasad sama dengan makhluk lainnya (hewan). Tapi, ada perbedaan prinsip, sedemikian prinsip tersebut menjadi hakekat dirinya,  Socrates (470 – 399) Sebagian hakekat manusia ialah makhluk yang ingin tahu dan untuk itu harus ada yang membantunya bertindak sebagai bidan yang membantu keluar dari rahimnya. Plato mengatakan hakekat manusia itu ada dua, yaitu; rasio dan kesenangan dan keduanya saling bertentangan dan tarik menarik, lebih jauh ia sampaikan  jiwa manusia terdiri dari tiga elemen, yaitu roh, nafsu dan akal. Rene Descartes menganggap akal adalah menempati posisi sentral sebagai hakekat manusia. Thomas Hobbes hakekat manusia adalah kontrak social oleh sebab itu setiap manusia harus  menghargai dan menjaga hak orang lain. John Locke, (1623 – 1704), dengan teori tabularasanya mengatakan hal terpenting dan sengat berpengaruh pada kehidupan manusia adalah pengalaman (faktor eksternal). Immanuel Kant (1724 1804) manusia adalah makhluk rasional yang bebas bertindak berdasarkan alasan moral[7]. Dalam pandangannya segala aktifitas manusia pasti berdasarkan alasan-alasan tertentu.   
Imam al-Ghazali dalam Saeful Anwar[8], manusia adalah manusia yang terbentuk dari jasad dan roh dengan potensi dan naluri tertentu, yang berwujud sebagai identitas ketunggalan dalam mutlaknya kebersamaan dan berfungsi sebagai abdi sekaligus khalifah dimuka bumi. Ia diciptakan pada posisi diantara hewan dan malaikat dan mengandung sifat-sifat kehewanan, kesetanan, kemalaikatan, dan ketuhanan. Sedangkan hakekat manusia adalah rohnya sedangkan badan merupakan kendaraannya sedangkan potensi-potensi dan naluri-nalurinya merupakan alat kelengkapannya  yang tunduk pada akal komfulsif. Dan kesempurnaan manusia terletak pada akalnya dan menangkap esensi segala sesuatu sesuai realitasnya[9].
Dari pengertian tersebut manusia adalah makhluk yang multi demensi dengan segala potensi dan daya yang dimilikinya ia mampu medesain hidupnya sendiri, Mulyadhi Kartanegara Lebih jauh katakan manusia adalah mikrokosmos yang didalamnya terkandung segala unsur yang ada dalam kosmos,[10]. Artinya, manusia adalah puncak dari segala ciptaan, dalam hadits Qudsi Allah sampaikan “Kalau bukan karenamu, tidak akan Kuciptakan alam semesta ini” .
Al-Qur’an menegaskan unsur-unsur manusia sebagai makhluk jasmani (material);
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. al-Qashash: 77)

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.( QS. al-A’raf: 31)

Manusia tersusun dari organ-organ fisik sebagaimana hewan, artinya jasmani merupakan salah satu esensi manusia[11], dalam hakekat manusia lanjut Ahmad Tafsir salah satu aspek terpentingnya adalah akal, yang dalam al-Qur’an disebut dalam berbagai kosa kata untuk mewakili konsep akal, diantaranya kata nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, aqala. Selanjutnya Merujuk pada Abdul Fattah Jalal, Kata aqala dengan berbagai turunannya dalam al-Qur’an banyak memakai bentuk fi’ilnya, mengindikasikan pada proses berpikirnya bukan bentuk/bendanya, terdapat pada 49 tempat, hal ini mempertegas bahwa akal/berpikir adalah salah satu unsur manusia hakiki[12]. selain dua unsur hakikat manusia adalah roh atau rohani, Aspek rohaniyah ini menjadi penentu kualitas dan kemuliaannya, karena kedua aspek yang lain – jasmani dan akal sangat ditentukan unsur ruhaniyahnya. Kehilangan ruhaniyahnya manusia sama dengan binatang atau bahkan lebih rendah dari hewan
 Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. al-A’raf: 179).

b)    Manusia itu Basyar, Insan dan Nas
Sejak awal manusia diciptakan dengan segala kelebihan dan kesempurnaan bentuk dan kemampuaannya dibandingkan dengan makhluk – makhluk ciptaan lainnya sebagaimana firman-Nya ;
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. At-Tin : 4)

Namun demikian, al-Qur’an (Islam) menempatkan manusia pada dua sisi yang berbeda yang saling tarik menarik. Disatu sisi manusia dinobatkan sebagai khalifah dengan ketinggian derajat (kelebihan) yang diberikan Allah Kepadanya dibandingkan makhluk lain, yang dengan kapabelitasnya itu manusia mampu menundukkan alam (taskhir). Secara kasat mata manusia dan binatang sama–sama mempunyai otak dan indera, perbedaannya terletak pada peran dan fungsi keduanya, pada binatang keduanya mampu membentuk persepsi sendiri, sedangkan pada manusia mampu membentuk persepsi yang dapat diuji coba untuk memastikan validitas hepotesisnya[13]. Sehingga penggolongan manusia sebagai hewan yang berakal hanyalah sebuah statemen yang penuh kesia-siaan dan cenderung berasumsi pasif- materialis yang jauh dari nilai-nilai spiritual. Hal ini dipertegas oleh Abu Al-Ainain bahwa manusia memang bukan hewan dan pernyataan itu (manusia sebagai hewan yang berakal) mengingkari kesempurnaan dan kelebihan manusia sebagai makhluk bahkan lebih jauh bertentangan dengan dasar asasi yang ditegaskan al-Qur’an[14].
Oleh karena itu, tidak berlebihan manusia ditempatkan sedemikian terhormat, sebab potensi dan bentuk yang dimilikinya lebih unggul dari makhluk lain bahkan dengan malaikat sekalipun (Ahsani Taqwim). Namun demikian kedudukan terhormat tersebut bisa merosot ketempat paling rendah dibandingkan makhluk terendah sekalipun (QS. Al-A’rof : 179).
M. Quraisy Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an” merujuk manusia dengan tiga kunci; pertama, Al-Insan, seakar dengan kata ins, naas, atau unaas yang berarti harmoni dan tampak. Yang dalam al-Qur’an kata tersebut merujuk pada manusia dengan totalitas sisi hidupnya (jiwa-raga), sehingga perbedaan manusia dengan manusia lainnya lebih diakumulasikan oleh keadaan fisik, mental dan kecerdasannya[15].
Al-Insan disebut paling banyak didalam al-Qur’an 65 kali, yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini semakin mengokohkan bahwa manusia sebagai makhluk social sebagaimana disebut para ahli. Nampaknya keberhasilan manusia terletak pada bagaimana dia menempatkan dirinya ditengah-tengah masyarakatnya. Dan sebagai makhluk yang selalu berinteraksi dengan individu lainnya memerlukan kedewasaan sikap yang tercermin dalam tingkah laku.  
Secara umum kecerdasan manusia dapat dilihat pada kisah Adam as. Ia dianugerahi kemampuan menyebutkan nama- nama benda berikut fungsi-fungsinya, pengalaman hidup disurga serta mengalami hal pahit dirayu iblis – setan disamping pula banyak mendapat petunjuk tentang nilai-nilai keagamaan. Sementara Masduki memberikan pengertian Al-Insan dengan asumsi yang sedikit berbeda dilihat dari segi penampakannya sebagai satu-satunya makhluk istimewa dalam pandangan penciptanya (kholiq). Baik secara moral maupun spiritual. Lain lagi dengan pandangan jalaluddin Rahmat membagi pengertian  arti kata Al-Insan menjadi empat kategori :
Pertama, manusia dipandang sebagai makhluk unggulan dengan kualitas ahsani taqwim (kesempurnaan bentuk dan potensinya) sebagai pengemban tugas dibumi.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. At-Tin: 5).

Kedua, manusia sebagai pengemban amanah.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh” (QS. Al-Ahzab :72).

Ketiga, manusia yang berilmu pengetahuan

“Mengajarnya pandai berbicara. (QS. Al-Rahman: 4).

Keempat, makhluk pengabdi dan sekaligus berpotensi menjadi makhluk pengingkar[16].  Hal ini lanjut Abdul Mujib dan Yusuf, kata Insan senantiasa merujuk pada keistimewaan manusia sebagai makhluk psikis sekaligus makhluk pisik dengan potensi dasar fitroh akal dan kalbu, dengan perpaduan tersebut akan memberikan kemampuan dalam mengemban amanah Allah dibumi[17].
Berbagai pendapat diatas, mempunyai cara pandang yang sama dalam menafsirkan kedudukan atau posisi manusia. Kata Insan mempunyai makna multi konotatif (jasmani dan rohani) kendati dengan perspektif dan konotasi yang sedikit berbeda, karena disatu pihak berangkat dari sisi etimologis (arti kata) sedangkan pendapat yang lain lebih menekankan pada konfigurasi manusia sebagai sebagai makhluk kasat mata dengan berbagai beban moral yang diembannya. Yang menjadi  poin bahwa potensi perilaku baik yang dimiliki manusia selalu berbanding lurus dengan potensi negatifnya, akan tetapi daya tarik menarik antara kedua potensi tersebut lebih bermuatan adhesi dari pada kohesinya. Artinya lebih kuat potensi kedua dari pada yang pertama sehingga dalam hal ini upaya pemeliharaan dan antisipasi serius sangat dibutuhkan[18].  Al-Basyar yang berarti penampakan yang berkaitan erat dengan unsur material manusia, karenanya secara otomatis ia tunduk kepada taqdir Allah dialam semesta[19]. Penampakan sesuatu yang lebih baik dan indah dari kata turunannya basyara yang berarti kulit. Manusia disebut basyara karena kulitnya yang jelas terlihat. Istilah basyar digunakan sebanyak 27 kali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk aspek hidup manusia dari segi lahiriyahnya serta persamaan posisinya dengan manusia lain.
Kata ini diklasifikasikan sebagai idiom dari proses kejadian manusia sampai dewasa. Kedewasaan yang menjadikannya mampu mengemban amanah/ tanggungjawab dan untuk berhubungan seks. (QS. Al-Baqarah: 187)[20].
Dalam pengertian tersebut manusia beraliansi serupa dengan makna musayyar terhadap sunnatullah, tapi masih terkait dengan makna insan dalam dirinya yang mengandung unsur ruhiyah yang membawanya memiliki kebebasan untuk melepaskan diri dari konsekwensi basyar itu sendiri, maka jadilah ia muhayyar dengan muhayyar ini pula manusia dapat terjerumus dalam kehinaan dan kedhaliman (asfala safilin – balhum adhal).
Sehingga perbedaan harkat dan martabat antara manusia terdeteksi secara reperesentatif pada pengembangan iman, dan ilmu yang berbuah amal sholeh.[21]
Pengertian ketiga Bani Adam lebih dikaitkan dengan eksistensi Adam sebagai makhluk biologis serta makhluk religius – intelektual. Dalam perspektif ini Adam tidak hanya diproyeksi menurunkan dan atau mewariskan salah satu sisi kemanusiaannya. Namun semua sisi kemenusiaan yang melekat padanya, baik sebagai al-Insan dan al-Basyar, bahkan tanggungjawab yang sama dalam menjalani hidup dan kehidupannya sebagai khalifah dan Abdullah dimuka bumi ini.
c)    Istilah dan Konsep Fitroh Manusia
Kata Fitrah merupakan rangkuman dari kelebihan, keutamaan dan keunggulan manusia dari makhluk lainnya.  Secara bahasa kata fitrah berasal dari kata fathara yang berarti menjadikan, kata tersebut berasal dari kata al-fathr yang berarti belahan, atau pecahan, kesucian, bakat atau tabiat. Al-Qur’an menyebut kata fitrah dalam berbagai bentuknya sebanyak 28 kali pada 18 surat berbeda[22], secara umum pemaknaan kata fitrah lanjut Arifuddin Arif adalah pertama dalam makna Diin Hanif, Qayyim (QS. Ar-Rum:30), QS. al-A’raaf:172). Kedua, fitrah dalam arti suci yaitu kondisi netral. Artinya Allah tidak serta merta menjadikan manusia sebagai orang muslim/beriman kepada-Nya, oleh karenanya ia membutuhkan proses pengalaman pendidikan dan ideologinya.[23] Ketiga, dalam arti potensi dasar manusia. H.M. Arifin mengartikan fitrah sebagai kemampuan berpikir manusia dimana rasio atau intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya.[24] Dengan potensi dasar tersebut, Abul A’la Al-Maududi, sampaikan bahwa manusia telah dibentuk oleh Tuhan dalam 2 (dua) aspek kehidupannya dalam 2 (dua) suasana kegiatan yang berbeda. Pertama, ia berada didalam suasana yang menyeluruh diatur oleh hokum Tuhannya. Kedua, manusia telah dianugerahi kemampuan akal dan kecerdasan.[25] Namun demikian, meskipun manusia diberi kemampuan bebas berkehendak (free will) dan dapat mengarahkan perbuatannya sendiri, namun pada hakekatnya ia dilahirkan sebagai seorang muslim artinya segala gerak geriknya cenderung berserah diri kepada Khaliknya.
d)     Manusia Kelemahan dan kelebihannya
Fazlur Rahman sampaikan kelemahan manusia yang paling mendasar menurut al-Qur’an adalah lemah (dha’if) dan kesempitan pikiran (qathr), karena kepicikan tersebut manusia bersifat terburu nafsu, panik, dan tidak mengetahui akibat jangka panjang dari reaksi-reaksi yang dilakukannya
“Sesungguhnya manusia diciptakan denga sifat yang terburu nafsu” (QS. al-Anbiya: 37),

dan sebab kergesa-gesaan ini manusia menjadi sombong dan berputus asa beserta sifat lain sebagai turunan sifat dhaif[26].
M. Afif Hasan[27] menyebutkan diantara kekurangan manusia;
1. Lemah
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.(QS. al-Nisa’: 28).

2. Nakal,
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 12).



3. Sombong dan cenderung tidak bersyukur
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan Kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.”(QS. al-Isra’: 67).
“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya,”QS. al-Aadiyaat: 6).

4.  Cenderung putus asa
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.”(QS. Hud: 9).

5.  Suka membantah
“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.”(QS. an-Nahl: 4),
 “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.”(QS.al-Kahfi: 54).

6. Tergesa-gesa
“Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”(QS. al-Isra’: 11)

7. Pelit
“Katakanlah: "Kalau seandainya kamu menguasai khazanah rahmat Tuhanku, niscaya khazanah itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya". Dan adalah manusia itu sangat kikir.”(QS. al-Isra’: 10).

8. Suka mengeluh
“Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,”(QS. al-Ma’aru: 20).

9. Cenderung maksiat
“Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus.”(QS.al-Qiyaamah:5)
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas”.(QS. al-‘Alaq: 6).

10.  Aniaya dan bodoh
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh,”(QS. al-Ahzab: 72).

Konsekwensi dari kelemahan ini lanjut Fazlur Rahman adalah lumpuhnya moral individu dan masyarakat[28]. 
Selain kelemahan yang dimiliki manusia memiliki kelebihan dan karena kelebihan tersebut Allah memberikan kepercayaan kepadanya sebagai wakil-Nya dibumi ini. Dalam bukunya A. Tafsir[29], menyebutkan 6 (enam) kelebihan manusia ;
1.     Dijadikan Allah Sebagai Khalifah dibumi
“Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".”(QS. al-Baqarah: 30).

2.     Dimuliakan Allah dan diberi kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.(QS. al-Isra’: 70).

3.     Diberi indra dan akal
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS. an-Nahl: 78)

“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.”, QS. ar-Ruum: 8).

4.     Tempat tinggal yang lebih baik dibandingkan makhluk lain dan diberi rezeki
5.     Memiliki proses regenerasi yang teratur melalui perkawinan.
6.     Diberi daya berusaha dan usahanya dihargai
“sedang dia berada di ufuk yang tinggi.”(QS. an-Najm: 7).
e)    Tujuan hidup manusia
Allah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah (pengabdian) tidak dimaksudkan dalam pengertian sempit, tetapi dalam pengertia luas, yaitu, nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Singkatnya tujuan hidup adalah beribadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”(QS, Adz-Dzariyaat:56)., ” Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,”(QS. al-An’am: 162).

Tujuan hidup ini pada gilirannya bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu dasar dan tujuan memelihara kehidupan manusia sejalan dengan tujuan hidup yang hendak ditempuh seorang muslim[30].
 
f)      Kedudukan Manusia
Kedudukan manusia menurut al-Qur’an adalah khalifah Allah dibumi. Kata khalifah dalam al-Qur’an disebut sebanyak 10 (sepuluh) kali, diantaranya
“Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-Baqarah : 30).

 Banyak pengertian yang dimaksud al-Qur’an dengan kata ini, diantaranya adalah mereka yang datang kemudian, sesudah kamu, yang diperselisihkan, silih berganti berselisih dan penggantian. Namun demikian, pengertian khalifah dalam kedudukan manusia adalah pengganti. Jadi khalifah Allah pengganti Allah.[31] Ahmad Hasan Firhat, membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk; pertama, Khalifah kauniyah artinya manusia berkuasa penuh terhadap alam semesta dan atas kekuasaannya tersebut ia mempunyai kebebasan penuh dengan segala potensi dan kekuatannya untuk memamfaatkan alam semesta tanpa kendali dan control, sehingga cenderung berbuat kerusakan. Hal inilah kekuatiran malaiat tatkala Allah menginformasikan hendak hendak menjadikan manusia sebagai khalifah dibumi (QS. al-Baqarah: 30). Kedua, Khalifah syari’at yang secara khusus ditujukan kepada orang-orang yang memiliki iman, yang dengan imannya tersebut ia mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan lewat ajaran-Nya, sehingga manusia senantiasa berbuat kebaikan dan memamfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia demi terciptanya kemakmuran dibumi[32]. 
g)    Tugas Manusia
Tugas manusia adalah memakmurkan bumi dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya.

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku dzalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku dzalim kepada diri sendiri.(QS. ar-Ruum: 9)., “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).",(QS. Huud: 61).

Dengan kata lain, manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan menurut perintah dan petunjuk-Nya. Sifat-sifat Tuhan ini dalam bahasa agama biasa disebut al-Asma’ al-Husna yang berjumlah 99 (Sembilan puluh Sembilan).[33]
Sebagai hamba (muaddib) manusia dituntut melaksanakan ibadah mahdhah sekaligus segala aktifitas yang bernilai baik dalam kehidupan manusia yang dilakukan dengan tujuan pendekatan diri kepada sang kholiq. Manusia juga dituntut untuk mampu merefleksikan sifat-sifat Tuhan kedalam dirinya dan menjadikan sifat-sifat itu aktual dalam berbagai tindakannya. Pengupayaan menarik sifat-sifat Tuhan ini kedalam dirinya merupakan suatu keniscayaan dalam pembentukan humanitas muslim, mengingat sifat-sifat Tuhan dalam hal ini adalah potret dan lambing kebaikan dan kebajikan yang mesti selalu ditiru dan diupayakan agar ia menjadi sikap diri menuju aktualisasi diri. 
C.    Kesimpulan
Manusia adalah makhluk multi demensi, siapa manusia kerap kali mengandung arti dan pengertian beragam. Ia dikategorikan sebagai hewan dengan perbadaan esensialnya (akal), terkadang ia disebut sebagai hewan bermasyarakat (Zoon Politicum), berakal sehat yang mampu berpendapat dan berbicara atas dasar pikirannya, bahkan ia disebut hewan yang sakit dan selalu gelisah dan bermasalah.
Al-Qur’an menyebut manusia sebagai al-Basyar, al-Insan dan al-Nas yang menggambarkan sebagai makhluk organik yang dapat tumbuh dan berkembang seperti makhluk lainnya. ia adalah makhluk unggulan dengan kualitas bentuk dan potensinya --makhluk fisik dan psikis-- yang dipandu ruh ilahiyah. Sedimikian manusia sebagai pengemban amanah yang berilmu pengetahuan, yang dengan ilmunya ia berpotensi sebagai pengabdi terkait dengan terjaganya unsur rohaniyahnya dan atau ia sebagai pengingkar apabila unsur rohaniyahnya hilang dan mengantarkannya padan jenis binatang atau bahkan lebih rendah dari binatang itu sendiri. Disinilah pendidikan memainkan peranan penting agar kedua unsur tersebut berkembang secara optimal, harmonis dan seimbang.
Dalam al-Qur’an diterangkan kedudukannya sebagai khalifah telah diberi beberapa kemampuan/kelebihan dan kelemahan secara seimbang, dalam artian sama-sama ada. Apabila manusia mampu mengoptimalkan kelebihannya tersebut ia akan terangkat kepada derajat/kedudukan tinggi bahkan melebihi malaikat, kelebihan tersebut adalah : ia dijadikan Allah Sebagai Khalifah dibumi. Dimuliakan Allah dan diberi kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Diberi indra dan akal, sebab akal itulah manusia mempertanggungjawabkan segala keputusannya. Diberi tempat tinggal yang lebih baik dibandingkan makhluk lain dan diberi rezeki. Manusia memiliki proses regenerasi yang teratur melalui perkawinan. Diberi daya berusaha dan usahanya dihargai. Diberi potensi/fitrah/insting sebagai makhluk sosial. Ia beragama. Mencintai wanita, anak keturunan dan harta benda. Serta mengetahui yang baik dan yang tidak baik.
Sedangkan kekurangan manusia yang bisa menyebabkan ia berada dalam kerugian adalah; Lemah, nakal, sombong dan cenderung tidak bersyukur, cenderung putus asa, suka membantah, tergesa-gesa, pelit, suka mengeluh, cenderung maksiat, berbuat aniaya dan bodoh.
Untuk membangun tingkah laku dimulai dari membangun sikap hati, yaitu kalbu dengan mempertebal iman dalam model pembelajaran integratif yang memenuhi unsur-unsur manusia, yaitu jasmani, akal, dan kalbu nsecara proporsional.



DAFTAR PUSTAKA

Ali Hery Noer ; Munzier S, Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Prisma Agung, 2008

Anwar, Saeful Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi, dan Akisologi. Bandung, Pustaka Setia, 2007

Arif, Arifuddin Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kultura GP Press Group, 2008

Arifin,  H.M. Filsafat Pendidikan Islam:Jakarta, Bumi Aksara, 1996
Endang, Saifuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya, Bina Ilmu, 1987

Irfan, Muhammad, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta, Prisma Agung Insani, 2000

Kertanegara, Mulyadhi Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. Bandung, Mizan, 2005

Muhaimin; Mujib Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian filosofis dan kerangka operasionalnya, Bandung, Triganda Karya, 1993

Mujib, Abdul dan Yusuf Pengantar pendidikan Islam, Jakarta, Rencana Prenada Media Group, 2006

Rahman, Fazlur Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin. Bandung, Pustaka, 1996

Shihab, Quraisy M., Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung, Mizan 1998

Suharto, Toto, Filasafat Pendidikan Islam. Jogjakarta, Ar-Ruzz 2011

Tafsir Ahmad,  Filsafat Pendidikan Islam ; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010

Tirtarahardja, Umar ;  SL. La Sulo Pengantar Pendidikan. Jakarta,Renika Cipta, 2005


[1] Hery Noer Ali dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam (Jakarta, Prisma Agung, 2008), 115.
[2] Umar Tirtarahardja dan SL. La Sulo, Pengantar Pendidikan (Jakarta,Renika Cipta, 2005),1. 
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam ; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010), 7.
[4] Ahmad Tafsir Filsafat, 3.
[5] Endang Saifuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya, Bina Ilmu, 1987), 5.
[6]  Abdul Mujib dan Yusuf, Pengantar pendidikan Islam (Jakarta, Rencana Prenada Media Group, 2006),1-2.
[7]  Ahmad Tafsir Filsafat, 8 -14
[8]  Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi, dan Akisologi (Bandung, Pustaka Setia, 2007), 177.
[9]  Ibid, 177.
[10] Mulyadhi Kertanegara,  Menembus Batas WaktuPanorama Filsafat Islam (Bandung, Mizan, 2005),  46.
[11] Ahmad Tafsir Filsafat, 16
[12] Ibid, 17
[13] Muhaimin; Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian filosofis dan kerangka operasionalnya, (Bandung, Triganda Karya, 1993), 33.
[14] Ibid., 34.
[15] M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung,  Mizan 1998), 278.
[16] Muhammad Irfan, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigm Pendidikan Islam ( Jakarta, Prisma Agung Insani, 2000),61-63.
[17] Abdul Mujib dan Yusuf Pengantar, 4.
[18] M. Quraisy Shihab, Wawasan, 300.
[19] Muhammad Irfan, Teologi, 63.
[20] M. Quraisy Shihab, Wawasan, 280.
[21] Muhammad Irfan,  Teologi, 64.
[22] Arifuddin Arif Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta, Kultura GP Press Group, 2008), 12.
[23] H.M. Arifin Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), 160.
[24] Ibid, 158.
[25] H.M. Arifin Filsafat, 158. Pengertian Fitrah menurut Ibnu Taimiyah adalah ; pertama fitrah al-Gharizah fitrah ini dimaknai dengan fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal (Quwwah al-aql) yang berguna mengembangkan potensi dasar manusia. Kedua, Fitrah al-Munazzalah adalah fitrah luar yang masuk dalam diri manusia, fitah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gharizah. lihat,  Arifuddin Arif dalam Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta, Kultura GP Press Group, 2008),15
[26] Fazlur Rahman Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung, Pustaka, 1996), 38 - 42
[27] M. Afif Hasan Filsafat Pendidikan Islam; Membangun Basis Filosoi Pendidikan Profetik (Malang, Uneversitas Negeri Malang, 2011), 45.
[28] Fazlur Rahman, Tema AL-Qur’an, 42.
[29] Ahmad Tafsir, Filsafat, 21.
[30] Toto Suharto, Filasafat Pendidikan Islam (Jogjakarta, Ar-Ruzz 2011), 83
[31] Ibid, 84
[32] Abdul Mujib dan Yusuf Pengantar, 11.
[33] Ibid, 85.

1 komentar:

  1. sangat lengkap jawaban nya!pokoknya top markotop deh :D

    BalasHapus