Abstrak: Membangun
peradaban adalah membentuk manusia yang berilmu dan beradab, sehingga
ke-beradabannya harus dikedepankan dari pada sekedar dipandang sebagai makhluk
social. Manusia yang beradab sangat dipengaruhi oleh cara pandang dan berpikir
dalam menghadapi dan menjalani hidup serta kehidupannya. Perkembangan ilmu
pengetahuan, budaya dan tekhnologi telah membawa perubahan fundamental dari
cara berpikir dan bertindak (mode of thought and mode of will) dalam masyarakat. aspek rasionalitas dan realitas sebagai bangunan dasar epistemology,
ontology dan aksiologi perkembangan ilmu, selanjutnya telah membentuk pandangan
hidup (paradigma/world view) sekaligus menjadi
motor bagi perubahan social, asas, bagi pemahaman realitas dan asas bagi
aktifitas ilmiah. Perkembangan filsafat barat, khususnya epistemology ilmu
telah membawa perubahan signifikan terhadap perkembangan ilmu dan tekhnologi, namun
demikian pemikiran filosofis yang dilahirkan tidak mampu memberikan peluang
bagi kebutuhan kemanusiaan secara hakiki. Konstruksi ilmu pengetahuan yang
antropologis tersebut telah mereduksi makna dan tujuan esensial ilmu
pengetahuan, yaitu hilangnya unsur-unsur transenden dan sakralitas dalam alam
semesta, adanya disharmoni antara keduanya merupakan ancaman terbesar bagi umat
manusia. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan - terhadap ilmu dan filsafat
sekuler - sebagai langkah konkret mengembalikan struktur ilmu Islam yang lebih
bersifat integralistik antara phenomena dengan noemena, alam fisika dengan
metafisika, rasional dengan irrasional, esoteris dengan eksoteris, individu
dengan sosial, semuanya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan dasar
ke-imanan,dan akhlakul karimah ber-prinsip tauhidi yang bermuara kepada Allah
SWT.
Kata kunci : Peradaban, aspek
rasionalitas, fundamental, cara berpikir
dan bertindak (mode of thought and mode of will), makhluk social, filsafat,
antropologis, transenden, makna dan tujuan, sakralitas, ilmu, pengetahuan, sekuler,
integralistik, Konstruksi ilmu, Islamisasi ilmu, ke-imanan, akhlakul karimah, ber-prinsip
tauhidi, paradigma, ilmiah.
A.
PENDAHULUAN
Dalam konteks sejarah peradaban manusia filsafat dikalangan intelektual
menjadi sajian problematik yang menyita waktu, pikiran dan energi, Karena
filsafat dipercaya mampu mengangkat derajat manusia dan martabat manusia,
disisi lain filasafat dianggap menjadi faktor utama terjadinya gap antar
kelompok yang bersebrangan. Pada kesempatan ini kami tidak bermaksud mengangkat
persoalan kontroversial dua kutub yang bersebrangan tersebut, namun tulisan ini
berupaya mengangkat persoalan filsafat khususnya kajian epistimologis.
Epistimologi berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata epistem yang
berarti pengetahuan, dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu jadi
epistimologi berarti ilmu yang mempersoalkan pengetahuan[1],. Mempersoalkan pengetahuan dimaksudkan
sebagai upaya menjawab pertanyaan sekitar mengapa, bagaimana, manusia memperoleh
pengetahuan!, tak heran rasanya jika persoalan ini terangkat kepermukaan,
karena manusia adalah makhluk yang selalu ingin tahu dan selalu menyangsikan
pengetahuaannya. Bagi Ahmad Zainal Hamdi
Epistimologi adalah cabang filsafat yang senantiasa menyangsikan suatu
pengetahuan yang diyakini secara umum[2]. Karena
lanjutnya ilmu pengetahuan yang masih menimbulkan suatu keraguan bukanlah
pengetahuan sebab pengetahuan merupakan suatu kepastian bukanlah keraguan dan
samar, ia tidak cukup hanya disandarkan pada sebuah keyakinan tapi harus
dibuktikan dengan jelas dan pasti[3].
Kesangsian disini dimungkinkan bukan pada kebenaran itu sendiri, tapi
lebih pada kemajuan sebagai hasil proses berpikir dalam upaya meraih kemajuan.
Kuntowijoyo sampaikan bahwa kemajuan lebih bersifat cumulative sedangkan
kebenaran lebih bersifat non cumulative. Bersifat cumulative karena kemajuan
merupakan hasil kreatifitas berpikir manusia dalam memahami kehidupannya.
Sedangkan kebenaran bersifat comultive tidak mengalami perubahan, sehingga
lanjutnya kita bisa menerima kebenaran/kebijaksanaan yang dibawa Nabi terdahulu[4]. Pemahaman
ini harus dilakukan internalisasi pada segenap pemikiran umat, hal ini lanjut
Kontowijoyo berupaya menghindari adanya pencampuradukan antara kemajuan dan kebenaran
dalam menyangsikan kebenaran[5].
Pragmatisme, kebenaran baginya hanya dan jika hanya berguna secara
prakmatis bagi manusia dengan barometer dapat mengantarkan manusia kepada
tujuan. Rasionalisme beranggapan pengetahuan manusia sangat bergantung pada penalaran
sedangkan pengalaman hanyalah stimulus dari pada pikiran dan peneguh terhadap
yang telah dicapai pikiran akal. Bagi empirrisme sesuatu yang tidak bias
dilacak indrawi bukanlah pengetahuan karena pengetahuan adalah sesuatu yang
kasat mata[6]. Islam
beranggapan bahwa kebenaran itu hanya datang dari Allah (QS.2: 144-147) baik
berguna atau tidak dimasa sekarang dalam kehidupan praktis[7].
Pergaulan budaya intelektual, kemajuan tekhnologi telah menimbulkan
kerancuan dan krisis epistemologis, dalam sitting historis kemenangan saintis
rasionalis terhadap agama sebagai cikal bakal lahirnya renaesans, kelompok
saintis telah menjadikan aspek rasionalitas dan realitas sebagai bangunan dasar epistemology,
ontology dan aksiologi perkembangan ilmu selanjutnya, dalam konteks ini saintis
rasionalis telah mereduksi makna dan tujuan esensial ilmu pengetahuan, yaitu
hilangnya terhadap unsur-unsur transenden dan sakralitas dalam alam semesta.
Adanya kerancuan dan disharmoni antara keduanya merupakan ancaman terbesar bagi
umat manusia, menyadari hal ini kelompok intelektual muslim melakukan gerakan Islamisasi
ilmu pengetahuan, Al-attas dalam Rosnani Hashim ungkapkan “ Proses Islamisasi
merupakan langkah penyelamatan Ilmu dari penafsiran yang berdasarkan pada
ideology sekular, dari makna dan ungkapan secular[8].
Jika demikian, apa sebabnya ilmu pengetahuan harus di”Islamkan,”? apa yang
mendasari pengetahuan yang notabene dari barat harus dilakukan proses Islamisasi?
lalu apa yang melatar belakanginya?..
B.
PARADIGMA ILMU BARAT DAN
ISLAM
Sebagaiman telah disinggung diatas, Ilmu pengetahuan yang diproyeksikan
melalui pandangan hidup dibangun diatas visi intelektual dan psikologis budaya
dan peradaban Barat dengan sendirinya pernyataan bahwa ilmu adalah bebas nilai
dengan sendirinya terbantahkan karena ilmu yang dihasilkan manusia merupakan
akumulasi dari suatu agama atau kebudayaan,
maka klaim ilmu bebas nilai hanyalah upaya
penghalusan bahasa yang senyatanya ilmu barat hanyalah bebas dari nilai-nalai
keagamaan dan ketuhanan. Hamid Fahmi Zarkasyi tegaskan “Pandangan hidup menjadi
tolok ukur untuk membedakan antara suatu peradaban dengan peradaban lainnya.
Hali ini dikarenakan lanjutnya pandangan hidup adalah motor bagi perubahan
social, asas, bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas ilmiah[9]”.
Paradigma barat sebagai dasar epistimologis secara historis sejak
pertumbuhan dan perkembangannya ilmu barat berawal dari ketidak percayaan
mereka terhadap keyakinan sebagai asas ilmu pengetahuan yang didasarkan pada
wahyu kenabian dalam konteks ini Kontowijoyo dalam bukunya Islam sebagai
ilmu Epistemologi, Metodologi dan Etika menggambarkan alur pertumbuhan
ilmu-ilmu barat menjadi empat bagian
yaitu; filsafat, antroposentrisme, differensiasi dan ilmu secular.
Pertama; secara filosofis; asal mula ilmu secular modernism dalam
filsafat rasionalisme yang muncul pada abad 15- 16 yang menolak teosentrisme
abad pertengahan. Rasio diagungkan dan
wahyu dinistakan. Sumber kebenaran adalah pikiran, tuhan tetap diakui tetapi tuhan yang
lumpuh tidak berkuasa, tidak membuat hukum.
Kedua antroposentrisme dalam rasionalisme manusia menempati kedudukan
yang tinggi, manusia menjasi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan dan ilmu
pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana dan konsumen dari produk
manusia sendiri.
Ketiga berangkat dari frame work(ruang pemikiran) demikian
ketika manusia menjadi pusat, terjadilah differensiasi etika, kebijaksanaandan
pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan, karena ekonomi politik, hukum
dan ilmu harus dipisahkan dari agama, kebenaran ilmu terletak pada ilmu itu
sendiri-bukan dari luarnya; Kitab Suci- yaitu korespondensi dan koherensi
didalam ilmu antara bagian-bagian keilmuan dengan keseluruhan bagngunan ilmu,
ilmu harus obyektif.
Keempat ilmu sekuler; mengaku diri sebagai obyektif, value free, bebas
dari kepentingan lainnya. Tetapi ternyata ilmu telah melampaui dirinya sendiri,
ilmu yang semula ciptaan telah menguasai manusia, ilmu mengganti kedudukan
wahyu sebagai petunjuk kehidupan[10].
Apapun ilmu pengetahuan yang dikembangkan barat esensinya telah
melahirkan-paling tidak sebagai langkah proses – sekularisasi yang menulak
unsure-unsur transenden dalam alam semesta, memisahkan agama dari politik dan
nilai yang tidak mutlak atau relative. [11] menurut
al-Attas sebagaimana dikutip Ugi Suhartono sekularisasi berlaku dalam alam
pikiran seseorang melalui tiga komponen, yaitu; pertama ; pengusongan alam materi dan semua makna ruhani. Kedua; Penafian
semua kekudusan politik dan kepemimpinan
dan ketiga; Penafian kesucian serta kekekalan semua nilai hidup[12].
Hamid Fahmi Zarkasyi, Lahirnya ilmu dalam Islam didahului oleh adanya tradisi intelektual yang tidak
lepas dari lahirnya filsafat Islam sendiri, sedangkan kelahiran filsafat Islam
tidak lepas dari kandungan al-Qur’an dan penjelasan dari nabi. jadi jika kelahiran ilmu
dalam Islam di bagi secara periodik maka urutannya terdiri dari ; pertama; Turunnya wahyu dan
lahirnya pandangan hidup Islam kedua; adannya stuktur ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an dan Hadist.
Ketiga; lahirnya tradisi keilmuan Islam dan Keempat; lahirnya disiplin ilmu- ilmu Islam .
Periode pertama turunnya wahyu
harus dilacak dari periode makkah dan madinah . Dalam konteks kelahiran
pandangan hidup, periode makkah adalah periode pembentukan struktur konsep
dunia dan ahirat sekaligus, seperti konsep konsep tentang tuhan dan keimanan
kepadanya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan neraka, hari
pembalasan, baik dan buruk, konsep ‘ilm,nubuwwab,din,ibadah dan lain lain .pada
periode makkah inilah terbentuk stuktur konsep tentang dunia (word-strukture ) baru.
Periode Madinah adalah periode konfigurasi struktur ilmu pengetahuan,
yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, dalam
paradigm Islam. Pada masa ini wahyu banyak mengandung tema-tema umum yang
merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, system hokum yang
mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat, termasuk hukum-hukum
tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan muslim dengan umat beragama lain,
dan sebagainya. Periode mekah dan madinah walaupun secara sosiologis dan
geografisnya berjauhan namun tema-tema keduanya merupakan pertalian yang tidak
saling lepas.
Periode kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu ysng turun dan dijelaskan
nabi telah mengandung struktur fundamendal scientific worldview. Periode ini sangat
penting karena menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran umat
Islam saat itu yang menandakan munculnya “struktur Ilmu” dalam paradigm Islam,
meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah dimulai pada periode mekkah.
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan sebagai konsekuensi
logis dari adanya sturktur pengetahuan dalam paradigm Islam. Yang ditandai
dengan munculnya kelompok belajar atau sekolah (Ashab al-Suffah), yang kemudian
menjadi embrio lahirnya kelompok-kelompok belajar lainnya dengan pokok kajian
kandungan wahyu,dan hadits-hadits. Sekolah ini telah banyak melahirkan para
ahli hadits dan para ilmuan.
Dengan demikian pandangan hidup (Islam maupun barat) tentang realitas
dan kebenaran yang menjelaskan tentang hakekat wujud berakumulasi dalam akal
pikiran dan memancar dalam keseluruhan kegiatan kehidupan (Islam maupun Barat)
didunia. Dengan kata lain sebuah paradigma, pandangan hidup menjadi dasar
epistemolgis ilmu dan keilmuan kearah mana ia bermuara, sehingga justifikasi
bahwa ilmu adalah bebas nilai dengan sendirinya terbantahkan bahkan ilmu
sebagaimana Nauqib al-Attas tegaskan dalam Adnin Armas[13],
ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi penyebar lauaskan
budaya dan pandangan hidup suatu kebudayaan Karena ilmu merupakan sesuatu yang
sarat nilai.
C.
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
ISLAM
Partap Sing Mehra mengartikan pengetahuan sebagai suatu sistem
gagasan yang bersesuaian dengan benda-benda dan dihubungkan oleh keyakinan. baginya
sumber pengetahuan ada dua; pertama; Pengetahuan langsung yang diperoleh dari
persepsi ekstern dengan media panca indra.
Persepsi intern disebut juga introspeksi, secara langsung kita mengetahui
keadaan dalam diri kita sendiri seperti; rasa senang, rasa lapar, rasa sedih
dll. Kedua; Pengetahuan yang diperoleh dari penarikan konklusi dari suatu data
yang diperoleh dari pengetahuan langsung. Ketiga. Kesaksian dan authority yaitu
keterangan yang diperoleh dari orang yang terpercaya dan kekuatan mempengaruhi
pendapat dan kepercayaan[14].
Syamsuddin Arif [15] mengelompokkan
pengetahuan menjadi dua; (1). Pengetahuan yang masih berupa ide/konsep. Seperti
konsep tentang manusia, batu, air pohon
dan obyek-obyek lainnya. (2).
Pengetahuan yang sudah berbentuk ungkapan atau pernyataan atau kalimat. Sedangkan
sumber pengetahuan lanjutnya terdiri dari ; Persepsi indra, proses akal sehat,
Intuisi hati dan Informasi yang benar (khabar shadiq). Berkenaan dengan sumber
ilmu pengetahuan al-Qur’an menjelaskan ;
“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia member kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”, an-Nahl (16): 78,
“ Dan sesungguhnya kami
jadikan kebanyakan jin dan manusia untuk (isi neraka) jahannam, (karena)mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannyauntuk memahami (pesan-pesan Tuhan),
mereka mempunyai mata namun tidak
dipergunakannya untuk melihat, dan merka mempnyai telinga tetapi tidak
dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sama dengan binatang terna, bahkan
mereka lebih sesat lag. Mereka itulah orang-orang yang lengah-lalai”. al-A’raf
(7):179,
“Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat periingatan bagi orang-orang yang mempunyai
hati atau yang menggunakan pendengarannya serta menyaksikannya”. Qaf
(50):37,
“Apakah mereka tidak
berjalan dimuka bumi, serta mempunyai hati yang dengannya merka dapat
memahami atau mempunyai telinga yang dengannya dapat mendengar. Memang
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi telah buta hati yang ada
didalam dada”., Al-Hajj (22) : 46,
”Sesungguhnya telah datang kepadamucahaya dari Allah dan kitab yang
member penjelasan”. al-Maidah(5):15,Dan
”ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjukserta
pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa”. Ali-Imran (3): 138[16]
Persepsi indra plus indra ke enam yang
menyertakan daya ingatan/memori, daya hayal, imajinasi dan estimasi. Proses
akal sehat yang dengan nya kita bias berartikulasi, berargumen, melakukan
analogi, dan menarik sebuah konklusi dari sebuah proposisi atau
pendapat-pendapat. Dengan intuisi hati, kita bias menangkap pesan-pesan ghaib,
isyarat ilahi dan menerima ilham. Berikutnya sumber pengetahuan adalah informasi
yang benar (khabar shadiq) dalam hal ini Islam al-Qur’an dan hadits sebagai sumber
informasi (khabar shadiq) yang autentik dan otoritatif hingga akhir zaman.
D.
DEFINISI ILMU ISLAM
Ilmu dalam pengertian linguistic berasal dari bahasa arab yaitu, ‘alima,
ya’lamu, ‘ilman, yang berarti mengerti, memahami benar-benar, ilmu sering
disinonimkan dengan kata science (bahasa Inggris), episteme (bahasa
Yunani)[17]. Lebih
lanjut Wan Mohd Nor Wan Daud memberikan pengertian/definisi ilmu pada akar
pembentuk kata ‘ilmu yaitu ‘ayn, lam, mim yang dimabil dari kata ‘alamah
yang berarti tanda, petunjuk atau petunjuk yang dengannya sesuatu dapat
dikenal, sehingga kata maklam berarti “tanda jalan” atau sesuatu yang dengannya
seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang. Ini
semakna dengan kata ayah (jamak dari kata ayat) yang juga berarti
“tanda” yang merujuk pada al-Qur’an dan fenomena alam. Dari pengertian inilah
umat Islam menganggap ilmu (ilmu pengetahuan) berarti al-Qur’an, syari’at,
sunnah, Islam, Iman, ilmu spiritual, hikmah dan makrifat, pikiran sains[18].
Dalam kesemptan lain al-Jurjani dalam Nauqib al-Attas, oleh karena
semua pengetahuan itu datang dari Allah dan ditafsirkan oleh jiwa lewat
fakultas-fakultas spiritual dan fisikal, maka definisi ilmu pengetahuan yang
paling tepat adalah dengan mengacu kepada Allah sebagai asalnya “ Kedatangan
makna sesuatu atau obyek pengetahuan di dalam jiwa” sedangkan dengan mengacu
kepada jiwa sebagai penafsirnya “Pengetahuan adalah sampainya (wushul)
jiwa pada makna sesuatu atau suatu obyek pengetahuan”[19].
Pendifinisian ilmu secara epistimologis sebagai sampainya makna sesuatu
pada jiwa atau sampainya jiwa kepada makna sesuatu. Tiada lain sebagai
konsekuensi paparan al-Qur’an tentang ayah (jamak; ayat) yang mengacu
pada “kata-kata, dan sesuatu[20].
Dalam frem work ini, Ilmu Islam lebih bersifat integralistik antara
yang phenomena dengan noemena, alam fisika dengan metafisika, rasional dengan
irrasional, esoteris dengan eksoteris, individu dengan sosial, semuanya merupakan
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan dasar ke-imanan,dan akhlakul karimah
ber-prinsip tauhidi yang bermuara kepada Allah SWT.
E.
KESIMPULAN
Dari paparan singkat diatas, Nampak jelas bahwa islam dalam
epistimologi dan etika tidak didasarkan pada relativisme, skeptisisme,
sekularisme yang menobatkan manusia sebagai model, sumber dan tolok ukur segala
sesuatu. Singkatnya Islam menolak antroplogisme.
Epistimologi Islam Tidak ada dikhotimis antara yang satu dengan yang
lainnya-ilmu agama dan umum- dan membentuk garis demarkasi tersendiri
sebagaimana barat.
Perkembangan ilmu dalam islam mempunyai karakteristik tersendiri, ilmu
dalam islam bukanlah melalui proses westernisasi ataupun adopsi dari barat,
tapi yang terjadi hanyalah proses adaptif, sebab ilmu tidak bias lahir dan
berkembang pada suatu masyarakat jika semua konsep didalamnya hasil impor,
namun tidak dipungkiri bahwa dalan suatu kebudayaan sudah biasa terjadi pinjam
meminjam antar kebudayaan Islam bersifat selektif dalam hal ini.
Berasarkan cara memperoleh pengetahuan dalam islam secara umum terbagi
dua; yaitu, bersifat hushul-pemberian langsung dari Allah, bersifat wushul
(capaian) ilmu yang diperoleh dari hasil usaha manusia.
Moh. Koesnoe “ Pengantar
Kearah Pemikiran Filsafat Hukum” Surabaya Ubara Press, 1997.
Al-Qur’an dan
Terjemahannya(ayat pojok bergaris) Departemen Agama RI, CV. Asy-Syifa’
Semarang, tt.
Ahmad Zainal Hamdi “ Tujuh
Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern” PT LKiS Bumi
Aksara, Thn 2004
Kontowijoyo “ Islam
sebagai Ilmu epistemology, Metodologi, dan Fakta”, Tiara Wacana Yogyakarta,
2006.
Adnin Armas “Westernisasi
dan Islamisasi Ilmu” Jakarta, Khairul Bayan, 2005.
Rosnani Hashim “ Gagasan
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer; Sejarah Perkembangan dan arah Tujuan”
Jakarta, Khairul Bayan, 2005
Hamid Fahmi Zarkasyi,”World
View Sebagai Asas Epistimologi Islam”
Kharul Bayan, Jakarta 2005
Kontowijoyo,” Islam
sebagai ilmu Epistemologi, Metodologi dan Etika”, Tiara Wacana, Yogyakarta,
2006
Pardoyo,”Sekularisasi
dalam Polemik” Bandung, Pustaka Grafiti, 1996
Ugi Suhartono “Islam Dan
Sekularisme”Pandangan Al Attas dan Alqordowi” Jakarta Kairun Beyen tahun
2005
Partap Sing Mehra, “Pengantar
Logika Tradisional”, Bina Cipta Bandung, 1988,
Syamsuddin Arif, “Prinsip-prinsip
Dasar Epistemologi Islam”, Islamia, Jakarta, tahun II No. 5. 2005.
Amsal Bakhtiar,”
Filsafat Ilmu”, Jakarta, Rajawali Perss, Tahun 2010
Wan Mohd Nor Wan Daud,” Epistemologi
Islam dan Tantangan Pemikiran Ummat” Islamia Jakarta tahun II. No. 5, 2005,
Syed Muhammad Al-Nauqib
Al-Attas,”Konsep Pendidikan dalam Islam; Suatu rangka Pikir Pembinaan
Filsafat Pendidikan Islam”, Penj. Haidar Baqir, Bandung, Mizan, tahun 1996,
[1] Moh.
Koesnoe “ Pengantar Kearah Pemikiran Filsafat Hukum” Surabaya Ubara Press, 1997. hal. 10.
[2] Ahmad
Zainal Hamdi “ Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern”
PT LKiS Bumi Aksara, Thn 2004, hal. 132.
[3] Ibid,
Ahmad Zaini, hal. 133
[4]
Kontowijoyo “ Islam sebagai Ilmu epistemology, Metodologi, dan Fakta”, Tiara
Wacana Yogyakarta, 2006. hal. 4.
[5] Ibid.
Kontowijoyo, 6
[6] Empirisme,
rasionalisme dan pragmatisme merupakan paham yang beranggapan pengetahuan dan
kebenaran hanyalah berdasarkan pada satu aspek saja walaupun sudah ada upaya
kompromis yang dilakukan kelempok kritisisme tetap tidak menyentuh essensi dan
bersifat antropologistik/profanistik, sebagaimana dikatakan Immanuel Kant “
pengetahuan adalah mungkin namun metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak
bersandarkan pada kepada panca indra”. Senada dengan Kant, George Friedrick
Hegel, pengetahuan adalah “on going process” artinya pengetahuan lama
menjadi tidak benar karena terbatas sedangkan penyangkalan tetap dipertahankan
dan ia menjadi kebenaran baru” bahkan Friedrich Nietzsche tegaskan “ Seseorang
tidak dapat mempercayai agama dogma-dogma agama dan metafisika jika ia memiliki
aturan-aturan ketat untuk meraih kebenaran didalam hati”. (Lihat Adnin Armas “Westernisasi dan
Islamisasi Ilmu” Jakarta, Khairul Bayan, 2005. hal 10 – 11).
[7] Ibid,
Kontowijoyo. Hal 4
[8]
Rosnani Hashim “ Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer; Sejarah
Perkembangan dan arah Tujuan” Jakarta,
Khairul Bayan, 2005. hal. 30.
[9]
Hamid Fahmi Zarkasyi,”World View
Sebagai Asas Epistimologi Islam” Kharul Bayan, Jakarta 2005, hal. 11
[10]
Kontowijoyo,” Islam sebagai ilmu Epistemologi, Metodologi dan Etika”, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 2006, hal. 51.
“ Terkait
dengan hal-hal berikut beberapa tokoh yang menjadi motor timbulnya reduksi nilai-nilai agama dan
pembuka ruang sekularisasi barat tidak lepas dari peran tokoh filsafat seperti
Lersing (1729-1781) dengan hasil pemikirannya Agama bukanlah terminal akhir
tapi sebagai batu loncatan menuju kehidupan manusia…… Tuhan hanya memberi
petunjuk pada kebenaran sedang kebenaran abadi tidak ada”. Jhon Locke
(1632-1704), “negara modern telah menghapus semua wasiat gereja”. GW. Leibnis
“Agama menjadi urusan pribadi, ajaran agama yang tidak sesuai dengan akal harus
dihapus”. David Hume (1711-1776) “ agama bukanlah suati ilmu, tapi hanya
institusi belaka. JJ.Rousseau(1712-1778) “ Agama dan pendidikan bertentangan
dengan alam, ia menolak bukti metafisis tentang adanya tuhan” bahkan lenin (1870-1924) “Agama itu cantdu
rakyat yang menutup kemajuan berpikir”senada dengan Lenin, Nietzte katakana bahwa “Tuhan telah mati”.
Ludwig Feruerbach “Agama yang baru adalah politik bukan agama masehi. Dasar
Negara adalah manusia dan kebutuhan”.lihat Pardoyo,”Sekularisasi dalam Polemik”
Bandung, Pustaka Grafiti, 1996, hal. 33-35.
[11] Pardoyo,”Sekularisasi
dalam Polemik” Bandung, Pustaka Grafiti, 1996, hal. 42
[12]
Ugi suhartono islam dan sekularisme”pandangan al attas dan alqordowi” Jakarta
kairun beyen tahun 2005 hal.19
[13] Adnan
Armas,”Westernisasi dan Islamisasi Ilmu” Islamia, Jakarta, tahun II No. 6.
Tahun 2005 hal 9.
[14] Partap
Sing Mehra, “Pengantar Logika Tradisional”, Bina Cipta Bandung, 1988, hal 4
[15]
Syamsuddin Arif, “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam”, Islamia, Jakarta,
tahun II No. 5. 2005. Hal. 27.
[16]
Al-Qur’an dan Terjemahannya(Ayat Pojok
Bergaris) Departemen Agama RI,
[17] Amsal
Bakhtiar,” Filsafat Ilmu”, Jakarta, Rajawali Perss, Th. 2010, hal.; 12.
[18] Wan
Mohd Nor Wan Daud,” Epistemologi Islam
dan Tantangan Pemikiran Ummat” Islamia Jakarta tahun II. No. 5, 2005, hal. 62.
[19] Syed
Muhammad Al-Nauqib Al-Attas,”Konsep Pendidikan dalan Islam; Suatu rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam”, Penj. Haidar Baqir, Bandung, Mizan, th.
1996, hal. 43.
[20] Ibid,
Syed Muhammad Al-Nauqib Al-Attas, hal.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar