Senin, 29 Oktober 2012

Epistimologi Ilmu Pengetahuan



Abstrak: Membangun peradaban adalah membentuk manusia yang berilmu dan beradab, sehingga ke-beradabannya harus dikedepankan dari pada sekedar dipandang sebagai makhluk social. Manusia yang beradab sangat dipengaruhi oleh cara pandang dan berpikir dalam menghadapi dan menjalani hidup serta kehidupannya. Perkembangan ilmu pengetahuan, budaya dan tekhnologi telah membawa perubahan fundamental dari cara berpikir dan bertindak (mode of thought and mode of will)  dalam masyarakat. aspek rasionalitas dan  realitas sebagai bangunan dasar epistemology, ontology dan aksiologi perkembangan ilmu, selanjutnya telah membentuk pandangan hidup (paradigma/world view) sekaligus  menjadi motor bagi perubahan social, asas, bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas ilmiah. Perkembangan filsafat barat, khususnya epistemology ilmu telah membawa perubahan signifikan terhadap perkembangan ilmu dan tekhnologi, namun demikian pemikiran filosofis yang dilahirkan tidak mampu memberikan peluang bagi kebutuhan kemanusiaan secara hakiki. Konstruksi ilmu pengetahuan yang antropologis tersebut telah mereduksi makna dan tujuan esensial ilmu pengetahuan, yaitu hilangnya unsur-unsur transenden dan sakralitas dalam alam semesta, adanya disharmoni antara keduanya merupakan ancaman terbesar bagi umat manusia. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan - terhadap ilmu dan filsafat sekuler - sebagai langkah konkret mengembalikan struktur ilmu Islam yang lebih bersifat integralistik antara phenomena dengan noemena, alam fisika dengan metafisika, rasional dengan irrasional, esoteris dengan eksoteris, individu dengan sosial, semuanya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan dasar ke-imanan,dan akhlakul karimah ber-prinsip tauhidi yang bermuara kepada Allah SWT.

Kata kunci : Peradaban, aspek rasionalitas, fundamental,  cara berpikir dan bertindak (mode of thought and mode of will), makhluk social, filsafat, antropologis, transenden, makna dan tujuan, sakralitas, ilmu, pengetahuan, sekuler, integralistik, Konstruksi ilmu, Islamisasi ilmu,  ke-imanan, akhlakul karimah, ber-prinsip tauhidi, paradigma, ilmiah.


A.    PENDAHULUAN
Dalam konteks sejarah peradaban manusia filsafat dikalangan intelektual menjadi sajian problematik yang menyita waktu, pikiran dan energi, Karena filsafat dipercaya mampu mengangkat derajat manusia dan martabat manusia, disisi lain filasafat dianggap menjadi faktor utama terjadinya gap antar kelompok yang bersebrangan. Pada kesempatan ini kami tidak bermaksud mengangkat persoalan kontroversial dua kutub yang bersebrangan tersebut, namun tulisan ini berupaya mengangkat persoalan filsafat khususnya kajian epistimologis.
Epistimologi berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata epistem yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu jadi epistimologi berarti ilmu yang mempersoalkan pengetahuan[1],. Mempersoalkan pengetahuan dimaksudkan sebagai upaya menjawab pertanyaan sekitar mengapa, bagaimana, manusia memperoleh pengetahuan!, tak heran rasanya jika persoalan ini terangkat kepermukaan, karena manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu dan selalu menyangsikan pengetahuaannya. Bagi Ahmad  Zainal Hamdi Epistimologi adalah cabang filsafat yang senantiasa menyangsikan suatu pengetahuan yang diyakini secara umum[2]. Karena lanjutnya ilmu pengetahuan yang masih menimbulkan suatu keraguan bukanlah pengetahuan sebab pengetahuan merupakan suatu kepastian bukanlah keraguan dan samar, ia tidak cukup hanya disandarkan pada sebuah keyakinan tapi harus dibuktikan dengan jelas dan pasti[3].
Kesangsian disini dimungkinkan bukan pada kebenaran itu sendiri, tapi lebih pada kemajuan sebagai hasil proses berpikir dalam upaya meraih kemajuan. Kuntowijoyo sampaikan bahwa kemajuan lebih bersifat cumulative sedangkan kebenaran lebih bersifat non cumulative. Bersifat cumulative karena kemajuan merupakan hasil kreatifitas berpikir manusia dalam memahami kehidupannya. Sedangkan kebenaran bersifat comultive tidak mengalami perubahan, sehingga lanjutnya kita bisa menerima kebenaran/kebijaksanaan yang dibawa Nabi terdahulu[4]. Pemahaman ini harus dilakukan internalisasi pada segenap pemikiran umat, hal ini lanjut Kontowijoyo berupaya menghindari adanya pencampuradukan antara kemajuan dan kebenaran dalam menyangsikan kebenaran[5].
Pragmatisme, kebenaran baginya hanya dan jika hanya berguna secara prakmatis bagi manusia dengan barometer dapat mengantarkan manusia kepada tujuan. Rasionalisme beranggapan pengetahuan manusia sangat bergantung pada penalaran sedangkan pengalaman hanyalah stimulus dari pada pikiran dan peneguh terhadap yang telah dicapai pikiran akal. Bagi empirrisme sesuatu yang tidak bias dilacak indrawi bukanlah pengetahuan karena pengetahuan adalah sesuatu yang kasat mata[6]. Islam beranggapan bahwa kebenaran itu hanya datang dari Allah (QS.2: 144-147) baik berguna atau tidak dimasa sekarang dalam kehidupan praktis[7].
Pergaulan budaya intelektual, kemajuan tekhnologi telah menimbulkan kerancuan dan krisis epistemologis, dalam sitting historis kemenangan saintis rasionalis terhadap agama sebagai cikal bakal lahirnya renaesans, kelompok saintis telah menjadikan aspek rasionalitas dan  realitas sebagai bangunan dasar epistemology, ontology dan aksiologi perkembangan ilmu selanjutnya, dalam konteks ini saintis rasionalis telah mereduksi makna dan tujuan esensial ilmu pengetahuan, yaitu hilangnya terhadap unsur-unsur transenden dan sakralitas dalam alam semesta. Adanya kerancuan dan disharmoni antara keduanya merupakan ancaman terbesar bagi umat manusia, menyadari hal ini kelompok intelektual muslim melakukan gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan, Al-attas dalam Rosnani Hashim ungkapkan “ Proses Islamisasi merupakan langkah penyelamatan Ilmu dari penafsiran yang berdasarkan pada ideology sekular, dari makna dan ungkapan secular[8]. Jika demikian, apa sebabnya ilmu pengetahuan harus di”Islamkan,”? apa yang mendasari pengetahuan yang notabene dari barat harus dilakukan proses Islamisasi? lalu apa yang melatar belakanginya?..   

B.     PARADIGMA ILMU BARAT DAN ISLAM
Sebagaiman telah disinggung diatas, Ilmu pengetahuan yang diproyeksikan melalui pandangan hidup dibangun diatas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat dengan sendirinya pernyataan bahwa ilmu adalah bebas nilai dengan sendirinya terbantahkan karena ilmu yang dihasilkan manusia merupakan akumulasi dari suatu agama atau  kebudayaan, maka klaim ilmu bebas nilai hanyalah  upaya penghalusan bahasa yang senyatanya ilmu barat hanyalah bebas dari nilai-nalai keagamaan dan ketuhanan. Hamid Fahmi Zarkasyi tegaskan “Pandangan hidup menjadi tolok ukur untuk membedakan antara suatu peradaban dengan peradaban lainnya. Hali ini dikarenakan lanjutnya pandangan hidup adalah motor bagi perubahan social, asas, bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas ilmiah[9]”.
Paradigma barat sebagai dasar epistimologis secara historis sejak pertumbuhan dan perkembangannya ilmu barat berawal dari ketidak percayaan mereka terhadap keyakinan sebagai asas ilmu pengetahuan yang didasarkan pada wahyu kenabian dalam konteks ini Kontowijoyo dalam bukunya Islam sebagai ilmu Epistemologi, Metodologi dan Etika menggambarkan alur pertumbuhan ilmu-ilmu  barat menjadi empat bagian yaitu; filsafat, antroposentrisme, differensiasi dan ilmu secular.
Pertama; secara filosofis; asal mula ilmu secular modernism dalam filsafat rasionalisme yang muncul pada abad 15- 16 yang menolak teosentrisme abad  pertengahan. Rasio diagungkan dan wahyu dinistakan. Sumber kebenaran adalah  pikiran, tuhan tetap diakui tetapi tuhan yang lumpuh tidak berkuasa, tidak membuat hukum.
Kedua antroposentrisme dalam rasionalisme manusia menempati kedudukan yang tinggi, manusia menjasi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana dan konsumen dari produk manusia sendiri.
Ketiga berangkat dari frame work(ruang pemikiran) demikian ketika manusia menjadi pusat, terjadilah differensiasi etika, kebijaksanaandan pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan, karena ekonomi politik, hukum dan ilmu harus dipisahkan dari agama, kebenaran ilmu terletak pada ilmu itu sendiri-bukan dari luarnya; Kitab Suci- yaitu korespondensi dan koherensi didalam ilmu antara bagian-bagian keilmuan dengan keseluruhan bagngunan ilmu, ilmu harus obyektif.
Keempat ilmu sekuler; mengaku diri sebagai obyektif, value free, bebas dari kepentingan lainnya. Tetapi ternyata ilmu telah melampaui dirinya sendiri, ilmu yang semula ciptaan telah menguasai manusia, ilmu mengganti kedudukan wahyu sebagai petunjuk kehidupan[10].    
Apapun ilmu pengetahuan yang dikembangkan barat esensinya telah melahirkan-paling tidak sebagai langkah proses – sekularisasi yang menulak unsure-unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari politik dan nilai yang tidak mutlak atau  relative. [11] menurut al-Attas sebagaimana dikutip Ugi Suhartono sekularisasi berlaku dalam alam pikiran seseorang melalui tiga komponen, yaitu; pertama ;  pengusongan alam  materi dan semua makna ruhani. Kedua; Penafian semua kekudusan  politik dan kepemimpinan dan ketiga; Penafian kesucian serta kekekalan semua nilai hidup[12].
Hamid Fahmi Zarkasyi, Lahirnya ilmu dalam  Islam didahului  oleh adanya tradisi intelektual yang tidak lepas dari lahirnya filsafat Islam sendiri, sedangkan kelahiran filsafat Islam tidak lepas dari kandungan al-Qur’an dan  penjelasan dari nabi. jadi jika kelahiran ilmu dalam Islam di bagi secara periodik maka urutannya  terdiri dari ; pertama; Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam kedua; adannya stuktur ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an  dan Hadist.  Ketiga; lahirnya tradisi keilmuan Islam dan Keempat;  lahirnya disiplin ilmu- ilmu Islam .                
Periode  pertama turunnya wahyu harus dilacak dari periode makkah dan madinah . Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, periode makkah adalah periode pembentukan struktur konsep dunia dan ahirat sekaligus, seperti konsep konsep tentang tuhan dan keimanan kepadanya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, konsep ‘ilm,nubuwwab,din,ibadah dan lain lain .pada periode makkah inilah terbentuk stuktur konsep tentang dunia (word-strukture ) baru.
Periode Madinah adalah periode konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, dalam paradigm Islam. Pada masa ini wahyu banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, system hokum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat, termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan muslim dengan umat beragama lain, dan sebagainya. Periode mekah dan madinah walaupun secara sosiologis dan geografisnya berjauhan namun tema-tema keduanya merupakan pertalian yang tidak saling lepas.
Periode kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu ysng turun dan dijelaskan nabi telah mengandung struktur fundamendal scientific worldview. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran umat Islam saat itu yang menandakan munculnya “struktur Ilmu” dalam paradigm Islam, meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah dimulai pada periode mekkah.
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan sebagai konsekuensi logis dari adanya sturktur pengetahuan dalam paradigm Islam. Yang ditandai dengan munculnya kelompok belajar atau sekolah (Ashab al-Suffah), yang kemudian menjadi embrio lahirnya kelompok-kelompok belajar lainnya dengan pokok kajian kandungan wahyu,dan hadits-hadits. Sekolah ini telah banyak melahirkan para ahli hadits dan para ilmuan.
Dengan demikian pandangan hidup (Islam maupun barat) tentang realitas dan kebenaran yang menjelaskan tentang hakekat wujud berakumulasi dalam akal pikiran dan memancar dalam keseluruhan kegiatan kehidupan (Islam maupun Barat) didunia. Dengan kata lain sebuah paradigma, pandangan hidup menjadi dasar epistemolgis ilmu dan keilmuan kearah mana ia bermuara, sehingga justifikasi bahwa ilmu adalah bebas nilai dengan sendirinya terbantahkan bahkan ilmu sebagaimana Nauqib al-Attas tegaskan dalam Adnin Armas[13], ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi penyebar lauaskan budaya dan pandangan hidup suatu kebudayaan Karena ilmu merupakan sesuatu yang sarat nilai.
C.    SUMBER ILMU PENGETAHUAN ISLAM
Partap Sing Mehra mengartikan pengetahuan sebagai suatu sistem gagasan yang bersesuaian dengan benda-benda dan dihubungkan oleh keyakinan. baginya sumber pengetahuan ada dua; pertama; Pengetahuan langsung yang diperoleh dari persepsi ekstern dengan media panca indra.  Persepsi intern disebut juga introspeksi, secara langsung kita mengetahui keadaan dalam diri kita sendiri seperti; rasa senang, rasa lapar, rasa sedih dll. Kedua; Pengetahuan yang diperoleh dari penarikan konklusi dari suatu data yang diperoleh dari pengetahuan langsung. Ketiga. Kesaksian dan authority yaitu keterangan yang diperoleh dari orang yang terpercaya dan kekuatan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan[14].
Syamsuddin Arif [15] mengelompokkan pengetahuan menjadi dua; (1). Pengetahuan yang masih berupa ide/konsep. Seperti konsep tentang  manusia, batu, air pohon dan obyek-obyek lainnya.  (2). Pengetahuan yang sudah berbentuk ungkapan atau pernyataan atau kalimat. Sedangkan sumber pengetahuan lanjutnya terdiri dari ; Persepsi indra, proses akal sehat, Intuisi hati dan Informasi yang benar (khabar shadiq). Berkenaan dengan sumber ilmu pengetahuan al-Qur’an menjelaskan ;
 Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia member kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”, an-Nahl (16): 78,
  Dan sesungguhnya kami jadikan kebanyakan jin dan manusia untuk (isi neraka) jahannam, (karena)mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannyauntuk memahami (pesan-pesan Tuhan), mereka mempunyai mata namun  tidak dipergunakannya untuk melihat, dan merka mempnyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sama dengan binatang terna, bahkan mereka lebih sesat lag. Mereka itulah orang-orang yang lengah-lalai”. al-A’raf (7):179,
 “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat periingatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya serta menyaksikannya”. Qaf (50):37,
 Apakah mereka tidak berjalan dimuka bumi, serta mempunyai hati yang dengannya merka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya dapat mendengar. Memang sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi telah buta hati yang ada didalam dada”., Al-Hajj (22) : 46,
Sesungguhnya telah datang kepadamucahaya dari Allah dan kitab yang member penjelasan”. al-Maidah(5):15,Dan
ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjukserta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa”. Ali-Imran (3): 138[16]

     Persepsi indra plus indra ke enam yang menyertakan daya ingatan/memori, daya hayal, imajinasi dan estimasi. Proses akal sehat yang dengan nya kita bias berartikulasi, berargumen, melakukan analogi, dan menarik sebuah konklusi dari sebuah proposisi atau pendapat-pendapat. Dengan intuisi hati, kita bias menangkap pesan-pesan ghaib, isyarat ilahi dan menerima ilham. Berikutnya sumber pengetahuan adalah informasi yang benar (khabar shadiq) dalam hal ini Islam al-Qur’an dan hadits sebagai sumber informasi (khabar shadiq) yang autentik dan otoritatif hingga akhir zaman.    
D.    DEFINISI ILMU ISLAM
Ilmu dalam pengertian linguistic berasal dari bahasa arab yaitu, ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, yang berarti mengerti, memahami benar-benar, ilmu sering disinonimkan dengan kata science (bahasa Inggris), episteme (bahasa Yunani)[17]. Lebih lanjut Wan Mohd Nor Wan Daud memberikan pengertian/definisi ilmu pada akar pembentuk kata ‘ilmu yaitu ‘ayn, lam, mim yang dimabil dari kata ‘alamah yang berarti tanda, petunjuk atau petunjuk yang dengannya sesuatu dapat dikenal, sehingga kata maklam berarti “tanda jalan” atau sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang. Ini semakna dengan kata ayah (jamak dari kata ayat) yang juga berarti “tanda” yang merujuk pada al-Qur’an dan fenomena alam. Dari pengertian inilah umat Islam menganggap ilmu (ilmu pengetahuan) berarti al-Qur’an, syari’at, sunnah, Islam, Iman, ilmu spiritual, hikmah dan makrifat, pikiran sains[18].
Dalam kesemptan lain al-Jurjani dalam Nauqib al-Attas, oleh karena semua pengetahuan itu datang dari Allah dan ditafsirkan oleh jiwa lewat fakultas-fakultas spiritual dan fisikal, maka definisi ilmu pengetahuan yang paling tepat adalah dengan mengacu kepada Allah sebagai asalnya “ Kedatangan makna sesuatu atau obyek pengetahuan di dalam jiwa” sedangkan dengan mengacu kepada jiwa sebagai penafsirnya “Pengetahuan adalah sampainya (wushul) jiwa pada makna sesuatu atau suatu obyek pengetahuan”[19].
Pendifinisian ilmu secara epistimologis sebagai sampainya makna sesuatu pada jiwa atau sampainya jiwa kepada makna sesuatu. Tiada lain sebagai konsekuensi paparan al-Qur’an tentang ayah (jamak; ayat) yang mengacu pada “kata-kata, dan sesuatu[20].
Dalam frem work ini, Ilmu Islam lebih bersifat integralistik antara yang phenomena dengan noemena, alam fisika dengan metafisika, rasional dengan irrasional, esoteris dengan eksoteris, individu dengan sosial, semuanya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan dasar ke-imanan,dan akhlakul karimah ber-prinsip tauhidi yang bermuara kepada Allah SWT.
E.     KESIMPULAN
Dari paparan singkat diatas, Nampak jelas bahwa islam dalam epistimologi dan etika tidak didasarkan pada relativisme, skeptisisme, sekularisme yang menobatkan manusia sebagai model, sumber dan tolok ukur segala sesuatu. Singkatnya Islam menolak antroplogisme.
Epistimologi Islam Tidak ada dikhotimis antara yang satu dengan yang lainnya-ilmu agama dan umum- dan membentuk garis demarkasi tersendiri sebagaimana barat.
Perkembangan ilmu dalam islam mempunyai karakteristik tersendiri, ilmu dalam islam bukanlah melalui proses westernisasi ataupun adopsi dari barat, tapi yang terjadi hanyalah proses adaptif, sebab ilmu tidak bias lahir dan berkembang pada suatu masyarakat jika semua konsep didalamnya hasil impor, namun tidak dipungkiri bahwa dalan suatu kebudayaan sudah biasa terjadi pinjam meminjam antar kebudayaan Islam bersifat selektif dalam hal ini.
Berasarkan cara memperoleh pengetahuan dalam islam secara umum terbagi dua; yaitu, bersifat hushul-pemberian langsung dari Allah, bersifat wushul (capaian) ilmu yang diperoleh dari hasil usaha manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Moh. Koesnoe “ Pengantar Kearah Pemikiran Filsafat Hukum” Surabaya Ubara Press, 1997.
Al-Qur’an dan Terjemahannya(ayat pojok bergaris) Departemen Agama RI, CV. Asy-Syifa’ Semarang, tt.
Ahmad Zainal Hamdi “ Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern” PT LKiS Bumi Aksara, Thn 2004
Kontowijoyo “ Islam sebagai Ilmu epistemology, Metodologi, dan Fakta”, Tiara Wacana Yogyakarta, 2006.
Adnin Armas “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu” Jakarta, Khairul Bayan, 2005.
Rosnani Hashim “ Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer; Sejarah Perkembangan dan arah Tujuan” Jakarta, Khairul Bayan, 2005
Hamid Fahmi Zarkasyi,”World View  Sebagai Asas Epistimologi Islam” Kharul Bayan, Jakarta 2005
Kontowijoyo,” Islam sebagai ilmu Epistemologi, Metodologi dan Etika”, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006
Pardoyo,”Sekularisasi dalam Polemik” Bandung, Pustaka Grafiti, 1996
Ugi Suhartono “Islam Dan Sekularisme”Pandangan Al Attas dan Alqordowi” Jakarta Kairun Beyen tahun 2005
Partap Sing Mehra, “Pengantar Logika Tradisional”, Bina Cipta Bandung, 1988,
Syamsuddin Arif, “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam”, Islamia, Jakarta, tahun II No. 5. 2005.
Amsal Bakhtiar,” Filsafat Ilmu”, Jakarta, Rajawali Perss, Tahun 2010
Wan Mohd Nor Wan Daud,” Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Ummat” Islamia Jakarta tahun II. No. 5, 2005,
Syed Muhammad Al-Nauqib Al-Attas,”Konsep Pendidikan dalam Islam; Suatu rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam”, Penj. Haidar Baqir, Bandung, Mizan, tahun 1996,


[1] Moh. Koesnoe “ Pengantar Kearah Pemikiran Filsafat Hukum” Surabaya Ubara Press, 1997. hal. 10.
[2] Ahmad Zainal Hamdi “ Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern” PT LKiS Bumi Aksara, Thn 2004, hal. 132.
[3] Ibid, Ahmad Zaini, hal. 133
[4] Kontowijoyo “ Islam sebagai Ilmu epistemology, Metodologi, dan Fakta”, Tiara Wacana Yogyakarta, 2006. hal. 4. 
[5] Ibid. Kontowijoyo, 6
[6] Empirisme, rasionalisme dan pragmatisme merupakan paham yang beranggapan pengetahuan dan kebenaran hanyalah berdasarkan pada satu aspek saja walaupun sudah ada upaya kompromis yang dilakukan kelempok kritisisme tetap tidak menyentuh essensi dan bersifat antropologistik/profanistik, sebagaimana dikatakan Immanuel Kant “ pengetahuan adalah mungkin namun metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak bersandarkan pada kepada panca indra”. Senada dengan Kant, George Friedrick Hegel, pengetahuan adalah “on going process” artinya pengetahuan lama menjadi tidak benar karena terbatas sedangkan penyangkalan tetap dipertahankan dan ia menjadi kebenaran baru” bahkan Friedrich Nietzsche tegaskan “ Seseorang tidak dapat mempercayai agama dogma-dogma agama dan metafisika jika ia memiliki aturan-aturan ketat untuk meraih kebenaran didalam hati”.  (Lihat Adnin Armas “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu” Jakarta, Khairul Bayan, 2005. hal 10 – 11).
[7] Ibid, Kontowijoyo. Hal 4
[8] Rosnani Hashim “ Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer; Sejarah Perkembangan dan arah Tujuan” Jakarta, Khairul Bayan, 2005. hal. 30.
[9] Hamid Fahmi Zarkasyi,”World View  Sebagai Asas Epistimologi Islam” Kharul Bayan, Jakarta 2005, hal. 11
[10] Kontowijoyo,” Islam sebagai ilmu Epistemologi, Metodologi dan Etika”, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006, hal. 51.
“ Terkait dengan hal-hal berikut beberapa tokoh yang menjadi motor  timbulnya reduksi nilai-nilai agama dan pembuka ruang sekularisasi barat tidak lepas dari peran tokoh filsafat seperti Lersing (1729-1781) dengan hasil pemikirannya Agama bukanlah terminal akhir tapi sebagai batu loncatan menuju kehidupan manusia…… Tuhan hanya memberi petunjuk pada kebenaran sedang kebenaran abadi tidak ada”. Jhon Locke (1632-1704), “negara modern telah menghapus semua wasiat gereja”. GW. Leibnis “Agama menjadi urusan pribadi, ajaran agama yang tidak sesuai dengan akal harus dihapus”. David Hume (1711-1776) “ agama bukanlah suati ilmu, tapi hanya institusi belaka. JJ.Rousseau(1712-1778) “ Agama dan pendidikan bertentangan dengan alam, ia menolak bukti metafisis tentang adanya tuhan”  bahkan lenin (1870-1924) “Agama itu cantdu rakyat yang menutup kemajuan berpikir”senada dengan Lenin,  Nietzte katakana bahwa “Tuhan telah mati”. Ludwig Feruerbach “Agama yang baru adalah politik bukan agama masehi. Dasar Negara adalah manusia dan kebutuhan”.lihat Pardoyo,”Sekularisasi dalam Polemik” Bandung, Pustaka Grafiti, 1996, hal. 33-35.
[11] Pardoyo,”Sekularisasi dalam Polemik” Bandung, Pustaka Grafiti, 1996, hal. 42
[12] Ugi suhartono islam dan sekularisme”pandangan al attas dan alqordowi” Jakarta kairun beyen tahun 2005 hal.19  
[13] Adnan Armas,”Westernisasi dan Islamisasi Ilmu” Islamia, Jakarta, tahun II No. 6. Tahun  2005 hal 9.
[14] Partap Sing Mehra, “Pengantar Logika Tradisional”, Bina Cipta Bandung, 1988, hal 4
[15] Syamsuddin Arif, “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam”, Islamia, Jakarta, tahun II No. 5. 2005. Hal. 27.
[16] Al-Qur’an dan  Terjemahannya(Ayat Pojok Bergaris) Departemen Agama RI,
[17] Amsal Bakhtiar,” Filsafat Ilmu”, Jakarta, Rajawali Perss, Th. 2010, hal.; 12.
[18] Wan Mohd  Nor Wan Daud,” Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Ummat” Islamia Jakarta tahun II. No. 5, 2005, hal. 62.
[19] Syed Muhammad Al-Nauqib Al-Attas,”Konsep Pendidikan dalan Islam; Suatu rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam”, Penj. Haidar Baqir, Bandung, Mizan, th. 1996, hal. 43.
[20] Ibid, Syed Muhammad Al-Nauqib Al-Attas, hal.45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar